Kerja Adat tak Efektif, Lahirkan Penyimpangan dan Tidak Produktif Akibat Kondisi “Force Majour” (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 23, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Kerja Adat tak Efektif, Lahirkan Penyimpangan dan Tidak Produktif Akibat Kondisi “Force Majour” (seri 1 – bersambung)
"ONTRAN-ONTRAN 2004" : Pintu masuk Kori Brajanala Lor atau lawang-gapit utara dipasangi barikade ketika terjadi "ontran-ontran" akibat KGPH Tedjowulan mendahului menjadi Sinuhun PB XIII, sebelum jumenengan ke Sinuhun PB XIII Suryo Partono di tahun 2004. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Perlu Solusi Bijak untuk Mengatasi Ketinggalan Selama Lima Tahun

IMNEWS.ID – SELAMA lebih lima tahun sejak April 2017 hingga 17 Desember 2022 Kraton Mataram Surakarta bisa disebut “lumpuh separo” yang mengisyaratkan kondisi “force majour”, karena selama itu kraton ditutup secara sepihak sehingga tersisih dari pergaulan umum. Hingga kini, tak pernah jelas apa yang menjadi alasan perbuatan arogan yang menjurus pelanggaran HAM itu, tetapi akibat yang ditimbulkannya sangat jelas. Hak untuk hidup dan menjalankan adat serta budayanya secara pribadi maupun kelompok, menjadi terhambat, terhalang dan terancam keberlanjutannya hingga semakin ketinggalan perkembangan.

Salah satu bidang yang terhalang, terhambat dan tertinggal perkembangan zaman adalah proses regenerasi alih kepemimpinan yang sudah menjadi keniscayaan, dari generasi kedua Sinuhun PB XII (1945-2004) ke generasi ketiga atau generasi wayah-dalem Sinuhun PB XII. Proses regenerasi dan alih kepemimpinan ini mutlak sangat perlu, karena kelembagaan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta masih diakui dan dipercaya sebagai sumber budaya dan pusat peradaban Jawa. Kraton Mataram Surakarta masih dan akan terus dibutuhkan sebagai pedoman dan tuntunan hidup sosial bermasyarakat, bahkan modal penting ketahanan budaya nasional.

“OPERASI MILITER” : Kraton Mataram Surakarta menjadi ajang dan target insiden “mirip operasi militer” pada April 2017, oleh kekuatan penguasa dan oknum-oknum kerabat yang “berpetualang” mendukung delegitimasi, dekulturisasi dan desakralisasi kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Publik secara luas mungkin sulit memahami situasi dan kondisi riil yang terjadi di kraton, begitu pula sebab-akibat yang pernah terjadi dan akan dialami khususnya bagi internal masyarakat adat. Termasuk bagaimana bisa memahami masa lalu sebelum 17 Agustus 1945, peristiwa proses suksesi 2004, peristiwa “insiden mirip operasi militer 2017”, peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton 17 Desember 2022”, peristiwa “perdamaian 3 Januari 2023” dan apa saja yang bisa terjadi kelak setelah itu. Karena, dari rentetan peristiwa itu bisa dibaca dan dipahami, karena sangat mungkin bisa menjadi rangkaian persoalan yang selama ini dihadapi Kraton Mataram Surakarta.

Berita-berita dari berbagai media sudah banyak mengabarkan semua peristiwa itu, tetapi pesan yang disajikan belum tentu mencerminkan kondisi riil yang ada di kraton, dan juga belum tentu bisa dipahami kalangan media itu sendiri. Karena cara bekerjanya lebih mementingkan produktivitas, kecepatan dan berorientasi profit semata, tetapi banyak mengabaikan kualitas terutama yang menyangkut esensi sebuah persoalan. Asumsi kerja jurnalistik banyak lembaga media, rata-rata hanya berpedoman  bahwa semua persoalan yang muncul di negeri ini, bisa mendapatkan porsi pemberitaan di masing-masing media. Itu saja.

“PEJUANG BEREAKSI : Para perjuang paugeran adat yang dipimpin Gusti Moeng saat melakukan aksi demo di topengan Kori Kamandungan tahun 2018. Mereka bereaksi keras terhadap orogansi pihak-pihak yang “bersekongkol” menutup Kraton Mataram Surakarta pada April 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Itu sebuah kesalahan besar yang terjadi di lingkungan kerja jurnalistik para awak medianya, begitu pula perusahaan medianya yang masing-masing memiliki kebijakan dalam pemberitaan medianya. Politik pemberitaan yang dimiliki rata-rata media di tanah Air, sangat jarang yang terarah pada idealisme perlindungan peradaban dengan basis kesadaran menjaga kelestarian budaya dan peradaban warisan sejarah. Politik pemberitaan media, lebih banyak mengikuti mainstream watak industri yang lebih fokus pada peristiwa kekinian, menarik (iklan) secara massal, orientasi profit dan cenderung menjadi “alat” penguasa.

