Konser Musik Karawitan di Kraton = Konser Catatan Perjalanan Para Leluhur Dinasti Mataram (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 19, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:9 mins read
You are currently viewing Konser Musik Karawitan di Kraton = Konser Catatan Perjalanan Para Leluhur Dinasti Mataram (seri 4 – bersambung)
SENTUHAN KALBU : Mendengar suara gamelan dan gendhing-gendhing yang diiringinya dalam sebuah konser orkestra seperti untuk pperingatan weton kelahiran Sinuhun PB XII, Senin malam (13/5) lalu, mudah memberi sentuhan kalbu karena sangat halus. Butuh proses penghayatan untuk memahami berbagai isi pesan di dalamnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

KPP Nanang Temukan Banyak Gending Karya Semasa Sinuhun PB V di “Media Industri Musik”

IMNEWS.ID – DENGAN mengetahui letak perbedaan secara fundamental antara karya gendhing di zaman Mataram sampai Surakarta dengan lagu-lagu karya setelah 1945, apalagi sejak musik menjadi bagian dari industri liberal kapitalis, seharusnya semakin memudahkan publik secara luas atau masyarakat peradaban untuk memilih berdasarkan kebutuhannya.

Artinya, kalau kebutuhannya sekadar hiburan sesaat dan ingin hiburan yang mudah dinikmati tanpa penghayatan, apalagi tidak perlu berharap ada nilai-nilai edukasi, manfaat dan fungsi idealnya, sudah tersedia banyak pilihan. Mulai musik klasik (barat), campursari, rock, K-Pop, jazz dan sebagainya yang datang dari barat, Asia bahkan dunia Arab.

Kuncinya ada pada kata penghayatan, yang membedakan karya lagu antara yang dihasilkan dari “asal bisa bikin goyang” atau “asal bisa ditirukan” dengan karya gendhing yang sekilas menenangkan kalbu, tetapi punya daya tarik edukasi untuk memahaminya. Gendhing juga punya kekuatan rangsang untuk menghayatinya, hingga akhirnya dipahami makna isinya.

Lagu-lagu karya setelah era industri liberal kapitalis marak pasca-1945, adalah lagu-lagu yang memiliki beberapa ciri di atas. Pada garis besarnya, mudah dikenali, mudah ditirukan, bisa menghibur karena bisa diikuti “jogetan” dan bisa laku keras di pasaran. Lagu-lagu yang lahir di lingkungan industri musik, adalah lagu yang sesuai trend dan selera pasar.

Gendhing-gendhing karya para tokoh masa lalu yang rata-rata sekelas Pujangga, sebenarnya diciptakan bukan untuk kebutuhan atau menuruti selera komersial pasar. Karena, zaman ketika diciptakan, rentang waktunya sangat jauh sebelum era industrial kapitalis liberal. Tetapi KPP Nanang justru menemukan banyak gendhing karya Sinuhun PB V, bertebaran di dunia maya.

KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro, adalah salah seorang sentana trah darah-dalem Sinuhun PB V yang punya hobi menikmati seni karawitan, khususnya gendhing-gendhing karya para leluhur Dinasti Mataram, terutama karya tokoh leluhurnya yaitu Sinuhun PB V. Karena faktor kecintaannya itu, dia justru banyak mendapatkan karya-karya kesukaannya di internet.

MENDAPAT KEMUDAHAN : Sentana-dalem KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro seperti “mendapat kemudahan” menemukan kekayaan seni kraton berupa sejumlah judul gendhing karya Sinuhun PB V, sejak masih berstatus “Pangeran Adipati Anom”. Tetapi, karya-karya yang ditemukan di YouTube itu termasuk menjadi “korban industri musik”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sentana-dalem yang beberapa tahun terakhir tidak aktif di kantor Pengageng Kusuma Wandawa akibat gangguan sakit di kakinya ini, memang tidak berkomentar soal asal-usul karya-karya gendhing temuannya. Tetapi dari sejumlah gendhing yang dikirim kepada iMNews.id dalam format aplikasi YouTube, sudah menjelaskan “nasib” keberadaannya.

Sedikitnya ada 8 “Gendhing Bonangan” yang disajikan setelah gendhing utama baku Gamelan Sekaten (Rambu dan Rangkung) hingga, Gendhing Babar Layar (Laras Pelog Pathet 5 )yang diciptakan putra mahkota Pangeran Adipati Anom semasa Sinuhun PB IV, gendhing-gendhing utama seni Laras Madya atau Santiswaran, berhasil “diinventarisasi” berdasarkan “buku panduannya”.

Buku panduan yang digunakan sentana trah darah-dalem Sinuhun PB X itu, adalah buku berjudul “Sinuhun Sugih” yang ditulis RM Soemantri Soemosapoetro atas kesepakatan seluruh keluarga besar anggota paguyuban trah darah-dalem Sinuhun PB V. Dengan pegangan buku itu yang berisi semua karya-karya Sinuhun PB V itu, semua yang muncul di ruang publik bisa diidentifikasi.

“Saya memegang buku itu. Jadi, bisa tahu kalau ada karya-karya gendhing yang muncul di YouTube. Karena, saya sangat menyukai gendhing-gendhing karawitan, apalagi karya eyang Sinuhun PB V. Rasanya tenteram kalau mendengar gendhing-gendhing itu. Judulnya ‘Sinuhun Sugih’. Karena, Sinuhun PB V memang ‘sugih kepinteran’ (kaya kepandaian),” ujar KPP Nanang.

