Heboh “Penyesalan” Pihak yang Tak Berwenang, Rasa Keadilan Bagi Kraton Jadi Persoalan (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 4, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Heboh “Penyesalan” Pihak yang Tak Berwenang, Rasa Keadilan Bagi Kraton Jadi Persoalan (seri 1 – bersambung)
"BUKAN HAKNYA : Figur tokoh yang sedang heboh diperbincangkan publik karena ungkapan "Nyesel Gabung Republik", sedang "disetting" berada di dekat Sinuhun PB XIII dalam ritual tingalan jumenengan. Bagi lembaga resmi di kraton, "sebutan" dalam video viral itu tak berlaku, karena memang bukan haknya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Lembaga Dewan Adat, Pihak yang Berkapasitas dan Berwenang Secara Hukum Nasional dan Adat

IMNEWS.ID – SAMPAI beberapa hari ini, tampaknya publik masih antusias untuk membahas sebuah berita mengejutkan dan menjadi headline di sejumlah media berbagai platform. Berita heboh bernada “penyesalan” itu, bersumber dari viral sebuah video rekaman statemen pribadi figur di kraton yang dianggap sebagai tokoh penting, berjudul “Nyesel Gabung Republik”.  

Banyak pihak yang berkomentar, termasuk pengamat sosial politik Roky Gerung yang diwawancarai seorang wartawan TV swasta. Karena foto dalam berita yang banyak beredar, figur tokoh itu menampakkan kedekatannya dengan Wapres Gibran Rakabuming, tetapi hingga kini belum ada pernyataan resmi dari pejabat negara bersangkutan maupun yang mewakili lembaga pemerintah.

Komentar yang sampai sedemikian “heboh” bernada marah, geram dan ekspresi tidak terima/suka lalu mencaci dari para netizen, karena awal “kehebohan” itu berasal dari cuitan di instagram pribadi. Komentar Roky Gerung sangat menarik, selain isinya, ada sisi menarik komentarnya yang tampak kurang tepat memahami figur tokoh dan latar-belakang lembaganya.

Pemahaman Roky Gerung terhadap figur tokoh yang berekspresi “Nyesel Gabung Republik”, terasa kurang pas ketika menyebut figur itu “putra mahkota”. Itu memang tidak sepenuhnya keliru atau salah, karena selama ini ruang publik lebih banyak dipenuhi berita tentang keakraban seorang Wapres Gibran dengan figur tokoh yang dibut “putra mahkota” di berbagai media.

BERGANTI NAMA : Ritual yang sedang berlangsung di Pendapa Sitinggil Lor beberapa tahun silam ini, adalah sebuah tatacara persyaratan berganti nama bagi seorang calon putra mahkota. Dari KGPH Mangkubumi, menjadi KGPH Hangabehi. Tetapi, dia belum dinobatkan menyandang gelar putra mahkota, karena belum tiba saatnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sementara, berbagai media lain juga langsung menulis tanggapan dan komentar Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) yang bernama GKR Wandansari Koes Moertiyah, yang juga menjabat Pengageng Sasana Wilapa di Kraton Mataram Surakarta. Bersamaan dengan itu, KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Umum MAKN juga menyampaikan reaksi kalangan anggotanya, 50 kraton/kesultanan.

Meski hanya sebagai ilustrasi pembanding, penyebutan Kadipaten (Pura) Mangkunegaran sebagai kraton, menandakan ada hal-hal penting yang tidak dipahaminya. Yaitu bagaimana posisi dan format lembaga masyarakat adat, begitu juga sebutan para pemimpinnya, terutama di dalam Dinasti Mataram. Pemahaman seperti itu sebenarnya sudah sejak lama, dari publik secara luas.  

“Heboh” berita dan komentar yang menanggapi “penyesalan” seorang figur yang disebut “putra mahkota” itu, di satu sisi bisa dipandang sebagai upaya orang/pihak di belakang layar yang menciptakan “panggung” bagi sang figur tokoh. Tetapi, bisa juga sebagai “cek ombak” atau upaya menjajagi seberapa besar perhatian publik terhadap sang figur tokoh dan kraton.

Karena, pembentukan opini publik di zaman media digital saat ini sangat mudah dilakukan oleh pihak-pihak yang sangat menginginkan untuk memudahkan mencapai tujuan tertentu. Maraknya media sosial/medsos seperti instagram pribadi yang menjadi media ekspresi “penyesalan” itu, sangat ampuh untuk membentuk opini publik dengan cepat dan banjir reaksi.

