
Tiga Keturunan Dinasti Juga Membuat Tarian Sakral Ikon Khas Masing-masing
IMNEWS.ID – TARIAN sakral Bedhaya Ketawang yang selama 500-an tahun dirawat dan dimuliakan Kraton Mataram Surakarta, menjadi bukti nyata yang tidak terbantahkan, bahwa Mataram Surakarta adalah penerus Kraton Mataram. Sekaligus juga menegaskan, bahwa perjalanan Kraton Mataram yang didirikan Panembahan Senapati itu, berakhir di Kraton Mataram Surakarta.
Hal yang sudah jelas dan tegas menunjukkan, selain memiliki tari Bedhaya Ketawang, setelah dari Ibu Kota Kartasura, Kraton Mataram Islam berlanjut ke Ibu Kota Surakarta Hadiningrat hingga selama 200 tahun (1745-1945). Dengan berbagai “wiradat” ditempuh, Mataram Surakarta bisa berlanjut hingga kini, dan diharapkan terus berlangsung hingga akhir zaman.
Eksistensi Kraton Mataram Surakarta sebagai lanjutan Kraton Mataram yang berdiri tahun 1588 itu, selain bukti kepemilikan tari “Bedhaya Ketawang”, juga karena tiga keturunan Dinasti Mataram baru lahir setelah Mataram Surakarta ada. Bahkan, “kelahiran” mereka (1 kraton dan 2 kadipaten), “atas restu” dan “dukungan” Raja ke-10 Kraton Mataram, Sinuhun PB III itu.

Karena faktanya seperti itu, maka Kraton Jogja bukan penerus atau lanjutan Kraton Mataram Islam setelah pindah dari Ibu Kota Kartasura. Karena, selain baru lahir di tahun 1755 atas “seizin” Sinuhun PB III (Kraton Mataram Surakarta), juga tidak memiliki bukti kelanjutannya berupa tari Bedhaya Ketawang dan berbagai simbol lain yang dibawa dari Kartasura.
Meski tidak menjadi kelanjutan Kraton Mataram Islam, tetapi Kraton Jogja dan dua “Kadipaten” (bukan kraton-Red) Mangkunegaran dan Pakualaman, masing-masing punya tari “kreasi” sendiri. Tarian yang khas ikonik dan simbolik yang mereka anggap sakral dan memiliki makna itu, yaitu Bedhaya Semang, Bedhaya Anglir Mendhung dan Bedhaya Angronakung.
“Jadi, masing-masing punya tarian khas sakral sendiri-sendiri. Kalau Mataram Surakarta tari Bedhaya Ketawang, merawat tinggalan dari Mataram Kartasura dan sebelumnya. Kraton Jogja punya Bedhaya Semang. Kadipaten Mangkunegaran punya tari Bedhaya Anglir Mendhung. Sedangkan Kadipaten Pakualaman punya tari Bedhaya Angronakung,” sebut KPP Nanang Soesilo.

KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro, menyebutkan beberapa hal di atas saat dihubungi iMNews.id, kemarin. Salah seorang sentana trah darah-dalem yang lama tidak aktif berkantor di jajaran Bebadan Kabinet 2004 karena sakit itu, selain trah keturunan dari Kraton Mataram Surakarta, juga punya trah dari Kraton Jogja serta trah dari Kadipaten Mangkunegaran.
Sebagai ilustrasi, trah Sinuhun PB V dan juga Sinuhun PB X itu walau dalam keadaan sakit banyak memperjuangkan simbol-simbol Mataram Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran untuk menjadi simbol ikonik cirikhas yang lebih membanggakan untuk Kota Surakarta. Pecinta gendhing-gendhing Jawa ini berjuang sendirian di berbagai jenis medsos dan melalui iMNews.id.
Sentana darah-dalem yang memiliki banyak referensi dari buku berjudul “Sinuhun (PB V) Sugih” tentang karya-karya PB V termasuk gendhing itu, memberi petunjuk bahwa di zaman Sinuhun PB IV dan putra mahkotanya punya karya seni melimpah. Karya-karya Sinuhun PB V dan PB V, menjadi petunjuk bahwa era leluhurnya (PB III) berada pada “masa-masa prihatin”.

Walau pada zaman Sinuhun PB III masih berjuang meneruskan dan merampungkan “proyek nasional” mewujudkan semua bangunan infrastruktur Ibu Kota Mataram Islam di Surakarta Hadiningrat, tetapi Dr Purwadi punya temuan hasil kajian sejarah. Sinuhun PB III adalah tokoh yang dekat dengan kalangan seni apa saja yang berkembang waktu itu, dan “sering berdiskusi”.
“Sinuhun PB III (1747-1788) adalah Bapak Perdamaian yang punya kedekatan dengan kelompok-kelompok kesenian yang di luar kraton. Diskusi dan pertemuan dengan para seniman banyak terjadi di luar kraton. Hasil diskusinya banyak dieksekusi penerusnya, Sinuhun PB IV dan PB V. Karena pada masanya, masih sibuk menuntaskan tata ruang Ibu Kota Surakarta”.
“Walaupun Kanjeng Ratu Kentjana Kudus (eyangnya) masih banyak membantu secara ekonomi, tetapi mungkin sudah berkurang kekuatannya. Usia ibunda PB II (1727-1749) sudah sepuh (80-an tahun-Red) saat sang cucu (PB III) bertahta. Waktu dan energi PB III terkuras untuk menuntaskan karya fisik bangunan Ibu Kota Mataram Islam di Surakarta,” tunjuk Dr Purwadi.

Berdasar kajian di atas, memang sangat rasional ketika mencermati zaman Sinuhun PB II dan PB III bertahta, sangat minim karya seni dihasilkan, meskipun tidak berarti sama sekali tidak ada. Karena, yang banyak tersisa adalah karya fisik bangunan seperti semua yang ada di kawasan Kraton Mataram Surakarta seluas lebih 90 hektare ini, termasuk Masjid Agung.
Bangunan di kawasan itu, mulai dari Gapura Gladag sampai Gapura Gading dan berbagai bangunan fisik pendukung yang ada di sekitarnya. Hasil-hasil “studi lapangan” PB III, baru dieksekusi Sinuhun PB IV dan PB V, seperti yang tampak pada karya gamelan beserta gendhing-gendhing Sekaten dan Laras Madya, keris, tari “Srimpi Ludira Madu” dan canthik perahu Raja Mala.
Dengan melihat realitas seperti ini, maka wajar saja kalau setelah tari Bedhaya Ketawang yang melukiskan perjanjian antara Panembahan Senapati (1588-1601) dengan Kanjeng Ratu Kencanasari, ada lompatan jauh karena baru di zaman Sinuhun PB IV mulai banyak jenis dan jumlah karyanya. Jadi, wajar pula kalau Perjanjian Giyanti tak terdokumentasi dalam karya seni. (Won Poerwono – bersambung/i1)