“Kesengajaan Membusukkan Nama Baik Keluarga Besar Pradapaningrum”?
IMNEWS.ID – KESALAHAN fatal media publikasi pengumuman kegiatan upacara adat di Kraton Mataram Surakarta yang terkesan “dibiarkan terulang” selama lima tahun sejak 2017-2022, bahkan sampai terpaksa “ditegur” Gusti Moeng karena terulang di tahun 2023 ini, bisa melahirkan dua kemungkinan. Yang pertama, ada kesengajaan pihak internal di sekitar Sinuhun PB XIII membiarkan kesalahan terjadi karena punya misi atau tujuan tertentu, atau yang kedua karena tidak sengaja akibat memang sama sekali tidak menyadari atau merasa melakukan kesalahan.
Analisis ini muncul karena kesalahan fatal itu berulang selama lima tahun, padahal setiap tahun sedikitnya ada empat kali kegiatan upacara adat yang diumumkan dengan beberapa jenis platform publikasi, di antaranya spanduk dan baliho. Empat kegiatan upacara adat yang diselenggarakan Kraton Mataram Surakarta yang digelar rutin setiap tahun itu adalah, kirab pusaka menyambut 1 Sura Tahun Baru Jawa/Tahun Baru Hijriyah, hajad-dalem Garebeg Mulud (Maulud Nabi Muhammad SAW), hajad-dalem Garebeg Syawal (Idhul Fitri/Lebaran) dan hajad-dalem Garebeg Besar (Idhul Adha/Lebaran Haji).
Kesalahan fatal yang terjadi hampir di setiap menggelar upacara adat rutin tiap tahun sampai terulang selama lima tahun itu, terkesan dibiarkan oleh “pihak” Gusti Moeng selama itu, karena sangat tidak mungkin dilakukan perbaikan oleh “pihak” yang sebenarnya merasa “risi” tetapi tidak punya mekanisme prosedur akibat “disingkirkan” ke luar kraton sejak April 2027. Sementara, tim kreatif yang sangat dimungkinkan bergerak atas perintah pihak berwenang sekitar Sinuhun PB XIII, tidak memiliki figur ahli atau yang menguasai soal “public speaking”, terutama menguasai kalender Sultan Agung.
Seperti diketahui, insiden “mirip operasi militer” pada April 2017, langsung atau tidak langsung telah membuat keluarga besar masyarakat adat di dalam kraton, terutama putra/putri-dalem Sinuhun PB XII menjadi terbelah dua atau menjadi dua pihak yang berseberangan. Dan faktanya, hampir semua figur sentana-dalem yang di dalamnya punya kapasitas sebagai paranpara-nata yang menguasai paugeran adat, kalender Jawa karya Sultan Agung, lembaga tata-nilai, kelembagaan seni-budaya Jawa memilih mengikuti jejak Gusti Moeng berjuang di luar kraton.
Dalam kondisi seperti itu, sangatlah wajar apabila segala produk kebijakan Sinuhun PB XIII yang faktanya “hanya diolah” dan “diterbitkan” sekelompok orang di sekitar Sinuhun PB XIII, banyak mengalami kesalahan bahkan fatal, karena tidak disertai/memiliki kelengkapan SDM yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan sampai keluarnya kebijakan, misalnya dalam bentuk baliho publikasi/pengumunan upacara adat. Tetapi, KP Budayaningrat memandang, meskipun tak ada tokoh ahli yang memberi masukan/saran, belakang semakin terlihat ada potensi kesengajaan membiarkan/melakukan kesalahan karena ada misi/tujuan tertentu.
“Saya melihat, ada potensi untuk semacam ‘membusukkan nama baik’ keluarga besar Pradapaningrum. Karena, segala keputusan dan kebijakan yang selalu diatasnamakan Sinuhun PB XIII, ketika ditegur dan diluruskan atau diberi saran. Kalau ditanya soal adanya kejanggalan atau ketidaksesuaian tatacara adat, selalu dijawab aturan Sinuhun sekarang begini, ‘dhawuh’ Sinuhun memang begini atau seperti ini. Saya jadi tidak habis pikir. Ini kok gelagatnya ada yang ingin menjerumuskan Sinuhun, agar nama baik keluarga besar Pradapaningrum menjadi jelek. Dan kemudian, publik bisa memberi stigma negatif kraton yang serba buruk di bawah kepemimpinan keluarga Pradapaningrum,” sebut “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarata itu.
Kesan-kesan seperti itu juga ditangkap KPP Wijoyo Adiningrat, Wakil Pengageng Mandra Budaya yang sempat “ngobrol” dengan iMNews.id di tempat dan waktu terpisah. Selain kesengajaan mendorong figur tertentu untuk “melanggar” paugeran adat lalu mempublikasikannya dalam baliho dan sejenisnya, juga diketahui ada upaya untuk melakukan “klaim” atas kerja adat yang gencar dilakukan Gusti Moeng dan semua pengikutnya sejak 17 Desember 2022 hingga kini. Karena “klaim” itu berhubungan dengan aliran dana bantuan untuk berbagai kegiatan upacara adat dari pemerintah, melalui seorang figur internal kraton sebagai “penanggungjawab proyeknya”.
“Kalau ada kesalahan fatal yang berhubungan dengan publikasi, mungkin ada kerabat ‘Bebadan Kabinet 2004’ yang paham soal itu melihatnya. Tetapi, saya melihat ada bentuk kesalahan lain yang dilakukan pihak sana (Sinuhun-Red). Yaitu upaya untuk klaim kegiatan upacara adat yang dilakukan di bawah kendali Sasana Wilapa sebagai kerja adatnya. Ini sangat mungkin berkaitan dengan aliran dana bantuan pemerintah. Padahal, semua dibiayai secara mandiri yang diupayakan melalui Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat,” jelas mantan instruktur karate di Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura itu.
KPP Wijoyo Adiningrat yang paham benar tata-nilai paugeran adat dan sebarisan dengan Gusti Moeng untuk terus menegakkannya, juga sangat paham kesalahan fatal yang terjadi dalam proses munculnya “Kanjeng Ratu baru”. Berikut, dia mengaku juga pernah memberi masukan dan saran saat KGPH Hangabehi hendak “jumeneng nata” menjadi Sinuhun PB XIII, 19 tahun silam. Karena mendengar dan mempertimbangkan “keragu-raguan” Sinuhun PB XII semasa hidupnya (1945-2004), lalu dia menyarankan agar KGPH Hangabehi menggunakan gelar “Sinuhun Amangkurat” dan tidak menggunakan gelar “Sinuhun PB XIII”.
Tetapi, saran atau masukan bisa saja diabaikan, karena ada pertimbangan yang lebih beralasan sehingga tetap dipakai gelar Sinuhun PB XIII. “Keragu-raguan” Sinuhun PB XII bukan karena angka “13” dikenal sebagai angka sial, tetapi pertimbangan akal sehat menyebut, angka berapapun harus dipakai untuk menjaga keutuhan urutan perjalanan dinasti, lengkap dan benar. Meskipun oleh sebagian tokoh di kraton yang sempat diwawancarai iMNews.id antara 2017-2022 menyebut, fakta telah menunjukkan bahwa apa yang didambakan dari “Sang Penerus” tahta ini, ternyata “Mrucut saka gendhongan” dan “Luput saka kekudangan”. (Won Poerwono-bersambung/i1).