Seseorah Gusti Moeng di Acara “Khataman Alqur’an”, Berlanjut di Acara Khol Sinuhun PB XI
IMNEWS.ID – BERBICARA soal “proses kelahiran” negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik secara berdiri sendiri apalagi berkait dengan eksistensi “negara” atau Kraton Mataram Surakarta, seakan tak ada habis-habisnya. Semakin lama, semakin bermunculan fakta-fakta dan data sejarah yang bisa membuktikan adanya hubungan sebab-akibat antara keduanya.
Walau usia NKRI baru 78 tahun, tetapi hubungan kausalitas yang lahir dari perjalanan panjang bangsa yang terdiri dari 250-an kraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat yang tersebar di Nusantara itu, semakin memperlihatkan orisinalitas esensial dari dua peradaban berbeda tetapi sebenarnya ada hubungan kesinambungannya.
Oleh sebab itu, analisis demi analisis bisa dilakukan dengan mudah. Variabelnya semakin menjadi banyak dan mudah dirangkai menjadi sebuah urutan peristiwa yang sangat rasional, yang bisa menggambarkan betapa “ajaib” kelahiran NKRI itu. Tetapi, dari balik itu semakin tampak betapa “luar biasa” peradaban 250-an entitas masyarakat adat yang “dikorbankan” demi NKRI.
Pada tulisan seri sebelumnya (iMNews.id, 29/12/2023) fakta-fakta baru dari data sejarah yang berhasil digali GKR Wandansari Koes Moertiyah telah diungkap di forum “Khataman Alqur’an” yang digelar di Bangsal Smarakata, tepat pada tanggal 27 Desember yang merupakan saat bersejarah bagi bangsa dalam NKRI dan juga Kraton Mataram Surakarta, karena ada peristiwa KMB.
Data-data dan fakta sejarah yang didapat dari risalah rapat, diskusi, musyawarah dan dialog dalam sidang yang dilakukan Badan penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang tersimpan di Sekretariat Negara (Setneg) yang sudah dipelajari Gusti Moeng bersama “Bebadan Kabinet 2004”, seakan melengkapi dan memperbaharui karya-karya penuliasan sebelumnya.
Ada sejumlah karya penulisan yang banyak menyinggung soal proses kelahiran NKRI dalam hubungannya dengan eksistensi Kraton Mataram Surakarta yang sudah lebih dulu muncul, namun tak satupun yang “berani” atau “bisa” menampilkan fakta sebenarnya yang terjadi saat BPUPK eksis dan keputusan apa saja yang pernah diambil.
Karena ternyata, ada bagian sangat penting yang tidak pernah diungkap ke ruang publik, yang diduga karena berbagai pertimbangan. Mungkin karena alasan takut terhadap penguasa, takut karena statusnya sebagai dosen pegawai negeri (ASN-Red), dan seperti disebut Gusti Moeng di berbagai forum, yaitu takut kalau eksistensinya tersaingi oleh Mataram Surakarta.
Hal sangat penting yang merupakan data dan fakta sejarah itu adalah, bahwa BPUPK dan para proklamator sejatinya sudah bersepakat memutuskan konsep bentuk negara baru itu adalah “negara monarki” bukan RI atau NKRI. Kesepakatan berikutnya, diputuskan pemimpin pemerintahan adalah Perdana Menteri (PM), yang diserahkan kepada Ir Soekarno.
Tetapi, mungkin Tuhan YME menghendaki lain, perjuangan bangsa ini harus berbelok-belok dengan berubahnya secara tiba-tiba BPUPK menjadi PPK. Perubahan yang tiba-tiba itu mungkin bisa disebut menjadi letak titik yang dikehendaki Tuhan YME. Karena, tepat tanggal 1 Juni 1945, Sinuhun PB XI sebagai tokoh penggagas BPUPK, wafat di usia 59 tahun.
“Selain risalah dari Setneg, saya banyak mendapat data hasil penelitiannya mas (Dr) Julianto Ibrahim (dosen di FIB UGM). Jadi, dengan melihat berbagai peristiwa dan upaya yang dilakukan penguasa, langsung atau tidak langsung, sudah jelas sekali niatnya, ingin meniadakan Mataram Surakarta. Penguasa merasa terganggu dengan adanya Kraton Mataram Surakarta”.
“Maka, dengan berbagai cara penguasa ingin meniadakan Kraton Mataram Surakarta ini. Dari dulu hingga sekarang, masih terus dilakukan dengan berbagai cara. Penjenengan semua pasti pirsa kejadian demi kejadian yang menimpa kraton, yang terakhir April 2017 itu. Tujuannya sama, ingin meniadakan kraton, karena dianggap mengganggu,” tandas Gusti Moeng.
Paparan peristiwa sejarah yang begitu tandas itu, rupanya merupakan kelanjutan dari seseorahnya yang diberikan di depan 70-an santri, ulama dan kalangan jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang sedang mengikuti “Khataman Alqur’am” di Bangsal Smarakata. Rupanya, “sesorah” itu belum habis dan dilanjutkannya di forum khol peringatan wafat Sinuhun PB XI di Bangsal Kasentanan.
Dari acara khataman Alqur’an Rabu Pahing yang mengambil tanggal 27 Desember tepat pada momentum peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB) di Kota Denhaag, Belanda 74 tahun silam, “sesorah” dilanjutkan Gusti Moeng di depan sekitar 100-an keluarga besar trah darah-dalem Sinuhun PB XI (1939-1945) yang sedang mengadakan doa wilujengan khol wafat tokoh leluhurnya itu.
“Sejak peristiwa BPUPK itu, para tokoh pemimpin sudah mulai mengingkari komitmen soal hal sangat penting. Mulai dari konsep bentuk negara, komitmen status Daerah Istimewa Surakarta, amanat konstitusi pasal 18 UUD 45, Perpes No 19/1964 dan sebagainya. Karena, intinya NKRI penguasan tidak ingin Kraton Mataram Surakarta ada”.
“La kalau Mataram Surakarta benar-benar tidak ada, atau namanya sudah berganti karena dikuasai orang lain, panjenengan semua ke sini ‘kan hanya sebagai wisatawan. Padahal, kita semua ini adalah keluarga besar Dinasti Mataram, sebagai pemilik sah atas kraton dengan segala aset-asetnya, di dalam dan di luar negeri. Yang dikelola di sini dan dikuasai orang lain,” tandasnya.
(Won Poerono-bersambung/i1).