Kirab Ting Malem Selikuran, Karya Baru Mulai Zaman Sinuhun PB X
IMNEWS.ID – SETELAH mencermati urut-urutan prosesi ritual hajad-dalem “Malem Selikuran” yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta yang berakhir di kagungan-dalem Masjid Agung itu, kalau sedikit flashback ke tahun-tahun antara 1985 hingga 1995, bisa dicermati pula tatacara penyelenggaraan hajad-dalem “Malem Selikuran” yang digelar zaman Sinuhun PB XII (1945-2004).
Ada perbedaan antara yang digelar “Bebadan Kabinet 2004”, Selasa malam (11/4/2023) itu dengan prosesi “Malem Selikuran” yang diarak dari Kraton Mataram Surakarta menuju Taman Sriwedari atau eks Kebon Raja selama 10 tahun (1985-1995) itu. Sama-sama diarak menuju Taman Sriwedari, yang prosesi yang diinisiasi seorang kerabat dan digelar di Pendapa Joglo dan “Segaran”, Selasa malam (11/4) itu, juga ada banyak perbedaannya.
“Yang jelas, ritual hajad-dalem Malem Selikuran itu hal baru di kraton lo mas. Itu baru ada saat Sinuhun PB X. Sinuhun-sinuhun sebelumnya tidak ada ritual kirab ‘ting’ dan hajad-dalem, baik keliling Baluwarti maupun ke Taman Sriwedari. Sinuhun PB XII yang mengumpulkan sisa-sisa para pelaku ritual Malem Selikuran zaman PB X. Lalu diadakan lagi hajad-dalem Malem Selikuran, plus pasar malamnya, karena di Taman Sriwedari lalu disebut Maleman Sriwedari,” papar GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA).
Saat dihubungi iMNews.id kemarin Pengageng sasana Wilapa yang akrab disapa Gusti Moeng itu menambahkan, ritual Hajad-dalem Malem Selikuran bahkan tergolong upacara adat yang “sangat baru” bagi Kraton Mataram Surakarta. Upacara ini dikreasi dan diinisiasi Sinuhun PB X, karena saat itu Mataram Surakarta adalah kraton yang kaya-raya. Maklum, hampir semua nilai kontrak tanah yang disewa Belanda dengan Sinuhun sebelumnya, dibayarkan pada saat Sinuhun PB X jumeneng nata (1893-1939).
Bila menyimak sekilas perjalanannya, ritual hajad-dalem “Malem Selikuran” merupakan jenis upacara adat di kraton yang paling muda usianya karena lahir di penghujung abad 19 dan sudah memasuki abad 20. Itu berarti, selain usianya masih muda, eksistensinya paling mudah mengalami perubahan atau proses “Nut jaman kelakone”. Dan secara kebetulan, menjelang abad 20 adalah zaman yang begitu tinggi dinamikanya, di segala bidang kehidupan.
Oleh sebab itu, posisi ritual hajad-dalem Malem Selikuran ini bisa mendapat pembenaran seandainya pada perjalanan peradaban kemudian terjadi perubahan besar, karena dinamika secara umum juga begitu cepat dan tinggi intensitasnya. Tentu saja, pembenaran bisa diterima ketika tidak menyimpang jauh dari tema besar dan misi utama ritual memperingati turunnya “Wahyu Illahi” atau “Lailathul Qadar”, yang nota bene adalah dalam rangka syi’ar Islam.
Maka dari itu, ketika Sinuhun PB X memindahkan ritual “Malem Selikuran” berikut prosesi arak-arakan “ting” dan uba-rampenya dari keliling Baluwarti dan Masjid Agung ke Taman Sriwedari, juga disertai alasan yang sangat masuk akal, pada waktu itu, selama 10 tahun antara 1985-1995 dan yang terjadi Selasa malam (11/4/2023) lalu. Setidaknya, penyesuaian terhadap perubahan atau proses “Nut jaman kelakone” bisa menjadi alasan kuat.
Tetapi alasan Sinuhun PB X memindahkan ritual hajad-dalem ini, karena ingin meramaikan Kebon Raja yang berada di pusat kota, selain sebagai ikon “negara” (Mataram Surakarta) dan hiburan gratis bagi rakyatnya, juga sebagai bagian dari misi Mataram Surakarta dalam meneruskan tugas Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, untuk tujuan menyebarkan Islam.