Padahal, untuk NKRI terutama di masa kini, sangat dibutuhkan media yang memiliki politik pemberitaan yang bisa membangun kekuatan ketahanan budaya nasional. Untuk mewujudkan itu, butuh media yang punya kepedulian terhadap sumber-sumber budaya dan pusat-pusat peradaban yang punya potensi menjadi kekuatan ketahanan budaya lokal. Dan untuk keperluan itu, kerja jusnalisitik diperlukan modal untuk memahami persoalan-persoalan mendasar sumber-sumber budaya dan pusat-pusat peradaban itu, termasuk bagaimana bisa hidup berdampingan saling menjaga dan saling menguntungkan (mengedukasi-Red).

MEMBERI PENJELASAN : Gusti Moeng memberi penjelasan kepada Kapolresta Surakarta setelah berhasil masuk kraton dengan melompat pagat tembok di “Ngindra”, akibat ada teriakan maling dari dalam yang seorang dengan panggung “Ngindra” itu, 17 Desember 2022. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ciri-ciri dan sifat-sifat kebanyakan media saat ini seperti tersebut di atas, sangat merugikan bagi eksistensi dan ketahanan kelembagaan masyarakat adat seperti Kraton Mataram Surakarta, terutama di alam kebebasan berekspresi sejak rezim pemerintahan Orde Baru tumbang. Kecuali kelembagaan masyarakat adat tertentu, misalnya Kraton Jogja yang menjadi bagian dari “penguasa” karena “rajanya” menjadi pejabat “Gubernur”, juga “Kadipaten” Mangkunegaran yang pimpinannya menjadi “anak-buah” Kemen BUMN. Intinya, ketika bersedia menjadi “anak buah” dan mau diperlakukan sebagai “hambanya” atau lebih buruk lagi, pasti beruntung.

Tetapi karena kelembagaan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta memiliki latar-belakang posisi, jasa-jasa dan peran penting melebihi dua contoh kelembagaan masyarakat adat di atas, maka tidak selayaknya Kraton Mataram Surakarta diperlukan atau mau menempatkan diri pada posisi yang tidak terhormat, tidak punya harkat dan tidak bermartabat seperti itu. Bagaimanapun, Sinuhun PB XII dan Kraton Mataram Surakarta adalah “raja” dan kraton pertama yang mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI. Itu fakta yang tak terbantahkan. Museum Rekor (Dunia) Indonesia (MURI)-pun mengakui itu.

SOAL “PERDAMAIAN” : Gusti Moeng didampingi Gusti Devi dan KPH Edy Wirabhumi memberi penjelasan dalam konferensi pers dengan para awak media soal peristiwa “perdamaian” yang dicapainya dengan Sinuhun PB XIII Suryo Partono, 3 Januari 2023. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kekuasaan” yang mengkooptasi sebagian pemberitaan media di satu sisi, dan perkembangan yang tak jelas arah bagi sebagian  media di sisi lain, jelas sangat tidak menguntungkan bagi kelembagaan masyarakat adat khususnya Kraton Mataram Surakarta. Langsung atau tidak langsung, pengaruh “kekuasaan” terhadap media ikut menjadi penghalang, penghambat dan bertendensi meruntuhkan serta “meniadakan” kebesaran “Mataram” dari muka bumi Nusantara. Peristiwa “insiden mirip operasi militer” April 2004, sangat jelas peran “kekuasaan” yang menggunakan figur-figur internal kraton, maupun melalui media yang “dikooptasi”.

Ketika mencermati peristiwa-demi peristiwa itu, terutama dalam lima tahun lebih antara April 2017 hingga 17 Desember 2022, jelas sekali telah membuang waktu sia-sia, karena seharusnya sangat berharga untuk menggelindingkan proses regenerasi kepemimpinan di Kraton Mataram Surakarta. Kerugian yang sangat besar sudah mulai dirasakan orang-orang yang paham dan peduli terhadap pentingnya melestarian budaya Jawa dan pentingnya menjaga kelangsungan kraton, tetapi bisa dimaklumi kalau dianggap bukan masalah bagi sekelompok figur yang berkolaborasi dengan “penguasa” yang telah “merusak” kraton. (Won Poerwono-bersambung/i1).