“Nyebar Kabecikan” di Taman Maha Bodhi, Lompatan Jauh yang Tidak Pernah Terprediksi (seri 4 – habis)

  • Post author:
  • Post published:June 15, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing “Nyebar Kabecikan” di Taman Maha Bodhi, Lompatan Jauh yang Tidak Pernah Terprediksi (seri 4 – habis)
TERCATAT SEJARAH : Kehadiran sejumlah Bregada Prajurit dan Korsik Drum Band Kraton Mataram Surakarta, pasti akan tercatat dalam sejarah perjalanan kraton maupun perjalanan Candi Bodobudur, karena mungkin kali pertama terjadi dalam perayaan Hari Raya Waisak ke-2567 BE, 3-4 Juni lalu sejak candi dibangun di abad 8. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jadi Catatan Perjalanan Sejarah Mataram Surakarta, tak Lepas dari Jasa Dr Purwadi

IMNEWS.ID – KALIMAT prasetya terakhir dari wewaler “Tri Prasetya” yang pernah ditegaskan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma agar ditaati seluruh warga peradaban yang mengaku anak-cucu keturunannya, yaitu “Hamemasuh memalaning Bumi”. Makna dari peringatan sekaligus harapan itu adalah menjadi tugas dan kewajiban manusia warga peradaban secara luas tanpa kecuali, (selalu berusaha) untuk “mbengkas” dan “ngikis” kejahatan di muka bumi.

“Jadi, setelah ‘Hamemayu-hayuning Bawana’ dan ‘Mangisis eseming Budi’, prasetya terakhir adalah ‘Hamemasuh memalaning Bumi’. Makna yang terakhir itu adalah, tugas dan kewajiban kita semua menghilangkan ‘mala’ atau ‘memalaning bumi’ atau kejahatan dari muka bumi. Menghilangkan segala bentuk kejahatan yang merusak bumi yang kita tinggali ini. Itulah yang melengkapi simbol-simbol yang ada pada Sawo Kecik atau Sarwa Becik yang kita sebar/tebar,” tunjuk GKR Wadansari Koes Moertiyah, dalam serangkaian wawancara dengan iMNews.id seusai hadir di Taman Maha Bodhi, Magelang, 3-4 Juni.

TAK LEPAS : Peristiwa penanaman pohon Sawo Kecik di tempat peribadatan umat Budha di Taman Maha Bodhi yang ada di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Magelang, 3-4 Juni, adalah dialog budaya bersejarah bagi Kraton Mataram Surakarta dan MUNI yang tak lepas dari peran peneliti sejarah dari Lokantara (Pusat), Dr Purwadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seperti diketahui, GKR Wandansari Koes Moertiyah belum lama ini memimpin rombongan sekitar 70 orang dari Kraton Mataram Surakarta, termasuk rombongan pengurus Pakasa Cabang Magelang yang dipimpin KRAT Bagiyono Rumeksonagoro (Ketua Cabang), hadir dalam upacara yang diinisiasi bersama oleh kraton dan PT Meccaya, di Magelang, pada 3-4 Juni (iMNews.id, 4/6). Terwujudnya event seni budaya dan peristiwa dialog budaya yang bertepatan dengan peringatan Hari Raya Waisak ke-2567 BE itu, tak lepas dari peran Dr Purwadi, seorang peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja.

Dalam peristiwa “dialog budaya” di rumah peribadatan umat Budha di Taman Maha Bodhi milik KP Ricky Suryo Prakoso (CEO PT Meccaya) di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Magelang (Sabtu, 3/6), rombongan yang dari kraton yang sebagian besar abdi-dalem prajurit dari beberapa bregada, melakukan kirab sebagai pembuka upacara tanam pohon Sawo Kecik. Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat yang akrab disapa Gusti Moeng, bersama-sama KGPH Hangabehi, KPH Edy Wirabhumi dan Tokoh pemimpin Budha dari Thailand, Serling Tulku Yongdzin Rinpoche dan sejumlah tokoh Budha dari MUNI menanam pohon “Sawo Kecik”.

DUA TOKO SEJARAH : Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa dan KP Edy Wirabhumi adalah dua dari beberapa pemimpin di Kraton Mataram Surakarta yang akan tercatat sebagai tokoh sejarah peradaban, khususnya dalam peristiwa dialog budaya dalam peringatan Hari Raya Waisak yang dipusatkan di Candi Borobudur, Magelang, 3-4 Juni. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam kesempatan itu, Gusti Moeng menjelaskan makna pohon “Sawo Kecik” yang disumbangkan kepada rumah peribadatan Taman Maha Bodhi sebagai simbol mewakili keluarga besar umat Budha khususnya Majlis Umat Nyingma Indonesia (MUNI). Melengkapi penjelasan tentang pohon Sawo Kecik, dalam menjelaskan makna “Sarwa Becik” yang hendak disebarkan, Gusti Moeng menandaskan soal wewaler “Tri Prasetya”. Dan makna dari kalimat Prasetya ketiga, ketika dianalisis bukan berarti benar-benar menghilangkan kejahatan dari muka bumi, melainkan sebagai insan bertaqwa harus berusaha menghindari/meminimalkan kejahatan.