Sejumlah gendhing yang berhasil “diidentifikasi” KPP Nanang sebagai karya Sinuhun PB V maupun semasa masih berstatus putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom itu, memang belum diangkat menjadi sajian “Konser Orkestra Musik Karawitan” yang digelar “Bebadan Kabinet 2004”, untuk memperingati “weton” Sinuhun PB XII, Selasa Legi, pada Senin malam (13/5).

Tetapi, banyak judul gendhing yang berhasil diidentifikasi sebagai aset kekayaan Kraton Mataram Surakarta itu, kini sudah berada di dalam wilayah industri musik yang bersifat kapitalis liberal itu. Kemunculan YouTube berisi gendhing-gendhing karya Sinuhun PB V itu sudah jelas masuk wilayah komersial, meski belum dibajak menjadi atas nama lembaga atau orang lain.

HASIL JERIH-PAYAH : Abdi-dalem Keparak Mandra Budaya, KRT Dr Joko Daryanto, tak sia-sia “suwita” (mengabdi) di kraton sebagai seniman karawitan, hingga ikut jadi korban peristiwa April 2017. Hasil jerih-payahnya meneliti karawitan di kraton, mengantarkannya mencapai gelar doktor. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Wilayah komersial bagi karya-karya gendhing yang sebenarnya diciptakan bukan untuk tujuan itu, yaitu ketika diproduksi sebagai “content” hiburan yang disebar melalui media sosial internet, yang mendatangkan keuntungan bagi yang memproduksi, yang mengungah/menyebar, atau yang memproduksi sekaligus menyebarnya di internet untuk mendapatkan honor dari situ.

Jenis-jenis perlakuan seperti inilah yang kini menjadi potensi ancaman terbesar bagi nasib karya-karya seni peradaban masa lalu. Karena, hampir semua karya-karya peradaban masa lalu tidak didaftarkan sebagai hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atau hak cipta untuk mendapatkan kekuatan hukum, mengingat ada kerumitan proses untuk menuju perlindungan hukum tersebut.

Perlakuan “jahat” yang lahir dari industri musik, mungkin hanya bisa dilakukan dalam batas pencatutan atau pengambil-alihan atas nama penciptaan karya-karya itu. Karena, untuk “menggubah” isi dan kesatuan maknanya, diperlukan kapasitas keahlian setingkat Pujangga, yang bisa merangkai satu kesatuan makna sesuai struktur logika dan bahasa penghayatannya.

Bahkan, masih ada beberapa persyaratan yang diperlukan untuk membuat atau “menggubah” isi karya dalam sebuah “content YouTube”. Yaitu kemampuan merangkai makna filosofi dari satu-kesatuan makna yang sudah ada, agar makna secara keseluruhan sesuai dengan tema, suasana (umum dan batin), juga konteks zaman saat karya itu diciptakan.

Melihat begitu rumitnya persyaratan untuk menjadi “Pujangga” itu, maka kecil kemungkinan generasi masa kini mampu melakukan “kejahatan” dengan “menggubah” keseluruhan makna filosofi sebuah karya dalam “content” yang “dikomersialkan” melalui YouTube. Walaupun seandainya terjadi, memang sudah langka perangkat pengetahuan dan teknologi pendeteksinya.

Tetapi mungkin masih ada sisi yang bisa diyakini memperkecil peluang “kejahatan” ini, yaitu realitas kecerdasan generasi masa kini yang terbentuk hanya mengandalkan supremasi logika matematis. Artinya, kecerdasan sangat jauh dibanding para penciptanya yang rata-rata sudah sampai level “Pujangga”, yang “ndilalah” rata-rata punya kemampuan melihat jauh ke depan.

BINTANG TAMU : Sekelompok pemusik modern sedang tampil “dihiasi” beberapa instrumen musik gamelan itu, bukan sebagai sajian “campursari”. Tetapi, pemandangan itu terjadi saat ada grup band menjadi bintang tamu di acara HUT Komunitas Istana Mataram di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, bergantian dengan sajian tari khas kraton, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Beberapa hal di atas, bisa dipahami menjadi “jaminan keamanan dan keselamatan” bagi karya-karya para “Empu” dan “Pujangga” itu. Maka, kekhawatiran untuk dibajak atau menjadi objek “tindak kejahatan” di bidang itu, “sementara” memang boleh dikesampingkan. Kini tinggal sikap dan perilaku buruk yang bisa menjadikan karya-karya itu sebagai korban “kejahatannya”.

Yaitu, “kejahatan” atau “sikap dan perilaku jahat” yang mungkin bisa dilakukan hanya “mengubur” karya-karya itu agar tidak dikenal generasi peradaban kini dan masa mendatang, akibat dianggap tidak bisa mendatangkan keuntungan materi secara pribadi dan kelompok. Atau, ketika dianggap berkait dengan simbol-simbol masa lalu lainnya, yang sengaja ingin “dikubur”.

Indikasi-indikasi yang tersebut di atas, adalah ciri-ciri kekalahan generasi masa kini dibanding kebesaran dan kejayaan generasi para leluhur nenek-moyang masa lalu, terutama Mataram Islam hingga Mataram Surakarta. “Kekalahan” itu tidak akan bisa diperbaiki menjadi “kemenangan” terhadap kebesaran dan kejayaan masa lampau, sampai kapapun. (Won Poerwono-bersambung/i1).