Gusti Moeng Harus Berbagi Waktu Antara Tugas di Kraton dan Memenuhi Undangan di Luar
SURAKARTA, iMNews.id – Gusti Kangjeng Ratu (GKR) Wandansari Koes Moertiyah Wandansari yang akrab disapa Gusti Moeng, memang tokoh dari lingkungan masyarakat adat yang sangat pantas diteladani. Di tengah tugas-tugasnya memimpin segala urusan adat dan administrasi pengelolaan kraton sebagai Pengageng Sasana Wilapa, anak ke-25 Sinuhun PB XII itu tetap memenuhi undangan masyarakat adat di Desa Tawun, Kabupaten Ngawi, yang menginginkan dirinya sebagai Pangarsa Lembaga Dewan Adat bisa hadir dalam upacara adat menguras sendang, yang digelar pada hari yang sama, Selasa Kliwon (Anggara Kasih), 31 Oktober, siang tadi.
Begitu besar kewajiban dan tanggung-jawab yang diembannya, waktu harus dibagi di dua tempat dengan jarak lokasi sekitar 100 KM antara tempat ritual “ngisis wayang” dan “gladen” tari Bedaya Ketawang di Kraton Mataram Surakarta, dengan lokasi upacara menguras sendang di Desa Tawun, Kabupaten Ngawi yang berada di Provinsi Jatim. Walau sudah diatur begitu rupa, tetapi ada kegiatan yang terpaksa tidak bisa ditunggui, yaitu ritual “Ngisis Wayang” Kiai Dagelan yang digelar di gedhong Sasana Handrawina. Tetapi, ritual yang dimulai pukul 10.00 WIB itu, selain tim abdi-dalem yang bertugas, ada Wakil Pengageng Mandra Budaya, KPP Wijoyo Adiningrat yang menjadi “sesepuh penjaga adat” di situ.
“Saya sudah dua kali nderekne Gusti Wandan ke acara itu. Biar para sentana lain yang mengikuti. Karena perwakilan dari Pengageng Mandra Budaya tinggal saya sendiri. Kalau ada yang dituakan, semua yang bertugas ngisis wayang ini jadi nyaman. Tindhih (abdi-dalem)nya juga ada. (RM) Restu ya datang. Malah tepat sekali kalau Gusti Wandan ngrawuhi acara itu. Karena masyarakat adat di sana sudah terlanjur punya hubungan silaturahmi yang erat dengan beliau. Masyarakat di sana berharap Gusti Wandan selalu hadir saat menggelar ritual,” jelas KPP Wijoyo Adiningrat saat ngobrol dengan iMNews.id di “gedhong” Sasana Handrawina, siang tadi.
Seperti diketahui, ritual “ngisis wayang” pada weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon hari ini, tampak berjalan biasa-biasa saja dalam arti lancar, sejak dimulai dengan tatacara mengeluarkan kotak wayang Kiai Dagelan dari ruang penyimpananan, gedhong Lembisana pukul 10.00 WIB. Kotak wayang diusung enam abdi-dalem menuju gedhong Sasana Handrawina sejauh kurang-lebih 100 meter, untuk dikeluarkan semua isinya dan diangin-anginkan atau “diisis”, baik digantung di tali yang dibentang antara tiang saka-guru bangunan maupun di tancapkan pada dua gawang yang ada.
Karena isi kotak Kiai Dagelan hanya berisi kurang dari 200 anak wayang, proses mengeluarkan hingga mengangini satu-persatu tidak memakan waktu lama, begitu pula saat memasukkannya ke kotak setelah dianggap mendapatkan angin segar yang cukup. Kotak wayang Kiai Dagelan, terhitung sudah tiga kali mendapat giliran diangini dalam kurun waktu 10 bulan sejak Gusti Moeng bisa bekerja penuh sebagai Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, 17 Desember 2022. Menurut RT Suluh Juniarsah Adicarito selaku “tindhih abdi-dalem”, isi kotak wayang ini kebanyakan adalah tokoh-tokoh pendukung yang dibutuhkan saat pementasan.
“Maka, isinya ya tokoh-tokoh atau jenis wayang yang biasanya menjadi bagian dari sekotak wayang yang dikeluarkan untuk pertunjukan. Di sini ada semua jenis tokoh Petruk dalam wujud dan nama apa saja. Ada wujud saat bernama ‘Kanthong Bolong’, ada juga wujud saat menjadi raja (Petruk dadi Ratu). Di sini ada berbagai jenis wayang yang melukiskan aneka tumbuhan kekayaan alam Nusantara khususnya di Jawa, kira-kira 200 tahun lalu. Tetapi sudah ada wayang yang melukiskan teknologi kereta api, sepeda genjot, penjara, senggot dan sebagainya. Banyak yang wujudnya lucu-lucu. Maka disebut Kiai Dagelan,” ujar RT Suluh.
Begitu adzan Luhur terdengar, prosesi ritual “ngisis wayang” juga mulai diakhiri dan kotak wayang segera diusung kembali masuk ke gadhong Lembisana yang dikawal KPP Wijoyo Adiningrat. Di saat itu, para abdi-dalem karawitan yang statusnya berada di bahwa “departemen” Mandra Budaya, mulai berdatangan dan mengambil tempat di antara bangunan Pendapa sasana Sewaka dan gedhong Sasana Handrawina. Di situ ada sepasang gamelan Kiai Mangunharja dan Kiai Harjabinangun yang mulai diisi para abdi-dalem itu, karena waktu “gladen” latihan tari Bedaya Ketawang tiap weton Anggara Kasih, akan segera dimulai.
Baru menunggu sekitar lima menit setelah seluruh rangkaian ritual “ngisis wayang” selesai, datangnglah Gusti Moeng yang tampak agak terburu-buru untuk memastikan busana adatnya tetap rapi, setelah turun dari mobil yang membawanya dari tempat upacara menguras sendang di Kecamatan Tawun, Kabupaten Ngawi. Kedatangannya dikawal BRA Arum, seorang di antara generasi wayah-dalem yang dalam beberapa waktu terakhir, “digembleng” Gusti Moeng untuk bersiap menerima tugas kewajiban menggantikan para seniornya memimpin berbagai upacara adat.
Dalam waktu sekejap, Gusti Moeng sudah berada di antara para abdi-dalem pesinden yang duduk lesehan di antara gamelan iringan latihan tari Bedaya Ketawang. Dan beberapa menit kemudian, “buka” panembrama gending Bedaya Ketawang terdengar memenuhi ruang Pendapa Sasana Sewaka, tempat dua set atau sekitar 18 penari Bedaya Ketawang sudah siap dalam posisi duduk bersila di lantai menghadap ke arah barat. Selesai pembukaan, gamelan iringanpun terdengar dan semua penari mengambil sikap hormat dengan “menyembah”, lalu berdiri dan memulai gerakan tari Bedaya Ketawang.
Kalau di sata “ngisis wayang” tampak seorang wayang-dalem Sinuhun Suryo Partono yang bernama BRM Judistira ikut menunggui dan belajar mengikuti prosesinya, saat berlangsung latihan tari Bedaya Ketawang dimulai ditunggui putri tertua Sinuhun Suryo Partono, GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani. Pajabat Pengageng keputren yang juga Ketua Putri Narpa Wandawa yang mantan penari bedaya Ketawang itu, langsung mengenakan sampur dan ikut memandu semua yang berlatih. Para penari yang berlatih, terdidi dari dua set, karena ada para penari yang “direkrut” di Jogja ikut bergabung kembali dalam latihan siang tadi. (won-i1).