Eksekusi PN Surakarta, Cara Terhomat Mengantar Kembalinya Kewibawaan, Harkat dan Martabat Kraton
IMNEWS.ID – LINGKUNGAN tempat orang pertama di Kraton Mataram Surakarta yang telah dinyatakan “melakukan perbuatan melawan hukum” sesuai eksekusi atas putusan Mahkamah Agung (MA) No 87/Pdt.G/2019/PN Ska, 29 Agustus 2022 yang dibacakan juru-sita Kamis (8/8/2024) itu, ternyata tidak hanya ada “siluman” lembaga Pengageng Parentah Kraton.
Lingkungan itu ternyata menjadi tempat berkumpulnya “para siluman” tokoh lembaga yang sudah “tidak berlaku” di kraton, bahkan dari luar kraton. “Siluman” lembaga eks Pengageng Keputren, Pengageng Sasana Prabu, tokoh “Pangeran” eks tahanan Polresta dalam kasus “penggelapan” uang setoran pedagang Sekaten, mantan “Sinuhun” dan sebagainya juga sering muncul di sana.
Yang bikin “merinding”, siluman “GKR” dari “Kraton Swarga Bandang” dan saudaranya yang menjadi “siluman” Pengageng Sasana Wilapa juga melakukan “penampakan” di sana. Bahkan, “siluman” seorang adik yang pernah “ditangkap” polisi, karena dituduh “melarikan” mobil Pajero yang dibeli dari uang hibah APBD Pemprov Jateng Rp 1,8 M (antara 2017-2020), juga tampak di sana.
Kira-kira seperti itulah gambaran wajah lingkungan Sinuhun PB XIII yang berada di “pihak seberang” tetapi “The wrong place”, yang sudah dinyatakan “melakukan perbuatan melawan hukum” karena telah menyalahgunakan SK Kemendagri No 430-2933 Tahun 2017. SK Kemendagri itu digugat secara perdata oleh 5 orang yang terdiri dari 4 wayah-dalem dan 1 buyut-dalem PB XII.
Sidang gugatan perdata sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) itu, berlangsung di PN Surakarta, berlanjut sidang banding di PT Semarang dan berakhir di kasasi di Mahkamah Agung (MA), hingga keluarlah putusan MA No 87/Pdt.G/2019/PN Ska, 29 Agustus 2022. Putusan itu lalu ditetapkan di PN Surakarta dan terbit surat eksekusi yang dilaksanakan tim, Kamis (8/8).
Baik Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA, KPH Edy Wirabhumi (Pemimpin Eksekutif LHKS) dan semua jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang pernah merasa “tersakiti” mulai peristiwa “Raja Tandingan” di tahun 2004, “insiden mirip operasi militer” 2017 dan sebagainya, tampak sudah “mengikhlaskan” pengorbanan dan penderitaan yang dialami.
Sikap ikhlas itu beberapa kali sudah diungkapkan secara langsung maupun tersirat dalam berbagai kesempatan, terutama yang diwakili oleh Gusti Moeng dan KPH Edy Wirabhumi. Dalam penegasannya bahwa eksekusi putusan MA itu bukan sebagai penentuan kemenangan salah satu pihak, karena penyelesaian secara hukum itu merupakan cara yang paling tepat dan adil.
Penyelesaian secara hukum yang keputusannya berlaku tetap dan final, adalah bentuk penyelesaian yang memenuhi rasa keadilan dan berkekuatan hukum. Karena, semua pihak yang berperkara harus menghormati, patuh dan tunduk serta menjalankan putusan itu. Terlebih, hukuman bagi pihak yang dinyatakan “telah melakukan perbuatan melawan hukum”.
Dengan proses hukum dan hasil dari penyelesaian itu pula, secara tidak langsung telah membuka mata publik lebar-lebar, bahwa kini semakin tampak dan terpisah jelas dan tegas, mana pihak yang berada “di seberang” tempat berkumpul dan bertemunya “orang baik” atau “the right man”, dan mana pihak seberang tempat bersekongkolnya “orang jahat” (the wrong man).
Ketika melihat fakta-fakta seperti itu, struktur penalaran yang normal tentu sangat menyayangkan, jika pihak yang sedang punya kekuasaan, termasuk yang terlibat dalam “insiden mirip operasi militer” 2017, justru mendukung dan berkomplot dengan “pihak seberang”. Padahal, di situ tempat berkumpulnya “The wrong man and The bad man, in The Wrong place”.
Keniscayaan dari sebuah adagium yang menyebut “orang baik pasti akan bertemu dengan orang baik”, dan yang sebaliknya pasti juga akan berada di tempat sebaliknya, memang benar-benar terjadi dan benar adanya. Peristiwa “ontran-ontran” yang terjadi tahun 2004, beberapa kali rentetan terjadi berikutnya, hingga memuncak di tahun 2017, di kratonlah contohnya.
Rentetan kejadian di alam republik itu, bukan di negeri dongeng. Hal-hal yang semula sering didengar dalam dongeng itu, benar-benar terjadi secara nyata di Kraton Mataram Surakarta. Cerita soal “The right man in The right place” dan sebaliknya, nyata benar ada. Bahkan bisa dibaca jelas, yang mana jadi peran “antagonis” dan mana yang “protagonis”.
Kini, 20 tahun hampir genap sejak “ontran-ontran” terjadi mulai akhir bulan Agustus 2004, perputaran “roda keadilan” itu mulai terwujud dan dirasakan. Begitu banyak orang dan pihak “tersakiti” dan “teraniaya” oleh “pengkhianatan” Tiga Pengageng di Sasono Purnomo (2004), hingga puncaknya “insiden mirip operasi militer” 2017, satu persatu “menuai yang pernah ditanam”.
Hukum kausal akan tetap berlaku di manapun dan kapanpun, itu pasti. Kata bijak yang sering diucapkan dalam “janturan” seni pedalangan, “Sapa sing nandur, bakal ngundhuh”, sedikit demi sedikit mulai terbukti. Keikhlasan semua yang pernah tersakiti dan teraniaya bersama jatuhnya harkat dan martabat kraton bertahun-tahun, Kamis (8/8) lalu sudah mendapatkan jalannya.
Jalan, cara, jawaban atau obatnya adalah peristiwa eksekusi yang dilakukan tim dari PN Surakarta yang dipimpin Dr Asep Dedi Suwasta SH MH (Panitera PN), Kamis (8/8) itu. Peristiwa itulah yang paling pantas, layak dan terhormat untuk mengantar kembalinya “Bebadan Kabinet 2004” bersama kehormatan, kewibawaan, harkat dan martabat Kraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono-bersambung/i1)