Banyak Pesan Disampaikan Gusti Moeng dalam Peringatan 92 Tahun Putri Narpa Wandawa (seri 3 – habis)

  • Post author:
  • Post published:June 11, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Banyak Pesan Disampaikan Gusti Moeng dalam Peringatan 92 Tahun Putri Narpa Wandawa (seri 3 – habis)
TINGGAL TIGA : Kini tinggal Gusti Moeng, Gusti Timoer dan Gusti Ayu (berseragam hijau), tiga wanita yang mengurus hampir semua upacara adat di Kraton Mataram Surakarta. Padahal, masih dibutuhkan banyak putri-dalem dan wayah-dalem untuk keperluan memelihara kelestarian seni budaya Jawa dan kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Poligami Banyak Ditentang, Tetapi Dalam Situasi “Kritis” Justru Dianjurkan

IMNEWS.ID – SAAT memberi pidato sambutan pada peringatan 92 tahun Perkumpulan Putri Narpa Wandawa perdana (iMNews.id, 5/6/2023) sejak peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” (iMNews.id, 18/12/2022), Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA), menyinggung beberapa peristiwa penting yang menyangkut eksistensi republik ini. Antara lain soal meninggalnya Sinuhun PB IX yang begitu mendadak pada 6 Juni 1945, perubahan BPUPK menjadi PPKI dengan penggantian beberapa tokohnya dan soal nama “Indonesia” yang tidak pernah dijelaskan asal-usulnya, padahal sudah muncul di tahun 1920.

Tetapi, anak ke-25 Sinuhun Paku Buwana (PB) XII yang punya nama “sepuh” lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu tidak mau membahasnya di forum yang diinisiasi dan digelar di Bangsal Smarakata itu. Seperti biasa, mantan anggota DPR RI dua periode terpisah itu membiarkan pernyataannya menjadi rangsangan untuk bersama-sama dicari jawaban yang sebenarnya dan selengkapnya. Beberapa masalah itu, memang sudah lama hingga kini masih menjadi misteri dan kalangan tertentu utamanya para pakar hukum tata negara pasti sudah memahami dari “A hingga Z” terhadap fakta-fakta sejarah yang “tidak harum” itu.

MEMBIMBING KEPONAKAN : Gusti Moeng mulai banyak membimbing kalangan keponakannya terutama wayah-dalem, contohnya Gusti Devi, untuk memulai memahami pekerjaan-pekerjaan upacara adat yang banyak memerlukan tangan wanita, karena mereka kelak yang akan mengurus untuk kelangsungan kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, Ketua Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta itu lebih tertarik membahas hal unik yang berkaitan dengan diri figur putra mahkota tertua, KGPH Hangabehi. Maka, sesi yang kurang lebih mirip “gojlokan” di kampus tetapi justru menjadi suasana segar penuh tawa-lebar sekitar 70-an warga Putri Narpa Wandawa itu, justru lebih menarik, gampang diapresiasi, gampang di tangkap maknanya dan banyak mendapat perhatian. Karena, kata kunci yang dilontarkan Gusti Moeng untuk figur Sang Pangeran itu adalah “poligami”.

“Terus-terang, saya khawatir dengan situasi di kraton akhir-akhir ini. Padahal, itu sebenarnya menjadi tujuan yang diharapkan dari program KB (Keluarga Berencana-Red). Tetapi khusus di internal kraton, saya justru mengkhawatirkan. Karena apa?. Pekerjaan-pekerjaan seperti yang saya lakukan mengelola beberapa lembaga dan aktivitas di dalam kraton, sudah kritis karena krisis tenaga yang menanganinya. Sebabnya apa?, karena sekarang sudah kekurangan figur wanita (putri-dalem-Red) alias krisis tenaga perempuan. Maka, saya selalu menyarankan agar Gusti Behi (KGPH Hangabehi-Red) kawin lagi”.

URUSAN WANITA : Dengan kemampuan dan pengasaan pengetahuan secara khusus, Gusti Moeng banyak mengurusi pekerjaan-pekerjaan dalam upacara adat terutama yang berhubungan dengan gender perempuan. Misalnya mengamati jenis dan corak busana anak wayang, karena busana penari Bedaya Ketawang mirip dengan itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Saya menyarankan agar melakukan poligami ini hanya untuk internal kraton, saat ini. Saya tahu, poligami adalah tak diinginkan masyarakat Indonesia, atau menjadi pantangan. Tetapi, untuk internal kraton, saat ini diperlukan, agar punya banyak anak. Kalau banyak anaknya, semua urusan pelaksanaan upacara adat ada yang menanganinya. Karena, hampir semua upacara adat, mulai yang menyiapkan uba-rampe sesaji sampai mengurus keberadaan serta proses yang diupacarakannya, yang mengurus wanita seperti saya,” jelas Gusti Moeng sambil senyum-senyum yang disambut gelak-tawa sebagian besar yang hadir.

