Kirab Pusaka “Perdana” Di Era “Perdamaian”, Menyambut Tahun Baru Jawa Jimawal 1957 (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 22, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Kirab Pusaka “Perdana” Di Era “Perdamaian”, Menyambut Tahun Baru Jawa Jimawal 1957 (seri 1 – bersambung)
UPAYA PENGGABUNGAN : Upaya penggabungan untuk mewujudkan proses "perdamaian" ke bawah jajaran yaitu di kalangan dua set prajurit, sudah ditempuh Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa menjelang tingalan jumenengan, tetapi ada pihak yang tidak bersedia melakukan itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di Luar Dugaan Ada “Perubahan” Skenario yang Membuat Gusti Timoer Protes

IMNEWS.ID – Proses “perdamaian” antara Sinuhun PB XIII dengan adiknya, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat yang terjadi pada 3 Januari 2023 (iMNews.id, 3/1/2023), dalam proses perjalanan ke depan tak “seindah dan semudah” yang diharapkan atau dibayangkan berbagai pihak. Karena, proses yang terjadi ke arah samping dan ke arah bawah jajaran dua tokoh yang dipersepsikan telah berselisih setidaknya sejak April 2017 hingga 17 Desember 2022 itu, banyak sekali mengalami kendala dan sudah diperlihatkan dalam beberapa peristiwa besar di Kraton Mataram Surakarta itu.

Yang pertama adalah peristiwa upacara adat tingalan jumenengan yang digelar 16 Februari lalu, yang secara tidak disadari menjadi catatan atau ukuran tentang lancar atau tidak proses perdamaian yang sedang berjalan. Dan itu sangat terlihat dalam proses penggabungan dua set penari Bedaya Ketawang, dari Sanggar Pawiyatan Beksa pimpinan GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng satu set, dan penari yang direkrut dari para mahasiswa di Jogja dan dilatih di Jogja satu set. Kedua set penari itu, setelah dievaluasi dalam “gladen” Anggara Kasih, ternyata salah satunya tidak memenuhi syarat, dan akhirnya yang digunakan satu set penari asuhan Gusti Moeng.

HANYA SATU SET : Hanya satu set prajurit kraton yang terdiri dari beberapa bregada yang melakukan tugas apel penghormatan jalannya upacara adat tingalan jumenengan, 16 Februari 2023 itu. Sedangkan satu set prajurit yang diharapkan bisa bergabung untuk mewujudkan “perdamaian” tidak hadir. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selain gagalnya bergabung dua set penari karena salah satunya memang tidak memenuhi syarat secara adat, upaya penggabungan dua set prajurit dari masing-masing pihak yang telah berpisah dan tumbuh selama lebih lima tahun, juga bisa dipersepsikan tidak bisa terwujud. Karena satu set prajurit pengikut Gusti Moeng tampil sendiri dalam upacara penghormatan pada ritual tingalan jumenengan, sementara satu set prajurit yang selama lima tahun lebih “dibina” seorang pangeran dengan dana APBD Kota Surakarta, memilih tampil mengawal kirab dalam rangka tingalan jumenengan.

Seterusnya, dua elemen yang bisa berdiri sendiri yaitu tari Bedaya Ketawang sempat berpisah dan satu set “menghilang” beberapa waktu, tetapi kembali muncul dan menyatakan bergabung saat Gusti Moeng menggelar “gladen” Anggara Kasih, selepas Lebaran 2023. Sementara dua set prajurit, hingga kini masing-masing berjalan dengan agendanya sendiri, termasuk saat berlangsung ritual Malem Selikuran, satu set mendukung kirab yang digelar Pengageng Sasana Wilapa ke Masjid Agung atas biaya swadaya dan satu set sisanya melayani “order” upacara di Taman Sriwedari yang dibiayai APBD Surakarta.

SOAL PERSYARATAN : Satu set penari Bedaya Ketawang yang sedang dilatih GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani itu, adalah tim penari yang dikehendaki Sinuhun PB XIII tampil di ritual tingalan jumenengan, 16 Februari 2023. Sedangkan satu set tim penari lainnya, “tereliminasi” karena soal persyaratan adat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Upaya “perdamaian” yang diharapkan bisa dalam bentuk penggabungan dua set prajurit itu, dalam proses perjalanan ke depan tidak menunjukkan semakin terwujud, melainkan sangat berpotensi mengalami kegagalan total. Karena, dalam upacara adat Garebeg Syawal untuk merayakan Idhul Fitri maupun Hajad-dalem Gunungan Garebeg Basar, satu set prajurit yang “dipelihara” seorang pangeran dengan biaya APBD Pemkot itu yang tampil menjalankan tugas. Proses “perdamaian” berikutnya juga diperlihatkan saat berlangsung upacara adat kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa Jimawal 1957, pada 1 Sura yang digelar 19-20/7 lalu.