“Sinuhun PB X, selain ‘ingkang minulya’, juga ‘ingkang wicaksana’. Apalagi ditunjang dengan pemasukan negara (dari kontrak sewa dengan Belanda-Red), yang melimpah. Terlebih, beliau juga berjiwa seniman yang genius. Beliau menginisiasi dan mengkreasi tatacara peringatan Lailathul qadar, dalam balutan seni-budaya Jawa. Syiar Islam yang disajikan dengan pawai ting, oncor dan diiringi tetembangan (hadrah dan santiswaran), jelas menarik perhatian orang banyak ‘kan?.”
“Sebelum Sinuhun PB X, perayaan menyambut Malam Seribu Bulan dengan pawai ting itu tidak ada. Tetapi perlu diingat, sejak zaman Kraton Demak, selalu ada simbol-simbol eksistensi dan tatacara syi’ar agamanya yang mudah dikenali. Selain ada kraton, pasti di dekatnya ada alun-alun dan masjid. Dan di dekatnya pula pasti ada pasar. Itu semua adalah rangkaian proses syi’ar dalam konsep Jawa atau yang njawani,” papar KP Budayanigrat (iMNews.id, 15/4/2023).
Konsep tatacara syi’ar agama yang dilakukan para raja Mataram, bahkan jauh sebelum Mataram lahir ketika Islam kali pertama masuk ke Jawa (tengah-Red) seperti yang diungkapkan dwija (guru) dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu banyak benarnya. Ketika ketika menelusuri tata letak dan lokasi kawasan kraton terutama mulai zaman Kraton Demak (abad 15), komposisinya pasti ada bangunan kraton, alun-alun, masjid agung dan pasar yang saling berdekatan.
Maka, ketika melihat lokasi kawasan Kraton Mataram Surakarta sebagai penerus Mataram Islam, memang benar adanya, di kawasan seluas 90 hektare mulai dari batas Gapura Gladag hingga Gapura Gading itu, ada lingkungan kedhaton yang meski sudah ada Masjid Suranatan dan Masjid Pudyasana, masih ada Masjid Agung di dekatnya. Masih berdekatan pula, ada alun-alun, bahkan jumlahnya dua, ada beberapa pasar tradisional sesuai nama weton pasaran di sekitarnya, termasuk Pasar Slompretan yang kemudian berkembang menjadi Pasar Klewer.
Beberapa hal di atas adalah sebuah ilustrasi gambaran yang melengkapi perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekitar jalannya ritual hajad-dalem Malem Selikuran. Karena, keramaian yang disebut “Maleman”, apakah itu berlangsung di Alun-alun Lor, sebelum 1985 atau “Maleman Sriwedari” di eks Kebon Raja di zaman Sinuhun PB X dan tahun 1985-1995, sejatinya adalah keramaian pasar yang “lebih hidup” di malam hari.
Pasar malam itu jelas untuk mendukung adanya ritual hajad-dalem Malem Selikuran, yang mulai Sinuhun PB XII dilengkapi dengan kirab “ting”, oncor, seni hadrah, Santiswaran, berbagai macam uba-rampe upacara termasuk “Tumpeng Sewu. Kirabnya dari kraton lalu berjalan melingkari jalan di dalam Baluwarti menuju Masjid Agung untuk didoakan sebagai puncak acaranya, lalu dirubah dengan tujuan ke Taman Sriwedari, baik saat Sinuhun PB X maupun di tahun 1985-1995.
“….Amargi Taman Sriwedari sampun risak lan mboten jumbuh malih kaliyan tujuan sakawit kangge ngregengaken Kebon Raja, pramila tatacara lan upacara hajad-dalem Malem Selikuran dipun wangsulaken malih dateng kraton lan kagungan-dalem Masjid Agung…,” sebut KP Siswanto Adiningrat, membacakan riwayat singkat lahirnya hajad-dalem Malem Selikuran, setelah abdidalem jurusuranata MNg Ifa Hamidi Projodipuro memimpin doa wilujengan hajad-dalem, Selasa malam.
Perihal dikembalikannya ritual hajad-dalem Malem Selikuran, berulang-ulang ditandasakan Gusti Moeng di berbagai kesempatan memberi sambutan di kalangan internal masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, maupun di luar forum itu. Alasannya sama, karena Taman Sriwedari sudah “dirusak” dan sudah tidak layak lagi digunakan untuk menggelar upacara tersebut. Kebon Taman Sriwedari sebagai tempat hiburan bersejarah sudah nyaris tidak ada, apalagi Kebon Raja.
