Semangat Edukasi dan Legitimasi Modal Utama Pelestariannya
SURAKARTA, iMNews.id – Segala bentuk aktivitas seni budaya produk peradaban Jawa dan Mataram yang hingga kini masih dimiliki Kraton Mataram Surakarta, seharusnya dipimpin, dikelola dan diasuh oleh figur-figur tokoh dari internal keluarga inti kraton, karena tujuan dan semangatnya untuk mengedukasi dan memperkuat legitimasi sebagai modal utama pelestariannya. Tetapi ketika pimpinan, pengelola dan pengasuhnya jatuh di tangan orang dari eksternal keluarga inti, bisa kehilangan arah, diselewengkan atau bahkan mati, karena prioritas kepentingan dan keperluannya di luar wilayah habitat atau kraton.
“Betul itu. Mengurus aktivitas seni budaya di kraton seperti yang saya lakukan, harus orang yang setiap ‘melek mata’, sudah ada di hadapannya. Atau aktivitas sehari-hari dalam kehidupannya, ya hanya di situ, seperti yang saya alami sejak kecil. Jadi, ada rasa eman kalau sampai ada yang rusak, hilang atau berhenti vakum. Tetapi tidak eman kalau ‘nomboki’ atau berupaya agar tidak mengalami hal-hal seperti itu. Intinya, orang dalam pasti selalu berusaha menjaga agar aktivitas seni budaya tetap eksis dan baik-baik saja. Karena, pasti punya rasa memiliki atau handarbeni,” tegas Gusti Moeng menjawab iMNews.id.
Penjelasan GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Katon Mataram Surakarta itu, diberikan saat dimintai konfirmasi iMNews.id, kemarin, setelah “ngobrol” bersama pada rehat santai yang diisi “jagongan” ringan di teras gedhong Sasana Handrawina, di penghujung durasi waktu ritual “ngisis wayang” Anggara Kasih, Selasa Kliwon (13/6). Ketika “jagongan” bersama Dr Purwadi, seorang peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja) dan beberapa sentana serta abdi-dalem itu, banyak membahas soal pengelolaan aktivitas seni budaya di kraton.
Seperti diketahui, pengelolaan segala aktivitas seni budaya khas kraton yang berlangsung di lingkungan internal kraton, sepanjang pengamatan iMNews.id tidak pernah dipersoalkan atau dikeluhkan Gusti Moeng antara 2004 sampai peristiwa 2017, apalagi tahun-tahun sebelum 2004. Karena, sampai batas 2004 saat Sinuhun PB XII jumeneng nata, pengelolaan segala aktivitas seni budaya, hampir semuanya bisa dijangkau mengingat SDM yang berkompeten, berkualitas dan berkomitmen sangat banyak, termasuk di antaranya Gusti Moeng.
Namun begitu ada peristiwa April 2017 yang diyakini telah membuat keprihatinan yang mendalam, banyak SDM yang tokoh penting di kraton berguguran satu demi-satu dalam 5 tahun antara 2017-2022, termasuk tiga perempuan kakak kandung yang selalu dekat Gusti Moeng selama 5 tahun berjuang di luar kraton, yaitu GKR Galuh Kencana, GKR Sekar Kencana dan GKR Retno Dumilah. Begitu kembali bisa masuk kraton melalui “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” pada 17 Desember 2022, Ketua Lembaga Dewan Adat itu mengaku “kijenan” dalam mengurus segala aktivitas seni budaya di dalam lingkungan kraton.
“Maksud saya itu, kalau pas ada acara seperti ini (ngisis wayang-Red), ponakan-ponakan itu la mbok pada datang. Atau dirundingkan bergilir siapa yang datang. Agar bisa dekat dengan para sentana dan abdi-dalem yang mengurusi upacara adat seperti ini. Atau di upacara adat yang lain yang begitu banyak. Juga segala macam aktivitas seni budaya seperti gladen tari, karawitan, sanggar pambiwara dan sebagainya. Sambil datang dan tampak ada, ‘kan bisa berkomunikasi dan belajar mengenal dan menguasai detil-detil keragamannya”.
“Kalau tidak begitu, ya saya jadi ‘kijenan’, kewalahan. Padahal, pekerjaan-pekerjaan seperti ini harus diurusi keluarga sendiri, terutama yang perempuan. Orang yang total menggeluti karena memang kehidupan kesehariannya di situ, pasti berbeda dibanding orang dari luar. Kalau dari keluarga pasti punya rasa memiliki atau handarbeni. Jadi pasti punya rasa eman (sayang) kalau seni budaya kraton jadi hilang, vakum atau kelihatan tidak baik. Dan pasti tidak akan eman (pelit) mengeluarkan biaya untuk menjaga agar tetap eksis, lestari dan baik,” tandas instruktur tari berkelas maestro dari Kraton Surakarta ini.
Baik Gusti Moeng dan Dr Purwadi membenarkan apabila segala aktivitas seni budaya kraton, berpotensi disimpangkan apabila dikelola, diasuh dan dipimpin orang dari luar atau bukan dari keluarga inti. Bahkan Dr Purwadi juga setuju ketika iMNews.id menyebut, sanggar seni di “Kadipaten” Mangkunegaran kini kurang terurus dengan baik, karena sudah tidak ada figur dari keluarga yang mengurus setelah ditinggal wafat GPH Herwasto Kusumo beberapa tahun lalu. Dalam catatan iMNews.id, KGPAA MN X selaku pemimpin “Kadipaten” Mangkunegaran, kini mengurus “aktivitas seni budaya khas” yang dikelola dan diasuh orang luar.
Gusti Moeng maupun Dr Purwadi bisa membenarkan apabila segala aktivitas seni dan budaya khas kraton, berpotensi diselewengkan atau dikomersialkan apabila jatuh ke tangan orang dari luar kraton. Meski merasa “kijenan” atau sendirian serta masih prihatin, Gusti Moeng sudah sedikit lega karena ada beberapa figur tokoh generasi muda atau generasi ketiga dari Sinuhun PB XII yang mulai kelihatan hadir di beberapa kegiatan seni budaya. Misalnya GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, putri tertua Sinuhun PB XIII yang juga ketua Perkumpulan Putri Narpa Wandawa itu, sering hadir di gladen tari Bedaya Ketawang, Anggara Kasih.
Begitu pula GRAy Devi Lelyana Dewi, di sela-sela kesibukannya di dalam manajemen Museum dan Art Gallery Kraton Surakarta, rajin hadir pada setiap ritual “ngisis wayang” baik weton Anggara Kasih maupun tiap Kamis, selain berbagai ritual lain. Sementara, dalam aktivitas seni budaya, yang paling sering datang selain GKR Ayu Koes Indriyah yang mewakili generasi kedua, GKR Rumbai, GRAy Devi, BRA Lung Ayu dan BRA Sedah Mirah yang merupakan dua putri Gusti Moeng yang termasuk rajin mengikuti latihan beberapa aktivitas seni tari, termasuk tiap Anggara kasih atau Selasa Kliwon. (won-i1)