Kebanyakan Makam Tokoh Leluhur Dinasti Mataram dari “Lajur Kanan”
IMNEWA.ID – MAKAM Pangeran Benawa I, Raja Kraton Pajang 2 (1587-1588) yang tak lain adalah kakek langsung dari Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, Raja Kraton Mataram 3 (1613-1646) yang berIbu Kota di Kerta mulai tahun 1621 itu, boleh disebut menjadi satu-satunya di antara makam tokoh leluhur dinasti dari garis keturunan “lajur kanan”. Karena, di wilayah Kabupaten Pati dan kabupaten di dekatnya seperti Jepara, Rembang, Kudus, Demak bahkan Kabupaten Grobogan, hampir semua makam yang ada adalah tempat persemayaman para tokoh leluhur dinasti keturunan Prabu Brawijaya V dari “lajur kanan” mulai Kyai Ageng Tarub.
Kyai Ageng Tarub yang bermakam di Kecamatan Twangharjo, Kabupaten Grobogan, menurunkan tiga anak yang salah satunya Kyai Ageng Getas Pendawa yang bermakam di Kecamatan Toroh (Grobogan). Dari tokoh leluhur ini kemudian menurunkan Kyai Ageng Sela yang makamnya di Desa Selo (Sela-Red), Kecamatan Tawangharjo di kabupaten yang sama. Tokoh ini menurunkan Kyayi Ageng Henis, yang makamnya di Kelurahan Laweya, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, yang seterusnya menurunkan Kyai Ageng Pemanahan, ke bawah lagi lahir tokoh pendiri Kraton Mataram Panembahan Senapati saat berIbu Kota di Kutha Gedhe (1588-1601).
Raden Sutawijaya yang menjadi Raja Mataram 1 bergelar Panembahan Senapati, menurunkan Pangeran Seda Krapyak (RM Jolang) yang menjadi Raja Mataram 2 bergelar Sinuhun Hadi Prabu Hanyakrawati (1601-1613) sebagai pendiri Dinasti Mataram. Hasil perkawinannya dengan Ratu Mas Hadi yang tak lain adalah putri Raja Pajang 2 bergelar Pangeran Benawa I (1587-1588), melahirkan anak bernama RM Jatmika yang kemudian menjadi Raja Mataram 3 dengan gelar Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Bila diurutkan, dia berasal dari garis keturunan lajur kiri, dan karya besarnya menjadikan Mataram sebagai kraton Islam.
Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma seakan telah menjadi simbol penyambung sekaligus penyatuan kembali tali silaturahmi antara darah keturunan Raja Majapahit Prabu Brawijaya V dari lajur kiri yaitu Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, yang memperistri Ratu Mas Cempaka yang berasal dari garis keturunan lajur tengah. Karena seperti diketahui, Ratu Mas Cempaka adalah puteri Sultan Kraton Demak 3 yang bergelar Sultan Trenggana (1521-1550), yang juga salah seorang anak Raden Patah atau Raja Kraton Demak 1 yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar (1485-1519).
Analasis yang bisa dilakukan setelah membaca silsilah yang selalu disiapkan M Husein Azis selaku abdi-dalem juru kunci lompleks makam Kyai Ageng Butuh yang di dalamnya ada Raja Kraton Pajang 1 Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet/Jaka Tingkir) itu, adalah direncanakan atau tidak perkawinan antara putri Pangeran Benawa I bernama Ratu Mas Hadi dengan Sinuhun Prabu Hanyakrawati (Pangeran Seda Krapyak) itu, telah mempersatukan darah keturunan dari Raja Kraton Majapahit Brawijaya V. Bahkan, Sinuhun Sultan Agung bisa disebut sebagai simbol penyatuan antara darah keturunan Brawijaya V baik dari lajur kiri, tengah dan kanan.
Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma menjadi generasi raja yang hampir “sempurna” proses silaturahmi dan akselerasi antara benih-benih keunggulan dalam mengolah ilmu, pengetahuan dan teknologi saat itu dipadukan dengan akselerasi olah rasa dan kebatinan yang berkembang saaat itu. Oleh sebab itu, wajar dan tidak aneh apabila karya-karya besar sebagai tonggak pedoman peradaban, terlahir pada zamannya, mulai dari penggambungan kalender Hijriyah dan Jawa, pencetus kebesaran Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, sistem tata nilai paugeran adat, kebudayaan/peradaban (Jawa) dan sebagainya.
Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma serta sejumlah leluhur Dinasti Mataram hampir semuanya sudah “dimuliakan” di makam raja-raja Mataram Astana Pajimatan Imagiri (Imogiri-Red), di Kabupaten Bantul, DIY. Sementara, banyak tokoh baik dari garis keturunan lajur kiri, tengah dan kanan, makamnya berada di “wilayah edar” atau jarak jangkau mobilitas masing-masing. Mungkin karena keturunan masing-masing terpisah setidaknya lebih dari 10 generasi dari saat Prabu Brawijaya V bertahta (1468-1478), atau terputus informasi kekerabatannya karena berbagai sebab setidaknya sejak Sultan Agung, maka wajar bila banyak yang sulit dilacak.
Di antaranya, adalah informasi tentang pergerakan banyak tokoh yang mempunyai mobilitas cukup tinggi, hingga ketika ditemukan kompleks makamnya, terkesan mengherankan atau sulit didapat urutan kronologi yang masuk akal. Contohnya, makam Raja Kraton Pajang 2 yang bergelar Pangeran Benawa I itu, yang berada di puncak bukit di tengah hutan jati yang begitu jauh dari pemukiman hingga kini. Bukit itu kini masih ditumbuhi pohon jati yang kecil-kecil (diameternya) dan jaraknya termasuk jarang, tetapi sangat diyakini ketika didatangi tokoh itu atau digunakan untuk memakamkan jenazah tokoh itu, pasti masih berupa belantara pekat.
Kisah yang melatarbelakangi fakta keberadaan makam Pangeran Benawa I di Dukuh Morotoko, Desa Wateshaji, Kecamatan Pucakwangi, Kabupaten Pati itu memang belum muncul ke permukaan, karenanya agak sulit untuk membandingkan dengan kisah salah satu ketutunannya, yaitu Raja Mataram 4 yang bergelar Sinuhun Amangkurat Agung atau Amangkurat I di Ibu Kota Plered (1646-1677). Lokasi kompleks makamnya di Astana Pajimatan Tegalarum yang ada di Desa Paseban, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Slawi/Tegal, jaraknya sekitar 200 KM dari Ibu Kota Plered, yang mungkin sama-sama jauhnya bila ditempuh di Mataram Surakarta atau Pati.
Tetapi, wilayah Kabupaten Tegal/Slawi adalah menjadi jalur pengiriman pasukan beserta lumbung logistiknya saat sang ayah, Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma menyerbu Batavia, untuk merebut pelabuhan Sunda Kelapa. Hasil penelitian sejarah Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat-Jogja) menyebutkan, Sinuhun Amangkurat Agung, dipukul mundur oleh musuh yang menyerbu Plered, hingga menyingkir ke arah utara dalam kondisi sakit dan akhirnya meninggal serta dimakamkan di Astana Pajimatan Tegalarum. Kronologi kisah tokoh ini sudah masuk akal, tetapi menarik untuk meneliti kisah Pangeran Benawa I. (Won Poerwono-habis/i1)