Makam Pangeran Benawa I di Desa Wateshaji, Berjarak Sekitar 150 KM dari Pajang (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 3, 2023
  • Post category:Budaya
  • Post comments:0 Comments
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Makam Pangeran Benawa I di Desa Wateshaji, Berjarak Sekitar 150 KM dari Pajang (seri 1 – bersambung)
KIRAB BUDAYA : Suasana ritual haul Kyai Ageng Ngerang di makamnya yang ada di Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati tahun 2019, tampak atraktif penuh sentuhan seni budaya dalam balutan kirab budaya penuh keindahan saat ada sentuhan inovatif Gusti Moeng dan rombongan dari Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sentuhan Inovasi dari Kraton, Membuat Sajian Ritual Menjadi Beda

IMNEWS.ID – DALAM rentang waktu lebih lima tahun sejak 2017, untuk kali kesekian iMNews.id melakukan perjalanan mengikuti rombongan “Tour de Makam, Petilasan dan Pesanggrahan” dari Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin Gusti Moeng (GKR Wandansari Koes Moertiyah), dalam safari kelilingnya di sejumlah kabupaten di wilayah Provinsi Jateng, Jatim dan DIY. Safari keliling itu dilakukan, bila bukan dalam rangka ziarah biasa atau “nyadran” di bulan Ruwah, pasti karena memenuhi undangan masyarakat adat dan pengurus Pakasa cabang setempat yang menggelar ritual haul tokoh leluhur Dinasti Mataram.

Dalam beberapa kali safari di daerah berbeda, dari tiga jenis kegiatan itu ada yang dirangkai dengan penyerahan penghargaan sekaligus ikatan kekerabatan berupa “partisara kekancingan” berisi gelar kekerabatan, tetapi yang lebih sering adalah ziarah dalam rangka ritual haul, yang biasanya dirangkai dengan aneka ragam kegiatan pendukungnya seperti pengajian akbar dan pasar malam. Durasi waktu puncak acaranya saat rombongan Gusti Moeng hadir menjadi penuh, karena isi acaranya sangat padat ketika  disajikan dalam format kirab budaya menuju lokasi makam tokoh leluhur tempat pemusatan puncak acaranya.

ARAK-ARAKAN : Prosesi arak-arakan yang menyertakan kesenian rakyat setempat dan dukungan beberapa bregada prajurit Kraton Mataram Surakarta yang dibawa Gusti Moeng, mendapat perhatian masyarakat luar biasa saat ritual haul Raden Ayu Dewi Roro Kuning di Desa Maitan, Kecamatan Tambakromo, Pati di tahun 2020. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Format rangkaian ritual ziarah atau haul dengan kelengkapan yang dibawa Gusti Moeng bersama rombongan dari Kraton Mataram Surakarta, jelas menjadi sebuah atraksi menarik dan indah di balik aktivitas spiritual religi di makam-makam, petilasan dan pesanggrahan para tokoh leluhur Dinasti Mataram itu. Karena, ada sentuhan seni budaya berupa hadirnya barisan pasukan beberapa bregada prajurit dari kraton lengkap dengan Bregada Korsik Prajurit Tamtama, yang memiliki kostum khas warna-warni, kemudian diisi pula iring-iringan rombongan yang membawa segala macam uba-rampe ziarah, di antaranya payung atau “songsong”.

Di satu sisi, kehadiran Gusti Moeng dengan rombongan menjadi bentuk “inovasi” dalam penyajian ritual ziarah dan haul tokoh-tokoh leluhur Dinasti Mataram yang makamnya tersebar di berbagai yang sangat luas itu, karena sebelumnya hanya diselenggarakan secara konvensional atau aktivitas tradisi yang hanya terjadi di kompleks makam saja. Tetapi dengan sentuhan seni budaya dari kraton, ada bangunan formasi atraktif berupa kirab budaya yang bisa dikolaborasikan dengan potensi seni budaya lokal, hingga lebih memberi banyak makna dan daya tarik bagi objek destinasi wisata religi itu.

MEMBERI SAMBUTAN : Hampir pada setiap menghadiri undangan ritual haul seperti di makam Kyai Ageng Wot Sinom di Desa Sinom Widodo, Kecamatan Tambakromo, Pati di tahun 2021 ini, Gusti Moeng dielu-elukan seperti “artis Ibu Kota” di sepanjang rute kirab dan dinanti pidato sambutannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di sisi lain, dalam beberapa tulisan sebelumnya iMNews.id sudah mencatat bahwa kehadiran Gusti Moeng yang mulai intensif sekitar tahun 2010 itu merupakan bentuk upaya menyambung kembali tali silaturahmi yang telah putus puluhan bahkan ratusan tahun. Karena, masyarakat adat yang berada di lingkungan sekitar lokasi makam, petilasan dan pesanggrahan para leluhur dinasti itu, adalah generasi penerus masyarakat adat yang telah merawat dan menjaga petilasan dan pesanggrahan para tokoh leluhur di manapun berada. Mereka adalah generasi penerus masyarakat adat yang berjasa dan setia pada tugas dan kewajibannya.

