Pakasa Cabang Pati Menjadi Poros Potensi Kekuatan Pelestarian Budaya Jawa Wilayah Utara (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:January 27, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Pakasa Cabang Pati Menjadi Poros Potensi Kekuatan Pelestarian Budaya Jawa Wilayah Utara (seri 4 – bersambung)
BARU PERTAMA : Untuk kali pertama wafat Eyang (RT) Djayengrono di Astana Pajimatan Desa Pulung, Kecamatan Pulung Merdiko, diperingati dalam event ritual haul yang digelar kerjasama antar elemen setempat, 20 Sura di bulan Agustus tahun 2023 lalu. Sinergitas yang dikoordinasi Pakasa cabang setempat luar biasa, termasuk dari Pemkab setempat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono).

Kabupaten Ponorogo Jadi Poros Kekuatan Pelestarian di Wilayah Timur, Sekaligus Jadi Percontohan

IMNEWS.ID – SEKITAR kawasan Gunung Muria memiliki beberapa daerah kabupaten yang mendapat “keberuntungan”, karena menjadi perlintasan proses meredupnya Kraton Majapahit (abad 14) dan transisi ke era kraton-kraton Islam yang dimulai dengan lahirnya Kraton Demak (abad 14-15). Di situ, para “Wali Sanga” sebagai tokoh-tokoh penting dalam syi’ar Islam, menjadi ciri pembeda.

Karena faktanya para tokoh leluhur Dinasti Mataram paling banyak ditemukan makamnya di Kabupaten Pati, maka pantaslah kabupaten ini disebut poros potensi kekuatan pelestarian budaya Jawa. Karena, pada waktu itu raja-raja Dinasti Mataram adalah pemimpin otoritas tertinggi dan resmi dalam pelestarian budaya Jawa yang pernah dilahirkannya.

Dan, sampai saat ini, Kraton Mataram Surakarta menjadi Kraton Mataram terakhir yang meneruskan pelestarian budaya Jawa serta menjadi payung besar bagi produk budaya dan kerja pelestariannya. Meskipun, otoritas yang dimiliki sebagai payung besar itu, tidak seutuh dulu, saat masih dilengkapi dengan kedaulatan politik pemerintahan dan administrasi kewilayahan.

MENDAPAT KEKANCINGAN : KRT Suroso Hadinagoro selaku Kades Pulung yang juga juru-kunci makam Eyang (RT) Djayengrono, berfoto dengan para wisudawan dan KPH Edy Wirabhumi (Pangarsa Pakasa Punjer) yang habis memberinya kekancingan, dalam upacara yang digelar di kediaman KRRA MN Gendut Wreksodiningrat (Ketua Pakasa Cabang Ponorogo), belum lama ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walau keniscayaannya begitu, bukan berarti itu tidak rasional. Justru sebaliknya, potensi kekuatan pelestarian budaya Jawa yang terkoneksi dengan Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta, malah sangat rasional. Walau belum menemukan format sinergitas dengan Pakasa cabang secara ideal, tetapi yang dirintis poros Gunung Muria dan sebelahnya, sudah sangat tepat.

Kebangkitan kesadaran masyarakat adat di sekitar kompleks makam para tokoh leluhur Dinasti Mataram yang tersebar di eks wilayah kedaulatan “nagari” Mataram Surakarta, terutama di Kabupaten Pati, menjadi poros kekuatan pelestarian budaya Jawa wilayah utara yang sangat rasional mengayom ke LDA pengayoman Kraton Mataram Surakarta sebagai payung besarnya.

Dalam kebangkitan kesadaran itu, ada sebuah proses yang harus dilalui ketika melakukan hubungan secara kelembagaan antara para pamong makam dengan organisasi Pakasa cabang. Karena, salah satu di antaranya adalah hasil eksplorasi rasional dan ideal yang hadir kembali dalam wujud baru, sementara, pertemuan antara keduanya juga perlu penyesuaian yang proporsional.

POTENSI BESAR : Penyelenggaraan event ritual haul di makam Kyai Ageng Ngerang di Astana Pajimatan Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, perlu ditingkatkan sinergitas antar elemen pendukungnya yang bisa dikoordinasikan oleh Pakasa cabang. Karena, kegiatan ini menjadi bagian dari potensi kekuatan pelestarian budaya Jawa yang cukup besar di Kabupaten Pati. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam kerangka itulah, maka ketika di luar kawasan Gunung Muria ada Kabupaten Grobogan yang juga kaya situs lokasi makam leluhur Dinasti Mataram, poros-poros kekuatan pelestarian budaya Jawa itu menjadi muncul merata dan sangat menjanjikan bagi kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Karena seiring perkembangan itu, lahir pengurus Pakasa cabang di masing-masing daerah.

