Isyarat yang Mantab dan Meyakinkan, Walau Ada yang Masih Sulit Menangkap Maknanya
IMNEWS.ID – ACARA peresmian ringan “Ekosistem Digital” Kraton Mataram Surakarta yang digelar Rabu (27/9/2023), sungguh mengejutkan sebagian besar dari kalangan keluarga besar masyarakat adat itu senditi, terutama yang tidak ikut menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Sebab, bisa jadi peristiwa itu banyak mengundang tanda-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, karena yang muncul ke permukaan sebagai inti kegiatan itu adalah sesuatu yang sangat jauh dari jangkauan pemikiran kalangan masyarakat adat, terutama dari kalangan generasi kedua dari Sinuhun PB XII.
Soal perkembangan teknologi, apalagi produk teknologi internet dengan segala turunannya termasuk “Ekosistem Digital”, rata-rata juga masih awam bagi masyarakat bangsa-bangsa di dunia, khususnya yang berusia di atas 50-an tahun. Terlebih, bagi bangsa yang masyarakatnya berada di bawah garis sedang berkembang, kalau tidak boleh dikatakan terbelakang, misalnya masyarakat bangsa di beberapa negara di benua Afrika. Namun, bangsa Indonesia terutama warga peradaban Mataram tak boleh ketinggalan atau menjadi terbelakang dari perkembangan teknologi digital, karena sejarah peradaban manusia purba yang diketamukan kali pertama ada di Sangiran, yang notabene di pulau Jawa dan Jawa Tengah.
“Kalau manusia purba tertua jutaan tahun lalu ditemukan di Sangiran, itu pertanda bahwa peradaban masyarakat itu adalah peradaban tertua dari bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya apabila peradaban masyarakat adat Mataram mempelopori penggunaan teknologi digital, dengan menciptakan token mata uang digital crypto kali pertama. Kraton Mataram Surakarta akan menjadi kerajaan pertama yang menciptakan mata uang digital, yang kelak akan digunakan secara global oleh bangsa-bangsa di dunia,” tandas KPH Edy Wirabhumi saat berbicara di forum diskusi “Maklumat Sinuhun PB XII” 1 September, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 3/9/2023).
Inti dari peristiwa yang terjadi di gedhong Sasana Handrawina, Rabu (27/9), kurang lebih seperti itu. Sebuah jangkauan yang jauh ke depan, sehingga masih sulit ditangkap maknanya oleh warga peradaban masa kini, terutama generasi yang berusia di atas 50-an tahun. Generasi milenial yang memiliki “ruang waktu” atau lini masa saat teknologi digital ini lahirpun, juga belum sepenuhnya “ngeh” atau paham atau bisa menangkap makna lompatan pemikiran generasi muda kraton yang dipimpin KGPH Hangabehi itu. Meskipun, tentu ada tim kreatif di dalamnya yang menjadi bagian dari gerakannya untuk menyongsong perubahan jauh di masa depan.
Isyarat yang dilempar kalangan “pinsisepuh” dan “sesepuh” kraton dari “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, sungguh mantab dan meyakinkan. Karena isyarat itu terwujud dalam kelompok generasi muda yang dipimpin KGPH Hangabehi, yang bisa ditangkap dan dipahami dalam banyak makna. Salah satu maknanya, adalah kesiapan generasi muda atau generasi ketiga kraton yang menyatakan siap melanjutkan kepemimpinan di Kraton Mataram Surakarta, siap melanjutkan estafet perjuangan melestarikan budaya Jawa yang bersumber dari kraton.
Dan yang lebih esensial lagi, adalah siap mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat kraton yang telah jatuh ke jurang paling dasar karena ulah tokoh-tokoh yang sudah tidak peduli soal makna kraton, soal pelestarian budaya dan soal kelangsungan kraton. Beruntung masih ada “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng, yang tetap berjuang di luar kraton lebih dari lima tahun, untuk menahan laju “kejatuhan” kraton di saat sedang menjadi sasaran akibat rendahnya penalaran dan rendahnya standar etika sekelompok orang yang selalu mengatasnamakan “Sinuhun” (PB XIII-Red) untuk segala “aksi perusakannya”.
Peristiwa KGPH Hangabehi bersama sejumlah tokoh muda memimpin prosesi puncak upacara adat Gunungan Garebeg Mulud Sekaten 2023 pada tanggal 28 September, Kamis siang, jelas bisa dimaknai sebagai upaya para calon pemimpin kraton untuk berusaha mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat kraton. Karena, akibat “ulah dan aksi para perusak” paugeran adat, telah menempatkan kraton sebagai lembaga yang “meragukan” dari yang semula sangat diyakini sebagai sumber pedoman dalam berbagai hal yang menyangkut tata-nilai peradaban Jawa, sehingga nyaris mengorbankan kredibilitas kraton sebagai sumber acuan kalender Jawa karya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.
Betapa tidak, di saat “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sedang berbenah-benah untuk membersihkan dan menyingkirkan “kotoran” dan “anasir buruk” yang membuat kraton suram selama lima tahun (2017-2022), masih saja ada yang memperlihatkan perbuatan “bodoh”. Sebuah baliho yang mengumumkan waktu pelaksanaan Garebeg Mulud, salah fatal menulis tanggal kelahiran Nabi Muhammad, yang seharusnya 12 Mulud atau 12 Rabiul Awal ditulis 11 Mulud atau 11 Rabiul Awal, karena diduga berpedoman pada kalender produk pihak lain yang menulis Maulud Nabi Muhammad jatuh pada Rabu 27 September atau 11 Mulud.
Tak hanya itu, perbuatan yang memalukan kraton sebagai pusat dan sumbernya budaya Jawa, menulis pesan tentang kegiatan yang akan digelar lembaga Kraton Mataram Surakarta dengan kata “Mangayubagya”, dan pernah ditulis “Mahargya” untuk jenis upacara adat lain yang sering muncul pada saat hendak menggelar ritual, sejak 2107 hingga diulang pada ritual Sekaten 2023 ini. Tokoh internal dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta seperti KP Budayaningrat tentu sangat geram melihat peri laku “bodoh” yang seakan tak ada habisnya itu, hingga yang selama lima tahun lebih memilih bungkam, akhirnya terpaksa berbicara kepada iMNews.id.
“Ya, selama ini saya menahan diri, lebih baik diam saja. Karena, waktu-waktu itu, mereka masih kuat-kuatnya karena didukung kekuatan kekuasaan. Setiap diberi masukan dan ditunjukkan kekeliruannya, jawabannya ‘ini dhawuh Sinuhun’. ‘Sekarang menggunakan aturan Sinuhun’. Mendengar jawaban seperti itu, lama-lama ya tidak tahan juga. Kok mudah sekali mengatasnamakan Sinuhun. Padahal itu jelas salah. Itu jelas salah besar. Itu menjerumuskan Sinuhun. Itu merusak nama kraton. Karena, kraton selama ini dipercaya publik sebagai pedoman. La wong kraton sing duwe gawe, kok malah mung ‘Mangayubagya’, kok hanya ‘Mahargya’. Itu ‘kan logika yang jungkir-balik,” tandas KP Budayaningrat. (Won Poerwono-bersambung/i1).