Semua Kerabat Sentana-Dalem Mengenakan Busana Kebesaran “Kampuh Kepuh Sampir”
SURAKARTA, iMNews.id – Upacara adat hajad-dalem Garebeg Mulud Sekaten 2023 ini menjadi titik awal “kebangkitan” Kraton Mataram Surakarta dari berbagai “belenggu” dan “himpitan” yang selama satu dekade terakhir benar-benar dirasakan kalangan inernal warga masyarakat adat Mataram Surakarta. Di saat “Bebadan Kabinet 2004” sudah kembali bekerja di dalam kraton sejak 17 Desember 2022 dan 3 Januari 2023, peristiwa-demi peristiwa adat dan budaya terus digarap dan dikelola dengan baik dan ditangani oleh para ahli profesional di bidangnya yang memiliki kapasitas dan kewenangan sesuai peran masing-masing.
Dan, di dalam puncak upacara adat hajad-dalem Garebeg Mulud Sekaten 2023 yang digelar kraton tepat pada peringatan hari raya Maulud Nabi Muhammad SAW, 12 Mulud Tahun Jimawal 1957 arau 12 Rabiul Awal tahun 1445 Hijriyah, Kamis (28/9) siang tadi, kraton menampilkan putra mahkota KGPH Hangabehi untuk memimpin prosesi upacara adat yang puncaknya berada di kagungan-dalem Masjid Agung itu. Selain tampilnya sang putra mahkota memimpin prosesi, citarasa “kebangkitan” itu juga diperlihatkan oleh dukungan sekitar 30-an tokoh kerabat sentana yang mengenakan busana kebesaran “Kampuh Kepuh Sampir” untuk mengiring dan mengawal KGPH Hangabehi sampai di Masjid Agung dan perjalanan pulang sampai di kraton.
Citarasa “kebangkitan” yang ditampakkan dalam momentum Garebeg Mulud Sekaten “perdana” di tahun 2023 setelah lebih lima tahun “disingkirkan” ke luar kraton bersama semua jajaran “Bebadan Kabinet 2004” itu, juga sekaligus sebagai upaya menyampaikan pesan bahwa kalangan generasi muda kraton sudah siap menerima estafet tugas, dan kalangan senior dan “sesepuh” serta “pinisepuh” mulai menempatkan diri dalam posisi “tut wuri handayani”. Dalam puncak prosesi upacara adat siang tadi, selain memimpin utusan ke kagungan-dalem Masjid Agung, juga menyampaikan “dhawuh” kepada abdi-dalem jurusuranata KRAT Tafsir Anom untuk mendoakan hajad-dalem Gunungan Garebeg Mulud.
“Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT) Tafsir Anom, pakenira nampi dhawuh handongani hajad-dalem Gunungan Garebeg Mulud. Nuli katindakna,” ujar KGPH Hangabehi dalam bahasa Jawa krama madya untuk memberi perintah kepada abdi-dalem KRAT Tafsir Anom untuk memimpin doa wilujengan hajad-dalem Garebeg Mulud. “Nuwun inggih, sendika,” begitu jawab KRAT Tafsir Anom yang segera mengucapkan lafal pembukaan doa yang terus dia pimpin hingga selesai. Setelah doa dijawab dengan “….amin…..amin….”, kembali KGPH Hangabehi berpesan, “sak-uwise kadonganan, nuli kabagi kang warata.”
Kata-kata penutup KGPH Hangabehi itu, bermaksud agar setelah hajad-dalem Gunungan didoakan, terus dibagi-bagikan kepada warga yang “ngalab berkah” Gunungan Sekaten secara merata. Tetapi, kata-kata permintaan yang diucapkan di tengah upacara berlangsung di Pendapa Masjid Agung itu sedikit terlambat, karena ketika lafal doa belum berakhir, terdengar suara riuh-rendah dan heboh dari depan “topengan” masjid sisi selatan, tempat sepasang Gunungan diletakkan. Suara itu berasal dari ekspresi pengunjung Sekaten, yang mendahului berebut seisi Gunungan hingga ludes dalam hitungan menit dan tinggal bonggol atau kerangkanya saja, karena para abdi-dalem pengusung Gunungan juga tak mau ketinggalan ikut “bertindak cepat”.
