Di Luar Kraton, Elemen-elemen Legitimatif Bisa Dijangkau Secara Adat dan Administratif
IMNEWS.ID – WAKTU lima tahun lebih bagi sebuah kehidupan lembaga masyarakat adat yang bertanggung-jawab merawat peradaban, adalah kesempatan yang sangat berharga. Jalannya pemerintahan republik dari tingkat pusat hingga tingkat daerah, diukur dalam durasi masa jabatan 5 tahunan berupa Pemilu (Pilpres dan Pileg). Pembandingan ini hendak melukiskan bahwa, di luar kerja adat dan di luar masyarakat adat, ada sebuah mekanisme ukuran untuk menakar/menilai hasil karya para birokrat dan pimpinannya yang dibiayai penuh dengan uang banyak. Sedang kerja adat lembaga masyarakat adat dibiayai swadaya murni dan tidak bisa dibatasi waktu.
Karena kepemimpinan adat dan kerja adat tidak dibatasi waktu, maka durasi lima tahun yang terbuang percuma jelas sangat disayangkan, mengingat kesempatan sangat berharga untuk menjalankan segala aktivitas kehidupan adatnya terlewatkan. Hal yang paling bermakna dari perbandingan “dua dunia” itu, bukan soal capaian hasil karya fisik seperti yang dilakukan para birokrat dan pimpinannya. Bagi lembaga masyarakat adat, waktu lima tahun antara 2017-2022 dipandang sebagai momentum/kesempatan emas untuk melakukan proses regenerasi, alih kepemimpinan dan proses pelimpahan tanggung-jawab, tugas dan kewajiban secara adat yang akan menentukan masa depan kraton.
Durasi waktu lima tahun lebih yang hilang atau lewat sia-sia antara April 2017 hingga Desember 2022, adalah durasi waktu yang lumayan lama tetapi sangat penting dan strategis mengingat kurun waktu itu adalah momentum sangat bermakna yang seharusnya diisi dengan kerja-kerja persiapan proses regenerasi dan alih kepemimpinan. Durasi lima tahun itu tidak bisa dimaknai sama dengan batas masa kepemimpinan di pemerintahan yang ditandai dengan Pemilu (Pilpres dan Pileg), karena Kraton Mataram Surakarta adalah sumber budaya Jawa dan peradaban yang harus dijaga kelestarian dan kelangsungannya sampai akhir zaman.
Kalau disebut lewat/hilang sia-sia memang ada benarnya, karena selama lima tahun lebih Kraton Mataram Surakarta hanya diurus sekumpulan orang dari berbagai pihak/kekuatan internal dan eksternal yang “bersekongkol” untuk melakukan perbuatan yang sangat tidak ideal dan kontra dari kewajaran dan kelayakan. Bahkan, di antara pihak-pihak yang berkolaborasi melakukan kerja destruktif di kraton sejak April 2017 yang baru berhenti saat Gusti Moeng kembali masuk kraton (iMNews.id, 18/12/2022), adalah gabungan dari orang-orang yang memiliki “standar etika sangat rendah” dan “kualitas penalaran sangat rendah”.
Ketika mencermati cara mengurus kraton selama lima tahun lebih antara April 2017 hingga Desember 2022 itu, momentum dan kesempatan emas hilang atau lewat sudah, karena upaya transfer knowledge, technology dan experience dari generasi kedua kepada generasi ketiga menjadi tersendat. Proses alih kepemimpinan yang harus dimulai dengan transfer atau sharing pengalaman, pengetahuan dan teknologi dari generasi Gusti Moeng (putra-/putri-dalem) kepada generasi wayah-dalem, nyaris tidak terjadi di dalam Kraton Mataram Surakarta, walau Sinuhun PB XIII Suryo Partono tetap ada di dalam dan memimpin para pengikutnya.
Itu berarti, Sinuhun yang justru didukung penguasa selama lima tahun lebih itu, justru tidak melakukan hampir semua kerja persiapan alih kepemimpinan baik transfer maupun sharing pengalaman, pengetahuan dan teknologi. Waktu selama itu hanya diisi dengan menggelar beberapa di antara upacara adat yang terkesan asal ada atau “waton” terwujud, tetapi bisa mendapatkan “untung banyak”. Karena pemerintah justru mengucurkan bantuan melalui berbagai pintu tanpa perlu “LPj”, sebagai “kompensasi” atas “dukungannya” terhadap “persekongkolan” dalam upaya menghancurkan kewibawaan, harkat dan martabat kraton.
Dalam serba keterbatasan di luar kraton, Gusti Moeng tetap memperhatikan pentingnya proses regenerasi dan alih kepemimpinan harus berjalan. Selain memupuk potensi kekuatan legitimasi yang tersebar di cabang-cabang Pakasa di beberapa provinsi, kelengkapan-kelengkapan lembaga adat dan cirikhas Islam Mataram juga mendapat perhatian penuh. Sehingga, selain pengurus Pakasa cabang bisa tumbuh di berbagai daerah, elemen-elemen seperti Putri Narpa Wandawa, abdi-dalem “Kanca-Kaji”, abdi-dalem “Kethib” dan para juru-kunci makam leluhur Dinasti Mataram bisa dijangkau Pengageng Sasana Wilapa/Pengarsa Lembaga Dewan Adat.
Secara umum, kerja-kerja adat terutama yang menyangkut penyiapan SDM untuk proses regenerasi dan alih kepemimpinan yang dilakukan Sinuhun PB XIII Suryo Partono di dalam kraton memang bisa disebut “nihil”. Tetapi, selama lima tahun “bekerja” sambil “berjuang” dalam serba keterbatasan di luar kraton, Gusti Moeng justru bisa melakukan inventarisasi dan konsolidasi secara adat dan administratif kelembagaan kraton. Termasuk mempersiapkan sang putra mahkota calon pemimpin, “KGPH Mangkubumi” ditingkatkan kemapanan spiritual kebatinannya dengan berganti nama menjadi “KGPH Hangabehi”, melalui sebuah ritual pada Desember 2022.
Selama “bekerja” dan “berjuang” di luar kraton, “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng sebagai Pengageng Sasana Wilapa/Pengarsa Lembaga Dewan Adat juga sudah menginisiasi proses alih kepemimpinan di beberapa elemen penting di kraton, seperti ketika organisasi Putri Narpa Wandawa ditinggal ketuanya, GKR Sekar Kencana yang wafat di (Kamis, 5/11) tahun 2020 ke tangan adiknya, yaitu GKR Retno Dumilah yang juga menyusul wafat di (Rabu, 26/5) tahun 2021. Proses regenerasi di organisasi Putri Narpa Wandawa ini dituntaskan Gusti Moeng ketika melantik GKR Timoer Rumbai sebagai ketua baru, beberapa bulan lalu.
Menyadari terbuangnya waktu lima tahun selama 2017-2022, Gusti Moeng tak ingin menyia-nyiakan kesempatan sejak bekerja kembali secara penuh di dalam kraton yang efektif mulai 1 Januari 2023. Jabatan Pengageng Kusuma Wandawa segera diserahkan kepada putra mahkota KGPH Hangabehi, yang diteruskan dengan penyerahan peran-peran penting kepadanya, di antaranya memimpin utusan-dalem dalam upacara adat di dalam dan di luar kraton. Alih kepemimpinan di luar kraton untuk menjalin hubungan kraton dengan masyarakat adat di bawah Pakasa cabang, juga mulai diterima KGPH Hangabehi di sejumlah event di berbagai tempat. (Won Poerwono-bersambung/i1).