Gusti Moeng bahkan menjelaskan latar-belakang sejarahnya, mengapa para leluhur raja-raja Paku Buwana dahulu hingga ayahandanya, Sinuhun PB XII, punya istri lebih dari satu dan punya banyak anak. Bahkan, permaisuri juga lebih dari I, misalnya Sinuhun PB IV (1788-1820) yang memperistri dua putri Adipati Tjakra Adiningrat dari Kadipaten Pamekasan, Madura (kini Jatim-Red), yaitu RAy Handayawati dan RAy Sakaptinah, selain garwa-ampil atau selir yang jumlahnya juga lebih dari seorang yang sudah lebih dulu dimiliki.

MENGURUS PUSAKA : Para putri-dalem dan abdi-dalem wanita kebanyakan mendominasi tugas mengurus pusaka sebelum dan saat dikeluarkan dari kamar pusaka, ketika Kraton Mataram Surakarta menggelar ritual kirab pusaka menyambut Tahun baru Jawa, 1 Sura, begitu pula saat mengembalikannya ke kamar pusaka. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seperti diketahui, dari 7 istri dan dua di antaranya adalah garwa-prameswari (permaisuri), Sinuhun PB X (1893-1939) mendapatkan sekitar 70 anak putra maupun putri, kemudian Sinuhun PB XII walau tak memiliki garwa-prameswari tetapi mendapatkan 35 putra/putri dari 6 garwa-ampil. Dengan banyaknya anak, hampir semua urusan penting di kraton yang berkait dengan jalannya roda pemerintahan dan pelaksanaan upacara adat maupun perangkat sistem pengendaliannya, bisa dilakukan atau setidaknya diharapkan bisa melibatkan kalangan putra-putrinya.

Yang diungkapkan Gusti Moeng itu adalah fakta yang benar-benar terjadi, bahwa selama Sinuhun PB XII bertahta (1945-2004), hampir semua “Bebadan Kabinetnya” bisa dikendalikan dan dijalankan dengan baik oleh peran putra-putrinya yang berjumlah 35 anak itu. Walau mulai era Sinuhun PB XIII banyak terjadi friksi yang tajam hingga memuncak di tahun 2017-2022, peran putri-dalem tetap mendominasi hampir di segala urusan yang membutuhkan keluwesan, kesabaran dan ketelitian misalnya persiapan hingga pelaksanaan pada setiap berlangsungnya upacara adat di kraton.

KETIKA LENGKAP : Para wanita kraton atau putri-dalem ketika masih lengkap, minus GKR Ayu Koes Indriyah yang sedang seibuk sebagai anggota DPD RI, beberapa waktu lalu, diganti GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani saat mengurus ritual Sesaji Mahesa Lawung di hutan Krendawahana, Gondangrejo, Karanganyar, sebelum 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Oleh sebab itu, anjuran Gusti Moeng yang setidaknya sudah tiga kali diungkapkan di muka publik soal “prioritas poligami” khusus itu selalu ditujukan kepada KGPH Hangabehi dan selalu diingatkan untuk “segera” dilakukan. Karena, sebelum di forum hari jadi ke-92 Putri Narpa Wandawa itu, ungkapan serupa juga disampaikan di forum wisuda lulusan Sanggar Pasinaon Pambiwara di tempat yang sama, Bangsal Smarakata, bahkan di forum wisuda lulusan Sanggar Tata Busana dan Paes Penganten Jawa gaya Surakarta di Hotel KSPH, di bulan Mei.

Anjuran poligami yang disampaikan Gusti Moeng itu, tentu bukan ditujukan kepada publik eksternal atau secara luas atau dianggap bisa menggagalkan pelaksanaan program KB yang hingga kini terus digalakkan pemerintah. Selain selalu ditegaskan hanya untuk internal kraton dan tertuju pada figur KGPH Hangabehi, anjuran itu diberikan karena ada alasan yang melatarbelakanginya, yaitu Kraton Mataram Surakarta butuh tenaga dari kalangan keluarga (putri-dalem atau wayah-dalem) untuk menangani seluruh urusan di dalam kraton demi pelestarian seni budaya Jawa dan kelangsungan kraron ke depan. (Won Poerwono-habis/i1)