Namun, yang terjadi pada ritual ziarah atau “nyadran” di bulan Ruwah di makam dua tokoh besar bagi Mataram Surakarta yang ada di Kabupaten Ponorogo (Jatim), yaitu Bathara Katong dan Kyai Muhammad Besari misalnya, lain dengan aktivitas spiritual religi serupa yang ada di wilayah sekitar Gunung Muria, misalnya di Kabupaten Pati. Di wilayah kabupaten ini, ada lebih dari 13 titik lokasi makam, petilasan dan pesanggrahan tokoh leluhur Dinasti Mataram yang sudah ditetapkan pemerintah daerah setempat sebagai makam tokoh yang diakui asal-usulnya dan dibuka menjadi objek wisata religi.

AGAK BERBEDA : Suasana agak berbeda saat Gusti Moeng memimpin rombongan dari Kraton Mataram Surakarta, saat hadir di ritual haul Pangeran Benawa I yang digelar di kompleks makam puncak bukit Morotoko, Desa Wateshaji, Kecamatan Pucakwangi, Jumat (30/6/2023). Karena, lokasinya sangat sulit dijangkau dengan angkutan apapun. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di wilayah Kabupaten Pati, tokoh sebesar Nyai Ageng Ngerang sebagai putri Kyai Ageng Tarub atau cucu Raja Majapahit Prabu Brawijaya V (1468-1678) yang diperistri Kyai Ageng Ngerang, makamnya menjadi pusat perhatian warga peradaban semakin luas. Tiap tahun selalu digelar ritual haul dengan berbagai rangkaian kegiatan pendukungnya, pasar malam, pengajian akbar dan beberapa kali didukung rombongan dari kraton yang dipimpin Gusti Moeng, terutama prajuritnya untuk melakukan kirab budaya. Peziarah makin luar biasa setelah pandemi Corona lewat, karena juga berdatangan dari luar Jawa.

Makam tokoh leluhur Dinasti Mataram yang dalam silsilah para raja Mataram berada pada urutan lajur kanan itu, berada di wilayah Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati yang notabene di dataran rendah dan berdekatan dengan pamukiman Desa Trimulyo, jelas sangat mudah dijangkau peziarah dari jauh apalagi warga desa setempat. Begitu pula makam Raden Haryo Suwongso atau Kyai Ageng Wot Sinom di Desa Sinom Widodo, Kecamatan Tambakromo, juga menjadi destinasi wisata religi yang semakin berkembang dan makin banyak didatangi peziarah karena faktor daya tariknya semakin bervariasi dan lokasinya mudah dijangkau.

JALUR LAIN : Suasana ziarah “nyadran” di bulan Ruwah yang dilakukan Gusti Moeng bersama rombongan dari kraton di makam Kyai Ageng Muhammad Besari, sebelum Ramadan 2023 lalu. Tokoh leluhur Dinasti Mataram dari jalur lain itu adalah seorang ulama besar pemimpin Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo (Jatim). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Satu catatan penting dari makam tokoh-tokoh leluhur Dinasti Mataram yang ada di wilayah Kabupaten Pati juga Kabupaten Jepara, bahkan Kabupaten Grobogan keluarga besar Kyai Ageng Sela, termasuk tak begitu jauh titik lokasi makam dengan data informasi tentang mobilitas dan sebaran pengaruh ketokohan di zamannya. Karena ketika dianalisis, di masa-masa akhir Kraton Majapahit di bawah Raja Prabu Brawijaya V, arah pelarian untuk menyelamatkan diri atau meneruskan kehidupan dinastinya adalah ke arah barat melalui hutan jati di sekitar pegunungan kapur Kendeng di wilayah tengah ke utara di pulau Jawa.

Kraton Demak (abad 15) di bawah Raja Raden Patah atau Sultan Syah Alam Akbar sebagai Sultan Demak I hingga Sultan Demak III, menjadi titik lokasi baru sebagai pusat mobilitas para tokoh leluhur Dinasti Mataram yang masih sejalur di wilayah utara pulau Jawa, ketika para tokoh Wali Sanga mulai menyebarkan Islam. Makam para tokoh leluhur jelas banyak didapati di wilayah yang dekat-dekat dengan Demak atau sekitar Gunung Muria, tetapi para Walinya banyak tersebar jauh sampai ke CirebonJabar (Sunan Gunungjati) dan Surabaya/Jatim (Sunan Ampel) dan Banjarnegara/Jateng (Sunan Kalijaga). (Won Poerwono-bersambung/i1)

Leave a Reply