Ada yang Ingin Menghilangkan Fakta Hubungan Antara Keturunan Sunan Kudus dan Mataram Kartasura
IMNEWS.ID – Keluarga besar Pakasa Cabang Kudus khususnya KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadinagoro selaku ketua Pakasa cabang, menyambut baik penyusunan narasi sejarah Kudus yang dilakukan peneliti sejarah, Dr Purwadi. Ada dua sudut pandang dari narasi yang disusun, yaitu berjudul “Terompet Kyai Glongsor” dan “Pakasa Pang Kudus”.
Setelah dicermati, diakui KRA Panembahan Didik ada dinilai manfaat terkandung dalam gaya penulisan sejarah lahirnya Kudus di zaman kini, atau setelah 700-an tahun para tokoh pendirinya terutama Sunan Kudus (1400-1550) tiada. Salah satu manfaatnya adalah informasi sejarah yang lebih lengkap, tak hanya berisi tentang riwayat Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Informasi sejarah yang lebih lengkap itu, juga menyangkut fakta adanya hubungan kekeluargaan antara keturunan Sunan Kudus yaitu Adipati Tirtakusuma yang menjadi Bupati Kudus pada zaman Kraton Pajang (1550-1587). Karena, puteri Bupati yang bernama Ratu Kentjana (Kencana-Red), diperistri Sinuhun Amangkurat Jawi dan melahirkan Sinuhun PB II (1727-1749).
“Jadi, di situlah letak hubugannya. Karena, Sinuhun Amangkurat IV (Jawi) itu menantu Bupati Kudus Adipati Tirtakusuma. Tokoh ini adalah trah darah-dalem Sunan Kudus (antara generasi 3-4/Red). Jadi, Sinuhun PB II itu jelas cucu Bupati Adipati Tirtakusuma. Selain modal keuangan, keluarga Bupati juga membekali pengetahuan soal pemerintahan kepada PB II”.
“Maka, seterusnya anak-cucu yang diturunkan dari besanan antara Raja Mataram (Kartasura) dengan keturunan Sunan Kudus itu, punya darah keturunan dan punya ikatan keluarga yang dekat. Tetapi, narasi yang dibangun banyak pihak terutama dari orang-orang kiri melalui seni ketoprak misalnya, menyesatkan. Karena menyudutkan masyarakat Kudus,” ujar Dr Purwadi.
Analisis yang bisa dilakukan kemudian, ditemukan alasan tentang adanya perbedaan pandangan dan benturan pandangan yang berbeda antara Kudus dan Pati. Pandangan yang berbeda itu antara karya-karya Syi’ar agama yang dilakukan para Wali (Sunan Kudus dan Sunan Muria) dan yang dilakukan para “Kyai” dan “Ki Ageng” yang banyak berasal dai wilayah Pati.
Benturan pandangan yang dianggap berbeda oleh sementara pihak itu, dilakukan oleh banyak pihak bervariasi. Ada yang melalui penulisan, ceramah-ceramah dan ada yang melalui panggung kesenian ketoprak. Ketiga media/cara itu mulai banyak muncul setelah 1945, apalagi saat ideologi komunis berkembang di Tanah Air dan menjadi partai politik di tahun 1955.
“Karena, kesenian tradisional yang berkembang pesat dan diterima masyarakat di Kabupaten Kudus, Pati dan sekitarnya adalah ketoprak, makam kesenian inilah ditunggangi untuk memecah-belah antara santri khas Sunan Kudus dan santri di luar itu dan juga non-santri (abangan-Red). Skenarionya disusun kerjasama dengan orang-orang Jogja, untuk mengadu domba”.
“Saya ingin menyajikan narasi sejarah dengan cara lain, misalnya tembang Macapat. Mudah-mudahan bisa mengikis perbedaan pandangan dan stigma negatif yang selalu didengungkan orang-orang kiri. Karena sejatinya, antara Kudus dan Pati, tak ada bedanya dalam soal spiritual religi. Keduanya diikat dalam persaudaraan oleh Raja-raja Mataram,” ujar Dr Purwadi.
Fakta berikut menyebut, kakak kandung Raja ketiga Kraton Mataram Islam, yaitu Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, punya kakak kandung perempuan bernama Dyah Retno Jinoli. Putri Sinuhun Prabu Hanyakrawati itu lalu diperistri Syeh Jangkung atau Saridin yang makamnya di Desa Landoh, Kecamatan Kayen (Pati), itu jelas ada hubungan erat antara Pati dan Mataram.
Kalau keturunan Sinuhun Sultan Agung yaitu Sinuhun Amangkurat Jawi menjadi menantu Bupati Kudus Adipati Tirtakusuma, ini menjelaskan bahwa Kraton Mataram punya hubungan erat dengan keturunan Sunan Kudus dan masyarakat Kudus. Dengan begitu, Kudus dan Pati yang bertetangga di wilayah Gunung Muria, adalah dua saudara dekat yang diikat Kraton Mataram Kartasura.
