
Kini, “Solusi” untuk Kerukunan Semua Kerabat Besar Itu Sudah Mustahil, Entah Nanti
IMNEWS.ID – TELAAH dari sisi hukum untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi sejak putusan Mahkamah Agung (MA) terbit pada 29 Agustus 2022, yang ditindaklanjuti dengan eksekusi putusan itu oleh Panitera Pengadilan Negeri (PN) Surakarta pada 8 Agustus 2024, secara prosedural sudah baik dan benar. Dari sisi material-pun, juga menjadi keputusan sangat tepat.
Tetapi mengapa keputusan hukum tertinggi di Tanah Air yang final, tuntas dan mengikat itu terkesan tidak bisa berjalan dengan baik dan lancar? Berdasar pengalaman yang terjadi secara umum, supremasi hukum di Tanah Air memang banyak cacat dan celanya. Cacat dan cela itu berasal dari kalangan aparat penegak hukum sendiri, bila tidak boleh disebut lembaganya.
Salah satu contoh yang paling jelas, fundamental dan sudah tidak bisa dibantah, adalah amanat konstitusi yang ada pada pasal 18 ayat 2 UUD 45. Di sana disebut, negara harus mengakui dan menghormati satuan pemerintahan adat yang sebelumnya ada. Sebelum diamandemen, bahkan disebut bahwa NKRI terdiri 8 provinsi di luar Jawa dan 2 daerah istimewa di Jawa.

Sebagai ilustrasi, dua daerah istimewa di Jawa yang disebut dalam pasal 18 ayat 2 UUD 45 itu, adalah Surakarta (Makloemat 1 September 1945) dan Jogjakarta (Makloemat 5 September 1945). Atas dasar itu, melalui pemerintah di sekitar tahun 2010 meresmikan Jogja dengan UU Keistimewaan, tetapi anehnya, Surakarta yang lebih dulu mendukung NKRI, justru “tak digubris”.
Contoh di atas jelas sekali melukiskan, bagaimana pemerintah (negara) selama ini tidak menjalankan amanat konstitusi. Khususnya pengakuan terhadap Surakarta sebagai Daerah Istimewa setingkat provinsi, yang “etikanya” didahulukan sebelum Jogja. Terlebih, di Konferensi Meja Bundar (KMB) Den Haag (1949), Sinuhun PB XII yang “dikejar” mengakui Kemerdekaan RI.
Jadi, praktik-praktik pengingkaran dan pengkhianatan amanat konstitusi sebagai konsensus nasional dan supremasi hukum tertinggi ini, sudah “diberi contoh jelas” oleh para pemimpin dan petinggi di NKRI ini. Kalau kemudian Kraton Mataram Surakarta jadi korban “pembangkangan” putusan MA oleh kelompok yang “didukung” penguasa, jadi “dianggap wajar” adanya.

Eksekusi putusan MA No.87/Pdt.G/2019/PN Skt (Ska-Red), 29 Agustus 2022 yang dijalankan Panitera PN Surakarta pada 8 Agustus 2024, menjadi contoh bagaimana friksi yang selama ini terjadi di Kraton Mataram Surakarta mencari solusi terbaik. Friksi di kraton sudah lama terjadi, bahkan sepanjang sejarah, terutama dimulai saat suksesi 2004 di alam republik ini.
Tetapi, solusi terbaik yang diharapkan menjadi modal semangat kalangan keluarga besar keturunan Sinuhun PB XII untuk rukun kembali, rupanya tidak cukup dengan terbitnya putusan MA dan eksekusinya. Terlebih, bila pertemuan rekonsiliasi yang diinisiasi dan disponsori pihak pemerintah itu dianggap solusi, karena hasilnya gagal total nyaris tak bermakna.
Di saat-saat menjelang upacara adat tingalan jumenengan yang diagendakan Sabtu (25/1) atau 25 Rejeb/Rajab Tahun Je 1958 ini, jajaran “Bebadan Kabinet 2004” dan Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta (LHS) hendak menindaklanjuti putusan MA. Yaitu mengirim surat pemberitahuan kepada ke lembaga eksekutif, legislatif, TNI dan Polri di berbagai tingkatan.

Pemberitahuan itu dimaksudkan agar semua lembaga secara struktural di berbagai tingkatan yang diberitahu soal adanya putusan hukum tertinggi dari MA itu, bisa memahami, taat, menghormati dan menjalankan sesuai porsi kewenangannya seperti perintah putusan MA itu. Tetapi, bagaimana kalau amanat konstitusi yang fundamental itu berani diingkari dan dikhianati?.
Atas dasar itulah maka, setelah eksekusi putusan MA pada 8 Agustus 2024 lalu, masih banyak terjadi insiden yang bersumber dari “pembangkangan”. Tindakan itu “dianggap wajar” oleh publik, karena meyakini “pengingkaran” amanat konstitusi itu “dianggap wajar” atau tidak salah. Di ritual Grebeg Mulud (September 2024), menjadi contoh insiden “pembangkangan” itu.
Surat pemberitahuan LHKS kepada semua pihak di atas, dimaksudkan agar semua produk kebijakan dari lembaga Sinuhun PB XIII selama 2017-2022, dipahami sebagai perbuatan melawan/melanggar hukum. Karena, putusan MA itu juga mengakui keberadaan Lembaga Dewan Adat (LDA) secara sah, final, tuntas dan mengikat, sebagai lembaga pengelola kraton dan semua asetnya.

Surat pemberitahuan yang dikirimkan LHKS ke sejumlah pihak itu, di sisi lain untuk menunjukkan bahwa penobatan “GKR” untuk seorang istri Sinuhun dan “Adipati Anom” untuk seorang anak Sinuhun, batal dan gugur demi hukum. Di sisi lain, ini menjadi uapaya untuk “menghadang” kemungkinan munculnya peristiwa yang “lebih jauh” dari dua peristiwa sebelumnya.
Mungkin saja, pemberitahuan itu juga untuk “menghadang” kegiatan-kegiatan sampingan yang biasa muncul menjelang tingalan jumenengan, sebagai salah satu bentuk “pembangkangan”. Karena, dalam beberapa hari terakhir beredar surat atas nama lembaga “Kasentanan” yang ditandatangani pihak lain, sedang “promo” untuk menjaring warga Pakasa menjadi “sentana”.
Melihat perkembangan demi perkembangan sebelum dan sampai sesudah peristiwa eksekusi putusan MA, terkesan sudah tidak mungkin peristiwa “Dekrit LDA” 8 Agustus 2024 itu bisa menjadi solusi yang terbaik, kini. Tetapi entah nanti, apakah masih ada solusi yang lebih tepat dan ideal bagi rekonsiliasi seluruh keluarga besar keturunan Sinuhun PB XII?. (Won Poerwono-habis/i1)