“NGGEGE MANGSA” : Gusti Moeng memimpin upacara adat saat KGPH Mangkubumi berganti nama menjadi KGPH Hangabehi. Ritual itu bukan penobatan menjadi Pangeran Adipati atau putra mahkota. Karena, upacara untuk keperluan itu ada waktunya, bukan “nggege mangsa”, karena saatnya belum tiba. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika dianalisis, rupanya reaksi yang cepat datang dan membanjir ini, porsinya tidak seimbang. Persisnya ada di angka berapa persen antara reaksi bersimpati dan yang membenci bahkan antipati? Media ini belum mendapatkan referensi dari pihak resmi yang mengukur, atau mungkin karena tak perlu diukur, tetapi melihat gelagatnya banyak yang tidak bersimpati.

Kalau banyak yang tidak bersimpati, membenci atau antipati, itu karena banyak faktor. Dan faktor dominan dari alasan untuk membenci atau antipati terhadap sang tokoh yang “Menyesal” atau “Nyesel Karena Gabung Republik” itu, bisa pasti karena reaksi terhadap ekspresi menyesal dan berbagai makna lain yang dianggap “kurang suka” terhadap republik.

Reaksi seperti itu sangat mungkin datang dari publik secara luas yang selama ini hanya melihat sosok figur yang “Nyesel”,  ketika “terbungkus dalam peristiwa” yang kebanyakan di kraton melalui medsos saja. Peristiwa yang menjadi “bungkus” pribadi sosok figur tokoh itu selama ini terkesan menonjol, positif, ningrat, terkenal dan dianggap idola kaum milenial.

Publikasi dirinya yang sering tampil bersama Wapres Gibran sejak masih menjabat Wali Kota Surakarta, adalah cara membentuk opini publik yanga sama dengan video viral yang sedang dipersoalkan kini. Tetapi, upaya membentuk opini publik yang sekarang ini, bisa disebut kontra produktif bahkan mirip “bumerang efek” yang tidak disadari atau salah kalkulasi.

POSISINYA MIRIP : Posisi putra mahkota KGPH Hangabehi sekarang ini mirip saat ayahandanya belum jumeneng nata menjadi Sinuhun PB XIII, sebagai anak lelaki tertua bernama KGPH Hangabehi yang punya kakak perempuan. Gusti Behi yang sekarang ini, juga anak lelaki tertua yang punya kakak perempuan GKR Timoer. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ekspresi publik yang terkesan membenci atau antipati terhadap viral video “Nyesel Gabung Republik” itu, bisa dianalisis sudah terakumulasi dengan peristiwa “tabrak lari” yang terjadi di perempatan Gladag, di penghujung pandemi Corona, beberapa tahun lalu. Karena, sang figur tokoh itu yang menjadi subjek pelaku kasus yang akhirnya sudah “dibereskan” itu.

Kalau masalah video viral “Nyesel Gabung Republik” sudah diakumulasikan dengan memori publik tentang kasus “tabrak lari” itu, mungkin heboh dalam beberapa hari ini sudah “mencapai klimaks”. Tetapi bisa juga belum sampai puncak, ketika ada pernyataan klarifikasi dari pihak yang “Nyesel” atau justru disikapi dengan tajam oleh kekuasaan atau representasinya.

MERAJUT HARAPAN : Foto KGPH Hangabehi yang mirip dengan gambaran seorang putra mahkota yang sudah resmi dinobatkan, adalah sekadar upaya warga Pakasa Cabang Kudus yang sedang berdoa, memohon dan merajut harapan agar tokoh “sesembahan” yang dicintainya itu kelak menjadi pemimpin yang didambakan. (foto : iMNews.id/Dok)

Hal terakhir itu bisa melahirkan reaksi lanjutan atau sebaliknya menjadi “tumpul” dan dianggap selesai atau tidak ada persoalan. Tetapi, video viral itu sudah terlanjur melahirkan beragam reaksi yang di luar dugaan malah bisa diidentifikasi ragam dan cirinya pihak yang bereaksi dan konten reaksinya, seperti komentar yang diungkapkan Roky Gerung.

Kalau di atas ada analisis atas munculnya video viral sebagai upaya “menciptakan panggung” sebagai salah kalkulasi, ada benarnya juga. Karena, posisi pribadi sang tokoh yang disebut “putra mahkota”, berikut lingkungan yang selama ini melegitimasinya, kini semakin terjepit posisinya dan tidak punya ruang gerak ketika Lembaga Dewan Adat (LDA) makin eksis. (Won Poerwono – bersambung/i1)