Dari dua judul penulisan narasi sejarah tentang Kudus di atas, memang tidak secara spesifik membahas hubungan kekeluargaan antara Kudus, Pati dan Kraton Mataram Plered hingga Kartasura. Tetapi di beberapa penulisan karya kajian sejarahnya, menjadi pembanding, pelengkap dan penyeimbang buku sejarah tentang masing-masing daerah yang lebih dulu ada.
Dalam tembang Macapat “Pakasa Pang Kudus” pada dua bait atau kuplet syair “Kinanthi”, terlukis :”Sawah tegal karang gunung, Rinenagga wangunan asri, Megah endahing menara, Rumpakan penggalih wening, Gambaraning kapitayan, Tlatah Kudus beda warni. Sunan Kudus Mbabar Ngelmu, Murih tumangkar agami, Sinebut wulang syariat, Tarikat wedharan…. bersambung”.
“Sambungan berikut :”…. ping dwi, Kaping tri nyebat hakikat, Kapat makrifat sejati”. Di tembang “Pangkur”, Dr Purwadi menunjukkan eksistensi Ratu Kentjana yang menurunkan R Praba Suyasa yang kelak menjadi Sinuhun PB II. Di sini, juga disinggung Raden Patah (Pangeran Syah Alam Akbar), Raja Kraton Demak Bintara yang masih siswa Sunan Kudus.
Di tembang “Pucung”, disinggung Bupati Kudus Adipati Tirtakusuma, yang tak lain adalah kakek Sinuhun PB II. Di tembang “Durma”, disinggung soal jumenengnya Sinuhun Amangkurat Jawi dan ketokohan Kyai Glongsor. Prajurit yang bernama asli KRT Prana Kusumadjati itu, disebut ahli dalam urusan “tolak balak”, mirip penuturan KRA Panembahan Didik Gilingwesi.
“Saya yakin, tokoh yang disebut Mbah Glongsor itu bukan bukan tokoh sembarangan. Apalagi, asal-usulnya masih trah dari Sunan Kudus. Tentu lebih tepat disebut Kyai Glongsor. Dan tepat lagi disebut Kyai KRT Prana Kusumadjati. Kalau sebutan mbah itu, terkesan merendahkan tokoh itu. Orang-orang kiri yang banyak mempopulerkan sebutan ini,” ujar Dr Purwadi.
Karya-karya penulisan hasil kajian sejarah Dr Purwadi itu, hampir semuanya bisa diterima dan sangat diapresiasi KRA Panembahan Didik Gilingwesi. Ketua Pakasa Cabang Kudus itu berencana menjadikan karya penyusunan narasi sejarah baru Kudus itu sebagai bahan edukasi kepada semua warga Pakasa dan semua santri tiga Majlis Taklim yang dipimpinnya.
Dalam tulisan berjudul “Terompet Kyai Glongsor”, Dr Purwadi bahkan menemukan data hasil kajiannya yang menyebut, garwa prameswari Sinuhun Amangkurat Jawi (Amangkurat IV) Kanjeng Ratu Mas Kentjana, berasal dari wilayah Rendeng, Kudus yang menjadi lokasi tinggal keluarga Bupati Kudus Adipati Tirtakusuma. Sinuhun Amangkurat IV jumeneng nata 1719-1726.
Disebutkan, Kraton Mataram Islam yang saat itu berIbu Kota di Kartasura, punya pusaka ampuh yang ternyata Terompet yang selalu dibawa Kyai Glongsor. Pusaka ini disebut bisa menjadi sarana untuk “tolak balak”, menyingkirkan hama/penyakit dan mencegah datangnya mara-bahaya. Kisah ini hampir semuanya sama yang pernah dituturkan KRA Panembahan Didik Dilingwesi.
Tokoh Kyai Glongsor yang hingga kini dimuliakan KRA Panembahan Didik dan warga Pakasa Cabang Kudus, disebutkan sebagai abdi-dalem prajurit Kraton Mataram Kartasura, di zaman antara Sinuhun Amangkurat Jawi dan Sinuhun PB II. Prajurit bernama asli KRT Prana Kusumadjati itu, dikenal sakti dan punya “pusaka” sebuah terompet yang ditiup saat ada “lelayu”.
Dalam kisahnya, Kyai Glongsor mampu menumpas kumpulan brandal bernama “Kramaleya”. Dalam dunia seni pakeliran, dalang kondang Ki Anom Suroto sering menampilkan petualangan brandal Kramaleya. Serombongan orang dari Prabumulih (Palembang) yang berziarah di makam Kyai Glongsor menyebut, di daerah “perantauannya” juga banyak didengar kisah brandal Kramaleya. (Won Poerwono – bersambung/i1)