Kirab pusaka 1 Sura yang baru saja berlalu, adalah peristiwa perdana setelah “perdamaian” 3 Januari 2023 itu, juga menjadi catatan besar banyak pihak yang menyaksikan secara langsung atau tidak langsung peristiwa budaya bernuansa spiritual kebatinan dan religi itu. Karena, banyak pihak sudah menunggu berlangsungnya ritual dalam suasana yang benar-benar longgar setelah 3 tahun dikungkung pandemi Corona dan selama lima tahun terjadi “perang dingin”, rata-rata sangat berharap pelaksanaan kirab pusaka yang digelar sesuai kalender Sultan Agung 19-20 Juli itu menjadi “surprise” dalam banyak hal.

MEREDAKAN KETEGANGAN : KPH Edy Wirabhumi dan GKR Ayu Koes Indriyah tampak berusaha meredakan ketegangan yang terjadi atas protes yang diajukan GKR Timoer Rumbai, karena tokoh sentana-dalem tidak disebut dari daftar para petugas kirab pusaka, Rabu malam 19 Juli lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, yang tampak ke permukaan lagi-lagi adalah potret begitu sulit, keras dan beratnya proses perdaiamaian itu berjalan, hingga pemandangan yang tampak “tak seindah” dan “tak seharmoni” yang dibayangkan dan diharapkan banyak pihak. Karena saat berlangsung pemanggilan nama-nama tokoh yang bertugas “ngampil”, “mbuntar” dan “ngayab” pusaka, tiba-tiba ada keributan kecil di teras Paningrat yang dekat dengan tempat duduk para tamu VIP dan VVIP, termasuk kursi roda yang ditumpangi Sinuhun PB XIII. Di tengah kerumunan kecil itu, terdengar suara khas GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani memprotes para juru pambiwara.

Protes dilancarkan putri tertua Sinuhun PB XIII itu, karena nama tokoh dari garis “Ibu Ageng” tidak disebut di antara petugas kirab yang dipanggil. Karena banyak nama yang dipanggil “dianggap asing” sedangkan nama tokoh sentana-dalem justru tidak disebut, Gusti Moengpun ikut mendekat dan meminta beberapa kertas berisi daftar nama-nama itu yang diikuti aksi protes pula. Insiden kecil itu tentu mengundang para kerabat seperti GRAy Devi Lelyana Dewi, GKR Ayu Koes Indriyah, BRM Yudistira dan KPH Edy Wirabhumi cepat mendekat, lalu menenangkan GKR Timoer, dan persiapan petugas kirab terus berlanjut.

JUGA PROTES : Dari tempat tugasnya ikut mengatur keluarnya pusaka dari dalam ruang pusaka, Gusti Moeng tampak melewati tempat duduk para tamu dan Sinuhun PB XIII menuju lokasi tempat Gusti Timoer protes soal petugas kirab. Dia juga protes, karena banyak nama yang tak jelas asal-usulnya muncul dalam daftar itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walaupun acara kembali berlanjut lancar, tetapi suasana tegang masih terasa. Suasana seperti itu seakan menegaskan bahwa masih ada banyak hal yang sangat prinsip tetapi terus dipegang oleh salah satu atau kedua pihak, yang pasti akan menyulitkan terwujudnya “perdamaian” total, baik di tingkat pucuk pimpinan, ke samping kiri dan kanan maupun ke bawah jajaran masing-masing. Hal yang sangat prinsip itu salah satunya adalah munculnya nama-nama tokoh yang disebut Gusti Moeng sebagai “sentana anon-anon” atau sama sekali bukan dari trah darah-dalem yang justru memanfaatkan kesempatan “samar-samar” di masa transisi itu.

Karena barisan petugas justru diisi orang-orang baru yang tak jelas asal-usul adatnya, para sentana-dalem dari garis keturunan trah-darah dalem justru tersingkir, padahal merekalah yang mempunyai hak secara adat untuk melakukan upacara-upacara adat seperti itu. Hampir semua entana-dalem atau dari internal keturunan trah darah-dalem memilih menjadi pengikut Gusti Moeng sejak ada insiden “mirip operasi militer” di tahun 0217, yang membuat Gusti Moeng dan semua kerabat yang pro-paugeran adat “disingkirkan” keluar kraton sampai 17 Desember 2022. (Won Poerwono-bersambung/i1)