Sinuhun Paku Buwana II, “Bapak Pendiri” Kota Surakarta Hadiningrat Pada 20 Februari 1745 (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:February 20, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Sinuhun Paku Buwana II, “Bapak Pendiri” Kota Surakarta Hadiningrat Pada 20 Februari 1745 (seri 4 – bersambung)
TIDAK LUPA : Gusti Moeng tidak pernah lupa untuk selalu memberitahukan hal yang paling penting dalam setiap gelar ritual peringatan adeging nagari Mataram Surakarta pada 17 Sura tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745 sebagai hari lahir Kota Surakarta Hadiningrat, yang sebelum 1945 menjadi Ibu Kota Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Lahirnya Kota Surakarta Juga Ditandai Pemberian Gelar “Mas Ngabehi” Kepada Ki Singandaka

IMNEWS.ID – SETELAH arak-arakan panjang “boyong kedhaton” Kraton Mataram Islam yang dilakukan Sinuhun PB II tiba di Ibu Kota baru di Desa Sala, tepat tanggal 17 Sura tahun Je 1670 (Jawa/Hijriyah) atau 20 Februari 1745 (Masehi), pada hari itu juga Sinuhun mengumumkan/mendeklarasikan nama Desa Sala diganti menjadi Surakarta Hadiningrat sebagai Ibu Kota “nagari” Mataram.

Poin pertama dari peristiwa pemindahan Ibu Kota negara Mataram Islam dari Kartasura itu, adalah pengumuman/deklarasi yang dilakukan Sinuhun PB II, beberapa saat setelah tiba di Desa Sala, tanggal 20 Februari itu pula. Yaitu mengumumkan penggantian nama Desa Sala menjadi Surakarta Hadiningrat sebagai Ibu Kota baru “negara” Mataram Islam, kelanjutan.

Poin kedua dari peristiwa “boyong kedhaton” yang dilukiskan dalam catatan KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro saat menjawab konfirmasi dari iMNews.id kemarin adalah, arak-arakan itu diikuti peserta yang sangat panjang. Karena membawa berbagai perlengkapan rumah-tangga dan perlengkapan aktivitas pemerintahan serta para sentana serta abdi-dalemnya.

PERTIGAAN JUNGKE : Pemandangan ini adalah suasana pertigaan atau simpang tiga Jungke saat ini, yang dilukiskan KPP Nanang jadi tempat singgah rombongan Sinuhun PB II saat boyong kedhaton dari Kartasura, untuk pindah ke Surakata di tahun 1745. Di tempat itu, Sinuhun dan rombongan disuguhi degan oleh Ki Sundaka.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Arak-arakan pemindahan Ibu Kota negara dari Kartasura ke Surakarta dengan begitu banyak pesertanya, bisa dipahami sangat panjang barisannya, dan pasti dikawal semua Bregada Prajurit kraton secara lengkap. Sebab, di dalam barisan itu ada Sinuhun PB II yang bisa dipastikan menumpang kereta kuda dan keluarga, yang harus dipastikan faktor keamanannya.

Selain itu, di dalam arak-arakan “boyong kedhaton”, pasti ada barang-barang berharga sejenis perhiasan dan pusaka handal, yang harus dikawal dengan standar keamanan sangat tinggi pula. Data-data informasi yang diperoleh iMNews.id menyebutkan, Bregada Prajurit Singanagara yang terkenal “ganas” dan “dugdeng” ikut dalam pengawalan “membentengi” Sinuhun PB II.

Dalam catatan KPP Nanang, tidak menyebutkan adanya sebuah masjid kecil yang kini dikenal dengan Langgar Merdeka di dekat pertigaan Jungke, atau sekitar 200 meter dari makam Kyai Ageng Henis di Laweyan, saat ada boyong kedhaton. Padahal ada data lain menyebut, Kyai Ageng Henis eksis di sekitar tahun 1560-an, jauh sebelum kraton pindah ke Surakarta di tahun 1745.

MASJID LAWEYAN : Sekitar 200 meter di selatan dari lokasi Langgar (masjid kecil) Merdeka yang dekat dengan pertigaan Jungke di Jalan Dr Radjiman, terdapat masjid yang jadi satu kompleks dengan makam Kyai Ageng Henis. Dua lokasi bangunan penting itu, sangat dekat rute perjalanan boyong kedhaton Sinuhun PB II dari Kartasura ke Surakarta di tahun 1745. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kalau melihat situasi sekarang, memang betul rute jalan yang dilalui boyong kedhaton Sinuhun PB II ya melwati posisi Langgar Merdeka yang kini bernama Jalan Dr Radjiman. Dan, pertigaan Jungke tempat arak-arakan Sinuhun berhenti dan beristirahat, dalam posisi sekarang dekat sekali dengan Langgar Merdeka, dan tidak jauh dari makam Kyai Ageng Henis”.