Sebab, siapapun dan apapun yang terindikasi menjadi sumber anasir jahat dan para pelaku kejahatannya, berdasar pengalaman sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak pernah benar-benar bisa dihilangkan sama sekali dari muka bumi, karena di alam jagad raya ini akan tetap ada “plus dan minus” sebagai wujud keseimbangan. Meski begitu, esensi dari dialog budaya antara umat Budha MUNI dengan Kraton Mataram Surakarta itu, sangat menarik dan memberi nilai edukasi yang sangat tinggi bagi warga peradaban kini dan generasi mendatang.

PRESENTER HEBAT : CEO PT Meccaya KP Ricky Suryo Prakoso memperlihatkan kemampuannya sebagai presenter yang hebat ketika menjelaskan makna berbagai elemen yang diperlukan dan rangkaian upacara penanaman pohon Sawo Kecik di rumah peribadatan umat Budha miliknya di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Magelang, 3-4 Juni. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Oleh sebab itu, peristiwa dialog budaya itu jelas akan tercatat dalam sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta di satu sisi, dan akan juga dilakukan pihak lain atau warga peradaban secara luas di sisi lain. Peristiwa sejarah dialog budaya yang akan dicatat, bahkan sudah didahului dengan terbitnya buku berjudul “Pramoda Wardani; Meniti Puncak Kejayaan” yang ditulis Dr Purwadi awal tahun 2023 ini, dengan kata pengantar dari CEO PT Meccaya, KP Ricky Suryo Prakoso. Buku itu banyak menunjukkan riwayat peradaban Budha di Nusantara, kemudian memandu bangsa ini untuk melihat makna penting sejumlah objek bersejarah.

Objek bersejarah seperti Candi Borobudur, Candi Plaosan, Candi Mendut dan Candi Plaosan jelas menjadi salah satu kekayaan keindahan Nusantara ini, bahkan bertempat di Kabupaten Magelang, Jateng. Dan objek sejarah lain yang hendak ditunjukkan punya makna dalam kehidupan, adalah Kali Elo, Kali Progo, Gunung Sumbing, Gunung Semeru dan sebagainya, menurut KP Ricky Suryo Prakosa ketika mempresentasikan berbagai unsur yang akan disertakan dalam menanam pohon Sawo Kecik, adalah tempat yang patut dijaga kelestariannya, karena akan memberi keseimbangan dalam kehidupan warga peradaban, sampai kapanpun.

PAKASA MAGELANG : Rombongan pengurus Pakasa Cabang Magelang yang dipimpin ketuanya, KRAT Bagiyono Rumeksonagoro yang ikut hadir selaku tuan rumah tempat Candi Borobudur berada, pasti akan ikut tercatat dalam sejarah dari peristiwa dialog budaya antara kraton dan umat Budha (MUNI), bersamaan peringatan Hari Waisak, 3-4 Juni. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Peristiwa sumbangan “Sarwa Becik” yang bisa dimaknai “nyebar kabecikan” yang terinspirasi dari nilai-nilai luhur dari edukasi tentang kehidupan manusia, ketika berakhir dan kembali ke hadapanNya, yang akan dihitung hanya kebaikan atau “kabecikan” yang pernah dilakukan di dunia. Oleh sebab itu, perkumpulan para wayah-dalem Sinuhun PB XII, mengambil nama Sawo Kecik sebagai nama paguyuban yang diketuai GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani itu. Berbagai penjelasan tentang edukasi nilai-nilai ini yang tak banyak dilakukan kalangan pendidik dan pemimpin bangsa ini, hingga pohon Sawo Kecik nyaris punah.

Lompatan jauh yang dilakukan Gusti Moeng dalam dialog budaya untuk memaknai Hari raya Waisak ke-2567 BE itu, di satu sisi tentu akan dicatat dalam pejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta, karena kirab budaya yang digelar diwarnai panji-panji Sri Radya Laksana dan simbol-simbol lain seperti kehadiran Pakasa Cabang Magelang. Dan di sisi lain, perjalanan sejarah Candi Borobudur juga akan dicatat dalam sejarah, karena telah dikunjungi sejumlah Bregada Prajurit Kraton Mataram Surakarta di tahun 2023, di antara sekian kali perayaan Hari Raya Waisak pernah diadakan dan dipusatkan dipusatkan di kompleks candi. (Won Poerwono-habis/i1)