Meski begitu, Gusti Moeng tetap “permisif” dan masih akomodatif terhadap “kirab hajad-dalem yang tiba-tiba berbelok arah”, karena kurang tiga hari baru diketahui ada yang menginisiasi kirab menuju Taman Sriwedari, Selasa malam (11/4/2023) itu. Padahal menurut Gusti Moeng, sebelumnya pihak Sinuhun PB XIII yang dilapori rencana pelaksanaan Malem Selikuran, sudah pasrah agar Pengageng Sasana Wilapa yang menginisiasi dan mengorganisasi ritual itu.
Dan peristiwa malam itu, adalah kali pertama dilakukan setelah “Maleman Sriwedari” tidak dimeriahkan dengan kirab “ting” dan hajad-dalem Tumpeng Sewu, mulai tahun 1996, karena diadakan di Alun-alun Lor untuk mendukung doa wilujengan di Masjid Agung. Itu berarti, kali pertama pula terjadi lagi perubahan setelah “Malem Selikuran” dikembalikan ke kraton, mulai 1996 hingga 2022.
Perubahan rute dan isi barisan prosesi tentu juga berubah-ubah, tak hanya soal rute kirab dan lokasi pelaksanaannya. Baik yang kembali dikirabkan mengelilingi jalan lingkar dalam Baluwarti di zaman Sinuhun PB XII hingga 1985, maupun saat kirab dipindah ke Taman Sriwedari antara 1985-1995, tidak serta-merta lengkap komposisinya. Tetapi terjadi pertambahan atau pengurangan isi secara berangsur-angsur, untuk melengkapi materi yang baku.
Seperti kehadiran seni hadrah dan santiswaran, baik saat digelar di Taman Sriwedari maupun ketika dikembalikan ke kraton, juga tidak setiap tahun kedua jenis seni bernuansa agamis ini ada dan lengkap. Kalau untuk materi baku uba-rampe hajad-dalemnya, merupakan suatu keharusan ada, ditambah simbol-simbol “Malem Seribu Bulan”nya berupa “ting” atau “oncor”. Soal kereta atau kuda tunggang, adalah hal yang tentatif.
Semua perbedaan dari satu waktu ke waktu dan perubahan dari masa ke masa berikutnya, seakan menjadi hal biasa dalam ritual kirab hajad-dalem Malem Selikuran. Walau sejak kembali ke kraton, kirab tidak lagi ada kereta kuda dan kuda tunggang, tetapi materi baku dan prinsip yaitu kehadiran prajurit Kraton Mataram Surakarta, akan semakin menjadi keharusan karena berbagai faktor pertimbangan, di antaranya adalah simbol eksistensi kelembagaan.
Melihat saat kelahirannya, serta mencermati situasi dan kondisi yang menjadi latarbelakang terjadinya perubahan, ritual hajad-dalem Malem Selikuran memang paling banyak dan paling sering mengalami perubahan, kalau tidak boleh disebut menjadi “korban” perubahan. Di sinilah, ada fakta dan bukti bahwa “Nut jaman kelakone” benar-benar terjadi pada format upacara adat. Sangat berbeda dibanding ritual Sekaten Garebeg Mulud, yang sudah dimulai sejak Kraton Demak.
“Konsep komposisi tata ruang kraton terutama Mataram Islam, pasti dekat dengan alun-alun, masjid dan pasar. Setiap membangun kraton, pasti dengan pedoman Catur Gatra. Dan karena konsep tata ruang itu menyesuaikan keperluan konsep dakwah agama. Itu sudah dimulai sejak zaman Kraton Demak. Kemudian disempurnakan di zaman Sultan Agung mendirikan Mataram Islam. Komposisi tata ruang itu, seterusnya menjadi pedoman para penerus Dinasti Mataram Islam”.
“Karena, komposisi itu untuk mendukung posisi Mataram Islam dan Sinuhun sebagai pemimpin agama. Sampai di Mataram Surakarta konsep komposisi tata-ruang Catur Gatra tidak berubah. Mulai Sinuhun PB X, tradisi Malem Selikuran dikreasi dengan seni dan budaya yang disajikan juga di pasar malam atau Maleman Kebon Raja, Maleman Sriwedari, dan di Alun-alun Lor menjadi Maleman Pasa,” tunjuk KP Budayaningrat menjelaskan. (Won Poerwono-habis/i1)