“Tetapi, saya tidak punya catatan tentang itu. Mungkin Gusti (KGPH) Puger punya data-data itu, karena beliau dulu ngasta Sasana Pustaka dan banyak membuka data manuskrip di sana. Jadi, saya tidak tahu persis, apakah makam Kyai Ageng Henis dan Langgar Merdeka sudah ada tau belum, saat arak-arakan lewat di situ,” jelas KPP Nanang.

Data-data informasi tentang kedua situas peninggalan sejarah yang kini dilindungi UU BCB No 11/2010, akan akan memperkaya pengetahuan dan wawasan generasi anak-cucu bila digali, dikaji serta dianalisis, terutama yang berkait dengan peristiwa pindahnya Kraton Mataram dari Ibu Kota lama di Kartasura, ke Ibu Kota baru di Surakarta tahun 1745.

SAKSI SEJARAH : Kagungan-dalem Masjid Agung yang berada di dalam kawasan Kraton Mataram Surakarta seluas 90-an hektare dari Gladag hingga Gading itu, merupakan saksi sejarah berdirinya kraton sekaligus saksi berubahnya nama Desa Sala menjadi Ibu Kota dan Kota Surakarta pada 20 Februari 1745. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Yang jelas, karena Ki Sundaka dianggap berjasa bagi Sinuhun PB II dan rombongan boyong kedhaton yang singgah istirahat di dekat pertigaan Jungke itu, lalu dipanggil untuk sowan ke Kraton Mataram Surakarta. Sinuhun mengangkatnya sebagai Lurah atau Kepala Desa di situ, serta menganugerahi gelar pangkat Mas Ngabehi (MNg) Singandaka. Desa itu diberi nama Sundakan”.

“Waktu ditimbali sowan untuk diparingi gelar kepangkatan itu apa sama pada hari deklarasi nama Kota Surakarta atau di lain hari, dari data-data yang saya dapat tidak menyebutkan. Tetapi, peristiwa itu bisa menjadi penanda atau panduan penelusuran data lebih lanjut. Dan Desa Sundakan itu, kini diabadikan menjadi nama Kelurahan Sondakan,” sebut KPP Nanang.

Kelurahan Sondakan, adalah wilayah tempat tinggal KPP Nanang beserta keluarga sejak lama, hingga kini. Kelurahan itu adalah satu di antara sejumlah kelurahan di Kecamatan Laweyan. Lokasi wilayah kelurahan Sondakan, bertetangga/berhimpitan dengan Kelurahan Laweyan, tempat lokasi Langgar Merdeka dan makam Kyai Ageng Henis dan dekat pertigaan Jungke.

PIAWAI MENDALANG : Dr Purwadi, memulai karir dari profesi pengrawit seni Tayub di daerah kelahirannya, Nganjuk (Jatim), yang piawai mendalang wayang kulit klasik, sebelum menjadi ilmuwan dan dosen pengajar di sebuah universitas di Jogja. Dia juga peneliti sejarah khusus Mataram dan Surakarta selama 20 tahun terakhir. (foto : iMNews.id/dok)

Catatan sentana-dalem yang kini berusia lebih 70 tahun itu juga menyebut, nama Jungke berasal dari kata “munjungake” atau “munjungaken”, bahasa krama inggil dari mempersembahkan. Yaitu, aktivitas Ki Sundaka atau Ki Singandaka saat mempersembahkan buah kelapa atau “degan” kepada Sinuhun PB II yang singgah di dekat pertigaan Jungke, sebagai pelepas dahaga.

Dalam kajian Dr Purwadi, wilayah Laweyan yang kini dikenal sebagai kampung batik, sejak zaman Ki Ageng Pemanahan (anak Kyai Ageng Henis) punya potensi sebagai penghasil benang atau bahan kain yang disebut “Lawe”. Karena, di dekat Jungke arah Pajang, dulu berupa kebun kapas begitu luas, sebagai bahan industri “Lawe”. Potensi ini tentu sudah dikenal baik Sinuhun PB II.

“Yang jelas, Sinuhun PB II patut disebut Bapak Pendiri Kota Surakarta pada 20 Februari 1745. Fakta dan data itu tidak bisa dipungkiri atau dibantah lagi. Mengapa Sinuhun PB II bisa memindah Ibu Kota negara Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta? Orang-tua dan istri beliau, adalah dari keluarga pengusaha kaya-raya,” tunjuk Ketua Lokantara Pusat di Jogja itu, kemarin. (Won Poerwono-bersambung/i1).