Objek Wilayah yang Diperjuangkan Jadi NKRI, Tentu Sudah Ada “Otoritas Pemiliknya”
IMNEWS.ID – PERJUANGAN para tokoh perintis kemerdekaan, termasuk sederet “Raja” di Kraton Mataram Surakarta, Sinuhun PB VI, IX, X, XI dan PB XII jelas punya makna sangat berarti bagi bangsa dan NKRI ini, yang mungkin sama bobotnya dengan para “pejuang” yang mulai muncul di sekitar 1945 hingga dua tokoh proklamator 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, tak akan memiliki makna “sempurna” apabila bangsa dan negara ini hanya memperingati peristiwa 17 Agustus 1945 sebagai hari lahirnya NKRI dan hari pengorbanan para pejuang yang gugur, jika tidak memperingati 1 September sebagai “hari pengorbanan kehormatan” seorang “Raja” (iMNews.id, 4/9/2023).
Ketika dipertajam lebih spesifik, makna “sempurna” dimaksud adalah rasa keadilan sebagai hak yang harus diberikan agar menjadi seimbang dan “fair”, di antara semua yang telah berkorban dan dikenang serta diperingati secara proporsional. Untuk itu, rasa keadilan adalah penghargaan yang bermartabat atas pengorbanan itu, yang sudah semestinya dan selayaknya didapat. Karena kraton tidak hanya terlibat secara fisik manusianya dalam perjuangan menuju Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus itu, tetapi jelas ada objek fisik berupa wilayah yang hendak “dimerdekakan”, yang kemudian diberi “stampel” sebagai “Tanah Air” dan “Tanah Tumpah Darah”.
Dalam bahasa yang sederhana, berjuang untuk membebaskan “Tanah Air” dan “Tanah Tumpah Darah” dari cengkeraman pihak lain (penjajah-Red), tentu dan pasti ada objek wilayah yang diperjuangkan dan akan dibebaskan. Objek fisik wilayah itu, tentu ada pihak yang memilikinya. Karena yang disebut “Tanah Air” dan “Tanah Tumpah Darah” itu berada di wilayah Nusantara, tentu pemiliknya adalah pihak-pihak yang menguasai wilayah di Nusantara itu yang tak lain adalah para “Raja”, “Sultan”, “Datu” dan “Pemangku Adat” yang menguasai kraton, kesultanan, kedatuan dan pelingsir adat di wilayah masing-masing.
Ketika dianalisis lebih lanjut, para Raja, Sultan, Datu dan Pemangku Adat selaku pemilik wilayah yang jumlahnya 250-an sebelum ada NKRI, masing-masing juga punya andil dalam masa perjuangan merintis Kemerdekaan RI. Ada yang berinisiatif mengajak rakyatnya, ada yang bersama-sama tokoh masyarakat adan yang mendukung logistik untuk gerakan-gerakan perjuangan merintis kemerdekaan itu. Tak terkecuali “nagari” sebagai bahasa halus “negara” Mataram Surakarta, yang telah mengizinkan para tokoh intelektual dan cerdik-pandai kerabat kraton, ikut berkorban secara fisik bergabung dalam gerakan itu.
Dan khusus untuk “negara” Mataram Surakarta, tak hanya sejumlah tokoh terpelajar yang aktif di berbagai gerakan merintis kemerdekaan termasuk separo anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) termasuk Sinuhun PB XI sebagai “tokoh intelektual” di belakang mereka, tetapi “kehormatan” Kraton Surakarta juga dikorbankan. Kedaulatan politik dan wilayah Mataram Surakarta, adalah esensi “kehormatan” tertinggi bagi seorang “Raja”, rela dikorbankan Sinuhun PB XII demi lahirnya NKRI dan cirikhas serta identitas bangsa Indonesia.
“Narasi tentang nilai-nilai rela berkorban yang telah dilakukan Sinuhun PB XII inilah, yang seharusnya kita angkat untuk memberi keseimbangan narasi-narasi yang tersebar di jagad maya atau medsos. Karena, senyatanya negara ini lahir oleh pengorbanan para tokoh, bahkan rela mengorbankan wilayah kedaulatannya, seperti yang dilakukan Sinuhun PB XII,” tandas Dani Saptoni SS selaku senior dan koordinator Komunitas Soecieteit Surakarta (KSS), saat berbicara di depan anggotanya yang sedang berdiskusi membahas “Maklumat Sinuhun PB XII” 1 September 1945, di Bangsal Smarakata Kraton Surakarta, Minggu (3/9/2023).
Peristiwa “Maklumat 1 September” 1945, tentu berkait dengan “Piagam Kedudukan” 19 Agustus 1945 yang diterbitkan Presiden Soekarno untuk Sinuhun PB XII, dan tentu berkait dengan peristiwa 18 Agustus 1945 karena “Raja” Mataram Surakarta itu telah mengirim telegram ucapan selamat kepada presiden untuk mengakui dan mendukung Kemerdekaaan RI. Di dalam ketiga peristiwa yang terwujud dalam data dokumenter itu, tercantum kata Sinuhun PB XII dan Kraton Surakarta tetap “pada kedudukannya”, sebagai “daerah istimewa” yang punya hubungan langsung dengan pemerintah pusat.
Tak hanya sidang pertama PPKI pada 19 Agustus 1945 yang menetapkan NKRI terdiri dari 8 provinsi dan 2 daerah istimewa (Surakarta dan Jogja), UUD 1945 yang diterbitkan kemudian juga mengukuhkan keputusan sidang dan mengamanatkan pembagian wilayah itu seperti disebut dalam pasal 18. Oleh sebab itu, kalau ada di antara diskusi di Bangsal Smarakata, Minggu siang (3/9) itu menanyakan apa urgensi Provinsi Daerah Istimewa Surakarta?, secara tidak langsung pasal 18 UUD 45 sudah menjawabnya. Piagam Kedudukan dan Maklumat Sinuhun PB XII, secara langsung dan tidak langsung sudah menjawab pertanyaan itu.
Intinya, selama NKRI masih menggunakan UUD 45 walau sudah diamandemen 4 kali masih ada pasal 18 ayat 2 yang mengamanatkan agar pemerintah RI mengakui dan menghormati satuan pemerintahan adat yang sebelumnya sudah ada, status Daerah Istimewa bagi Surakarta yang kedudukannya setingkat dengan provinsi, akan tetap berlaku sampai kapanpun. Sementara, “Piagam Kedudukan” dan “Maklumat Sinuhun PB XII”, harus dipahami dan dimaknai sebagai sebuah penghargaan yang harus diberikan atas pengorbanan “Raja” dan lembaga “nagari” Mataram Surakarta karena telah rela berkorban menyerahkan “kehormatannya” demi NKRI.
“Pengorbanan Sinuhun PB XII tidak hanya itu saja. Beliau rela Surakarta sebagai Daerah Istimewa dibekukan dengan keluarnya PP (Peraturan Presiden) Nomer 16/SD (Sangat Darurat-Red) tahun 1946, agar tidak timbul pertumpahan darah antara yang pro dan kontra. Tetapi, PP itu esensinya menitipkan atau membekukan untuk sementara waktu status Daerah Istimewa tersebut. Tetapi, baik Piagam Kedudukan, Maklumat Sinuhun PB XII dan pasal 18 UUD 45 tetap berlaku secara sah selama belum pernah dicabut, diganti atau diamandemen,” tandas RM Restu Budi Setiawan dan Gusti Moeng di kesempatan terpisah. (Won Poerwono-bersambung/i1)