Semangat Kalangan Pakasa Cabang Akan Tetap “Menyala”, Karena Tugas Pelestarian Budaya
IMNEWS.ID – BILA dihitung dari peristiwa “perdamaian” yang terjadi pada tanggal 3 Januari 2023, maka perjalanan proses perdamaian hingga berlangsung momentum upacara adat kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa Jimawal 1957 pada tanggal 1 Sura dan Tahun Baru Hijriyah 1445 pada tanggal 1 Muharam, Rabu 19 Juli lalu itu, sudah menginjak sekitar 6 bulan atau setengah tahun. Waktu selama itu memang tak terasa sudah dilalui untuk sebuah proses saling membuka hati dan saling mengoreksi kekurangan masing-masing, untuk kemudian bisa menerima kelebihan masing-masing untuk menutup kekurangan itu agar padu kembali menjadi satu.
Proses rekonsiliasi atau perdamaian memang tak mudah diwujudkan, kalau salah satu atau dua pihak atau lebih sudah merasa tersakiti atau mengalami perlakuan yang menyentuh rasa keadilan atau harkat dan martabat kemanusiaan. Namun, teori yang bisa dipetik nilai-nilai ketuhanan yang menjadi inti “halal-bihalal” di saat datang bulan Syawal atau Idhul Fitri, bisa dijadikan landasan dalam proses perdamaian atau rekonsiliasi oleh siapapun, di manapun dan kapanpun. Karena, nilai-nilai ketuhanan itu jelas keteladanan yang berasal dari “Sang Maha Pengampun” yang tak lain adalah Tuhan YME, Allah SWT.
Apabila melihat proses “perdamaian” yang sudah berjalan 6 bulan yang secara khusus mencermati yang terjadi pada upacara adat kirab pusaka 1 Sura Tahun Jimawal 1957, Rabu (19/7) malam hingga Kamis (20/7) dinihari itu sepertinya teoeri yang berasal dari nilai-nilai ketuhanan “halal-bihalal” itu sangat sulit mewujudkan rekonsiliasi atau perdamaian yang nyata di dalam Kraton Mataram Surakarta. Sebab, gelagatnya makin terbaca jelas ada sebuah ambisi besar dari salah satu pihak untuk memperjuangkan tahapan misinya melalui upacara adat kirab pusaka itu, yang bernuansa “menghalalkan segala cara”.
Karena gelagat atau indikasi yang bisa dipersepsikan “menghalalkan segala cara” yang muncul ke permukaan, pantas saja membuat Gusti Timoer (GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani) dan Gusti Moeng (GKR Wandansari Koes Moertiyah) dalam posisi masing-masing sebagai pejabat di “Bebadan Kabinet 2004” melancarkan protes keras (iMNews.id, 22/7). Dan karena gelagat atau indikasi yang bisa dipersepsikan “menghalalkan segala cara” itulah, menjadi sumber keributan dan ketegangan, hingga menodai keheningan dan kekhidmatan awal proses upacara adat kirab pusaka yang identik kegiatan meditasi spiritual kebatinan-religi itu.
Daftar nama-nama petugas kirab, baik “ngampil”, “mbuntar” dan “ngayab” pusaka, yang terkesan dipersiapkan secara sistematis itulah yang mengakibatkan terjadinya protes keras dua tokoh perempuan menonjol di Kraton Mataram Surakarta dalam 1-2 dekade terakhir ini. Karena, dari daftar itu terdapat nama-nama figur yang sama sekali tidak jelas asal-usulnya dan tidak pernah tampak “gawa-gawene” dan “labuh-labete” di mata “Bebadan Kabinet 2004”. Lebih-lebih, nama-nama itu dipanggil berulang-ulang melalui pengeras suara (sound system), agar dipersepsikan benar-benar meyakinkan sebagai petugas yang sudah dipersiapkan sejak lama.
Ketika dianalisis lebih jauh, penyusunan daftar nama-nama petugas kirab yang terkesan sistematis itu, bisa hanya sekadar ulah oknum yang memanfaatkan “panggung kirab pusaka”, tetapi bisa juga benar-benar dipersiapkan menjadi bagian dari tahapan proses perjuangan misi dari sekelompok tokoh yang punya ambisi. Ada beberapa catatan dari pencermatan di balik peristiwa insiden kecil yang mewarnai persiapan petugas kirab malam itu. Yang pertama adalah munculnya daftar nama-nama orang yang disebut sebagai petugas kirab, tetapi tanpa sepengetahuan atau terjadi di luar kesepakatan dengan Pengageng Sasana Wilapa.
Kedua, berubahnya jumlah pusaka yang semula ada “kesepakatan kecil” antara tokoh representasi dari Sinuhun PB XIII dengan GKR Wandansari atau Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, bahwa pusaka yang akan dikeluarkan sebanyak 13 buah/bilah. Tetapi, pada pukul 21.00 WIB ada pemberitahuan yang berasal dari salah satu pihak, menyebutkan pusaka yang bisa dikeluarkan hanya 7 buah/bilah. Dilihat dari wujudnya saat dikirabkan, 7 buah/bilah pusaka itu ada satu menyerupai keris, sedang sisanya bisa disebut tombak. Soal nama masing-masing pusaka, pasti ada namanya, tetapi bagi masyarakat adat setempat, pantang untuk menyebutkan.
Hal ketiga yang patut dicatat sebagai “pengganggu” keheningan dan kekhidmatan persiapan kirab pusaka itu, adalah hadirnya perangkat sound system dalam rangkaian upacara adat kirab, terutama dalam persiapan pembagian tugas “ngampil, “mbuntar” dan “ngayab” pusaka. Upacara adat kirab pusaka, memiliki derajat yang sama dengan upacara-upacara adat lainnya di Kraton Mataram Surakarta, bahkan bisa dianggap paling tinggi derajat keheningan dan kekhidmatan yang hendak diwujudkan semua yang terlibat di lokasi, bahkan oleh publik yang sekadar menyaksikan baik langsung maupun hanya mengenali lewat berita-beritanya saja.
Tetapi yang terjadi di malam perdana atau kali pertama “Bebadan Kabinet 2004” menggelar sejak lebih lima tahun absen karena “disingkirkan” melalui “insiden mirip operasi militer” di tahun 2017 itu, tak diduga telah menjadi suasana yang jauh dari kesan hening dan khidmat. Suara MC melalui mikropun lumayan keras memanggil-manggil para petugas kirab sambil membaca daftar nama-nama dimaksud, sungguh sangat mengganggu keheningan dan kekhidmatan yang sudah terbangun saat berlangsung doa wilujengan dan tahlil dengan shalawat Sultanagungan yang dipimpin Gusti Moeng, beberapa menit sebelum pembagian tugas kirab.
Hampir semua upacara adat di Kraton Mataram Surakarta terutama yang digelar di dalam kawasan kedhaton, sangat tidak mengenal teknologi sound system. Sifat klasik dan konvensional segala bentuk ritual itu bukan alergi terhadap teknologi modern, tetapi kalau kehadiran pengeras suara itu justru mengganggu keheningan dan kekhidmatan saat doa wilujengan, dzikir dan tahlil dipanjatkan, mestinya harus dihindari. Hal yang ideal dan natural seperti itu hendaknya disikapi secara bijak untuk dijaga betul, karena doa kirab pusaka levelnya bukan sekadar permohonan keselataman untuk kraton dan seisinya, melainkan untuk bangsa dan NKRI, bahkan dunia. (Won Poerwono-bersambung/i1)