Kabupaten Ponorogo Jadi Poros Kekuatan Pelestarian di Wilayah Timur, Sekaligus Jadi Percontohan
IMNEWS.ID – SEKITAR kawasan Gunung Muria memiliki beberapa daerah kabupaten yang mendapat “keberuntungan”, karena menjadi perlintasan proses meredupnya Kraton Majapahit (abad 14) dan transisi ke era kraton-kraton Islam yang dimulai dengan lahirnya Kraton Demak (abad 14-15). Di situ, para “Wali Sanga” sebagai tokoh-tokoh penting dalam syi’ar Islam, menjadi ciri pembeda.
Karena faktanya para tokoh leluhur Dinasti Mataram paling banyak ditemukan makamnya di Kabupaten Pati, maka pantaslah kabupaten ini disebut poros potensi kekuatan pelestarian budaya Jawa. Karena, pada waktu itu raja-raja Dinasti Mataram adalah pemimpin otoritas tertinggi dan resmi dalam pelestarian budaya Jawa yang pernah dilahirkannya.
Dan, sampai saat ini, Kraton Mataram Surakarta menjadi Kraton Mataram terakhir yang meneruskan pelestarian budaya Jawa serta menjadi payung besar bagi produk budaya dan kerja pelestariannya. Meskipun, otoritas yang dimiliki sebagai payung besar itu, tidak seutuh dulu, saat masih dilengkapi dengan kedaulatan politik pemerintahan dan administrasi kewilayahan.
Walau keniscayaannya begitu, bukan berarti itu tidak rasional. Justru sebaliknya, potensi kekuatan pelestarian budaya Jawa yang terkoneksi dengan Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta, malah sangat rasional. Walau belum menemukan format sinergitas dengan Pakasa cabang secara ideal, tetapi yang dirintis poros Gunung Muria dan sebelahnya, sudah sangat tepat.
Kebangkitan kesadaran masyarakat adat di sekitar kompleks makam para tokoh leluhur Dinasti Mataram yang tersebar di eks wilayah kedaulatan “nagari” Mataram Surakarta, terutama di Kabupaten Pati, menjadi poros kekuatan pelestarian budaya Jawa wilayah utara yang sangat rasional mengayom ke LDA pengayoman Kraton Mataram Surakarta sebagai payung besarnya.
Dalam kebangkitan kesadaran itu, ada sebuah proses yang harus dilalui ketika melakukan hubungan secara kelembagaan antara para pamong makam dengan organisasi Pakasa cabang. Karena, salah satu di antaranya adalah hasil eksplorasi rasional dan ideal yang hadir kembali dalam wujud baru, sementara, pertemuan antara keduanya juga perlu penyesuaian yang proporsional.
Dalam kerangka itulah, maka ketika di luar kawasan Gunung Muria ada Kabupaten Grobogan yang juga kaya situs lokasi makam leluhur Dinasti Mataram, poros-poros kekuatan pelestarian budaya Jawa itu menjadi muncul merata dan sangat menjanjikan bagi kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Karena seiring perkembangan itu, lahir pengurus Pakasa cabang di masing-masing daerah.
Bersebelahan dengan Kabupaten Grobogan, ada Kabupaten Blora yang dikenal sebagai rangkaian sejarah berkait Kraton Pajang (abad 15). Juga Kabupaten Sragen yang memiliki kompleks makam Sultan Hadiwijaya dan ayahandanya, Ki Ageng Kebo Kenanga dan sebagainya. Ketenaran kompleks Makam (Ki Ageng) Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, tentu sangat prospektif.
Baik prospektif menjadi poros kekuatan tersendiri bersama Kabupaten Grobogan dan Blora di wilayah utara kedua setelah Kabupaten Pati, maupun sebagai wilayah pengembangan potensi organisasi struktural pengayomnya, yaitu Pakasa cabang. Ini berarti, Pakasa Cabang Grobogan, cabang Blora dan Pakasa Cabang Sragen harus “disegarkan” dan diselaraskan fungsi-fungsinya.
Potensi kekuatan pelestari di wilayah timur, Kraton Mataram Surakarta sudah punya Pakasa Cabang Ponorogo yang mampu eksis menjadi poros kekuatan pelestari budaya Jawa secara penuh. Karena, selain mampu menata hubungan proporsional yang ideal dan harmonis dengan para pamong makam leluhur Dinasti Mataram, juga bisa bergerak ideal dan “cantik” ke segala arah.
Melalui momentum peringatan HUT ke-7 Pakasa cabang dan HUT ke-92 Pakasa Punjer yang disertai upacara wisuda abdi-dalem dan digelar di kediaman KRRA MN Gendut Wreksodiningrat, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 22/1), Ketua Pakasa cabang “Gebang Tinatar” Ponorogo itu hendak melukiskan keharmonisan hubungan di antara elemen-elemen di dalam Pakasa cabang.
Hubungan koordinatif yang proporsional dan ideal antara pengurus Pakasa cabang dengan kalangan elemen anggotanya, yaitu para pamong makam, pantas menjadi teladan dan contoh yang baik bagi daerah-daerah lain yang kini sedang merajut hubungan kelembagaan di antara elemen-elemen yang ada dengan pengurus Pakasa cabang yang ada.
“Kami selalu melakukan upaya-upaya koordinasi yang baik dan proporsional dengan elemen-elemen anggota Pakasa cabang, khususnya para pamong makam. Kegiatan penting seperti haul, kami koordinasikan dan Pakasa mendukung sepenuhnya. Kanjeng (KRAT Sunarso) Suro Agul-agul yang kami tugaskan melakukan koordinasi di lapangan”.
“Hampir semua pamong makam sudah mendapat pengesahan dari kraton, sekaligus anggota Pakasa. Dari makam Bathara Katong, Eyang Djayengrono sampai makam Kyai M Besari, tinggal sedikit yang belum mendapat giliran. MNg Sunardi, ketua paguyuban juru kunci se-Ponorogo, juga sudah mendapat kekancingan. Bahkan, KRT KH Syamsudin, imam agung Masjid Tegalsari, juga sudah”.
Penegasan KRRA MN Gendut Wreksodiningrat yang dimintai konfirmasi iMNews.id, pagi siang tadi, bisa melukiskan suasana harmonis di kalangan anggota Pakasa cabang secara keseluruhan, yang di dalamnya termasuk elemen pamong makam di sejumlah lokasi di kabupaten itu. Model komunikasinya memang bisa dicontoh, tetapi sangat mungkin Ponorogo punya karakter berbeda. (Won Poerwono-bersambung/i1).