Bersebelahan dengan Kabupaten Grobogan, ada Kabupaten Blora yang dikenal sebagai rangkaian sejarah berkait Kraton Pajang (abad 15). Juga Kabupaten Sragen yang memiliki kompleks makam Sultan Hadiwijaya dan ayahandanya, Ki Ageng Kebo Kenanga dan sebagainya. Ketenaran kompleks Makam (Ki Ageng) Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, tentu sangat prospektif.

Baik prospektif menjadi poros kekuatan tersendiri bersama Kabupaten Grobogan dan Blora di wilayah utara kedua setelah Kabupaten Pati, maupun sebagai wilayah pengembangan potensi organisasi struktural pengayomnya, yaitu Pakasa cabang. Ini berarti, Pakasa Cabang Grobogan, cabang Blora dan Pakasa Cabang Sragen harus “disegarkan” dan diselaraskan fungsi-fungsinya.

SUDAH DIPANCING : Event peringatan haul seharusnya bisa lahir di makam Kyai Ageng Selo di Astana Pajimatan Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, karena Lembaga Dewan Adat sudah beberapa kali memancing potensi itu dengan daya tarik kirab budaya yang diperkuat korsik Prajurit Tamtama dari Adat Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Potensi kekuatan pelestari di wilayah timur, Kraton Mataram Surakarta sudah punya Pakasa Cabang Ponorogo yang mampu eksis menjadi poros kekuatan pelestari budaya Jawa secara penuh. Karena, selain mampu menata hubungan proporsional yang ideal dan harmonis dengan para pamong makam leluhur Dinasti Mataram, juga bisa bergerak ideal dan “cantik” ke segala arah.

Melalui momentum peringatan HUT ke-7 Pakasa cabang dan HUT ke-92 Pakasa Punjer yang disertai upacara wisuda abdi-dalem dan digelar di kediaman KRRA MN Gendut Wreksodiningrat, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 22/1), Ketua Pakasa cabang “Gebang Tinatar” Ponorogo itu hendak melukiskan keharmonisan hubungan di antara elemen-elemen di dalam Pakasa cabang.

Hubungan koordinatif yang proporsional dan ideal antara pengurus Pakasa cabang dengan kalangan elemen anggotanya, yaitu para pamong makam, pantas menjadi teladan dan contoh yang baik bagi daerah-daerah lain yang kini sedang merajut hubungan kelembagaan di antara elemen-elemen yang ada dengan pengurus Pakasa cabang yang ada.

SUDAH MENGIKUTI : Walau pengurus Pakasa Cabang Sragen “kurang punya kemampuan” untuk bersinergi dengan para pamong makam Kyai Ageng Butuh dan Jaka Tingkir, tetapi event ritual haul sudah mulai digelar bersama Pemkab Sragen di tahun 2023 lalu. Makam ini, semakin banyak dikunjungi peziarah lintas provinsi, seperti makam para Wali Sanga. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kami selalu melakukan upaya-upaya koordinasi yang baik dan proporsional dengan elemen-elemen anggota Pakasa cabang, khususnya para pamong makam. Kegiatan penting seperti haul, kami koordinasikan dan Pakasa mendukung sepenuhnya. Kanjeng (KRAT Sunarso) Suro Agul-agul yang kami tugaskan melakukan koordinasi di lapangan”.

“Hampir semua pamong makam sudah mendapat pengesahan dari kraton, sekaligus anggota Pakasa. Dari makam Bathara Katong, Eyang Djayengrono sampai makam Kyai M Besari, tinggal sedikit yang belum mendapat giliran. MNg Sunardi, ketua paguyuban juru kunci se-Ponorogo, juga sudah mendapat kekancingan. Bahkan, KRT KH Syamsudin, imam agung Masjid Tegalsari, juga sudah”.

Penegasan KRRA MN Gendut Wreksodiningrat yang dimintai konfirmasi iMNews.id, pagi siang tadi, bisa melukiskan suasana harmonis di kalangan anggota Pakasa cabang secara keseluruhan, yang di dalamnya termasuk elemen pamong makam di sejumlah lokasi di kabupaten itu. Model komunikasinya memang bisa dicontoh, tetapi sangat mungkin Ponorogo punya karakter berbeda. (Won Poerwono-bersambung/i1).