Sikap “Masa Bodoh” Terhadap Tokoh yang Membuat Industri “Cor Logam” Ceper Terkenal
KLATEN, iMNews.id – Safari ritual “Nyadran” di bulan Ruwah tahun Jimawal 1957 dari Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin langsung Gusti Moeng tahun 2004 ini, menambah koleksi satu makam lagi dari leluhur Dinasti Mataram yang diziarahi di hari pertama “Ruwahan”, Selasa (13/2) siang tadi.
Satu makam yang sudah lama didengar dan dilaporkan ke “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpinnya, adalah kompleks makam Kyai Ageng Pametjut (Pamecut-Red) yang ada di Astana Pajimatan Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Di dalam kompleks makam yang diperkirakan sebelumnya sangat luas itu, ada pusara Kangjeng Ratu Beruk, permaisuri Sinuhun PB III.
Lokasi makam yang jauh di dalam desa dan sudah padat pemukiman itu, masih tampak luas dan cirikhas bangunan makam dan cungkup abad 18 juga kelihatan. Tetapi, banyak tumbuhan liar dan semak belukar nyaris menutup wajah kompleks makam. Bahkan, pintu masuknya yang selebar 90-an cm itu, langsung menghadap kandang dan halaman kediaman warga terdekat pintu makam itu.
Pagar tembok masih banyak yang tampak tebal dan kokoh, tetapi nisan hasil pahatan tangan/manual di luar cungkup Kyai Ageng Pametjut masih tampak banyak, tetapi kebanyakan rusak. Selasarnya banyak yang keropos dan berserakan saat Yusuf dipercaya menjadi juru-kunci di situ sejak beberapa tahun lalu.
“Kula nember pinten tahun dipun pitados ngurusi makam menika. Dereng dangu. Nanging, inggih kados ngaten menika kawontenanipun. Masyarakat mriki mboten patos nggatoskan wontenipun makam leluhur Mataram menika. Menika wonten jalan setapak, ingkang ndamel priyantun peziarah ingkang peduli,” ujar Yusuf, menjawab pertanyaan iMNews.id, siang tadi.
Yusuf yang datang terlambat setelah Gusti Moeng selesai berdoa dan tabur bunga di makam Kyai Ageng Pametjut yang lokasinya paling atas dataran tinggi yang menjadi lokasi makam dan berada di dalam cungkup itu, belum banyak bercerita perihal makam. Selain dirinya merupakan “orang baru”, hari sudah sore dan mendung tebal, Gusti Moeng bersama rombongan segera pulang.
Tetapi, KPP Hernowo Wijoyo Adiningrat yang banyak referensi tentang silsilah para tokoh leluhur Dinasti Mataram, saat berdiskusi dengan iMNews.id menyebut dirinya sudah cukup lama menemukan lokasi kompleks makam itu. Dan ketika ditemukan kali pertama sampai diziarahi rombongan “Nyadran” Gusti Moeng, siang tadi, semakin tampak “njembrung” tak terurus.
Selain masyarakatnya tidak peduli karena punya “cara pandang lain” terhadap makam itu, Yusuf juga menyebut para pamong desa dan lembaga pemerintahan sampai di tingkat Pemkab Klaten, juga tidak peduli dengan adanya makam itu. Menurut KPP Hernowo, sangat mungkin ketidakpedulian berbagai pihak itu karena tidak paham dan tidak pernah ada yang memberikan pemahaman.
“Dugaan saya, karena tidak pernah ada yang memberi pemahaman terhadap masyarakat, pamong desa dan aparat pemerintahan di Klaten. Saya yakin mereka tidak tahu siapa saja tokoh yang dimakamkan di sini. Kemudian, apa hubungannya dengan masyarakat di sini?. Padahal, Ceper dikenal sebagai sentra industri cor logam, karena jasa tokoh yang dimakamkan di sini,” ujarnya.
Bahkan menurut KPP Hernowo, Kyai Ageng Harja Pametjut dan Pangeran Djungut, adalah generasi kedua dan ketiga dari seorang tokoh Wali Sanga, yaitu Sunan Kalijaga. Keduanya ahli metalurgi yang bermukim di wilayah Ceper (kini Kecamatan ceper-Red), yang telah mengedukasi masyarakat setempat hingga menjadi sentra industri cor logam terkenal luas hingga kini.
“Pemahaman soal latar-belakang sejarah tokoh-tokohnya serta jasa-jasa beliau terhadap masyrakat di sini, sangat perlu diberikan. Wilayah Kecamatan Ceper, Klaten sampai dikenal luas sebagai sentra industri cor logam hingga kini, asalnya dari mana? kalau bukan dari jasa edukasi eyang Kyai Ageng Pametjut dan Pangeran Djungut”.
“Bahkan tidak itu saja, di cungkup makam di bawah itu, garwa prameswari-dalem Sinuhun PB III (1749-1788) yaitu Kangjeng Ratu Beruk sumare di situ. Maka, beliau jelas punya nazab atau asal-usul secara adat dari Sunan Kalijaga, bahkan Sunan Ampel. Itu leluhur kita semua. Sepertinya, masyarakat di sini terkesan masa bodoh dengan adanya makam ini,” keluh KPP Hernowo.
Perjalanan safari “Nyadran” dari kraton yang dipimpin Gusti Moeng sampai siang tadi, berakhir di Astana Pajimatan Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Klaten. Sebelumnya, safari “Nyadran” singgah di kompleks makam keluarga besar RT Padmanagara di Desa Dukuh. Tokoh Bupati Pekalongan di zaman Kraton Demak (abad 15) itu, menurunkan keluarga Gusti Moeng dari garis Ibu.
Di kompleks makam RT Padmanagara, ada makam KPA Winarno Kusumo, seorang juru penerang budaya yang banyak membantu Gusti Moeng pada jabatan Wakil Pengageng Sasana Wilapa sampai akhir hayat, tahun 2018, juga diziarahi secara bergiliran yang dimulai Gusti Moeng, diikuti Gusti Ayu (GKR Ayu Koes Indriyah) dan rombongan yang terdiri para sentana dan abdi-dalem.
Sebelum di situ, rombongan “Nyadran” di kompleks makam RNg Jasadipura yang masih dalam satu wilayah Pengging, Kecamatan Banyudono, Boyolali. Sebelum “nyekar” di makam Adipati Sri Makurung Handyaningrat dan petilasan Kebo Kenanga, rombongan “nyadran” di kompleks makam Kyai Ageng Henis di Astana Pajimatan Laweyan, Surakarta sebagai lokasi pertama yang “disadran”. (won-i1).