Suara gaduh di luar pendapa masjid yang cepat berlalu, segera disusul dengan aba-aba untuk mengusung sepasang Gunungan lainnya dengan gerak cepat dibawa berjalan kembali menuju kraton. Tetapi, suara gaduh justru muncul di dalam pendapa masjid, karena warga yang sebelumnya ikut berdoa, “diizinkan ngalab berkah” nasi “tumpeng sewu” yang ada di dalam jodang dan menjadi ujub doa wilujengan. Dalam sekejap, nasi yang berada dalam belasan jodang juga ludes, bahkan terlihat beberapa orang masih berusaha mengais nasi yang tersisa dan menempel di dalam jodang.
Karena, doa sudah selesai dan dikhawatirkan akan menjadi sasaran “keberingasan” pengunjung untuk mendapatkan Gunungan, dengan dikawal puluhan atau bahkan ratusan petugas keamanan internal kraton, sepasang Gunungan segera dibawa keluar dari halaman masjid. Begitu tiba di halaman Kamandungan, sepasang Gunungan juga ludes “dijarah” dalam sekejap. Tetapi intinya, sesudah didoakan di Masjid Agung, harus ada Gunungan yang dibawa kembali ke kraton dan “dibagi-bagikan secara merata” di halaman Kamandungan.
Hebohnya peristiwa “nuli kabagi kang warata” Gunungan di halaman Kamandungan, hanya berselang lebih 5 menit sebelum rombongan KGPH Hangabehi baru tiba di halaman Kamandungan untuk kembali masuk kraton. Karena rombongan yang jumlahnya ratusan orang, sekitar 100-an di antaranya berbagai Bregada Prajurit, sudah lebih dulu tiba karena harus mengawal Gunungan. Begitu pula gamelan Sekaten Kiai Guntur Sari, yang dipikul ratusan orang dan ditabuh secara “live” sambil berjalan mengikuti Gunungan, begitu tiba di halaman Masji Agung, istirahat sebentar lalu diusung kembali ke kraton dalam posisi diam atau tidak ditabuh menyajikan gending “Rambu” dan “Rangkung”.
Berakhirnya peristiwa puncak upacara adat hajad-dalem Garebeg Mulud Sekaten 2023, berarti selesailah semua rangkaian inti upacara adatnya. Karena, upacara adat Sekaten secara resmi dimulai dengan ditabuhnya kali pertama gamelan Kiai Guntur Madu di Bangsal Pradangga Kidul, menyajikan gending “Rambu”, diikuti gamelan Kiai Guntur Sari di Bangsal Pradangga Lor menyajikan gending “Rangkung”. Rangkaian konser gamelan Sekaten berakhir Rabu malam (27/9), dan kamis pagi sekitar pukul 08.00 WIB tadi pagi, keduanya diusung kembali masuk kraton, tetapi salah satunya disertakan dalam prosesi mengarak Gunungan Sekaten ke Masjid Agung.
Peristiwa Sekaten perdana setelah “perdamaian” (3 Januari 2023) kali ini, selain menjadi pusat perhatian masyarakat dari berbagai daerah yang jauh terutama yang menyaksikan langsung dalam jumlah yang rata-rata masih besar sejak 21 September hingga siang tadi, juga mendapat perhatian besar dari kalangan internal masyarakat adat sendiri, baik para kerabat sentana maupun para pengurus Pakasa cabang. Busana kebesaran “Kampuh Kepuh Sampir” yang dikenakan para kerabat sentana, menjadi daya tarik wisata tersendiri, begitu pula kehadiran rombongan Pakasa Ponorogo, cabang Magelang, cabang Jepara, cabang Pati, Kudus dan Boyolali yang sengaja ingin menikmati “sensasi” menjadi petugas dalam prosesi puncak Gunungan Garebeg Mulud itu. (won-i1).