Abdi-dalem “Kanca-Kaji” yang Diaktifkan Gusti Moeng, Jadi “Bimbingan” yang Tepat
IMNEWS.ID – BULAN Ruwah tahun Je 1958 yang jatuh pada hari Minggu, 23 Februari 2025, dalam skala besar menjadi hari bersejarah bagi masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Dalam skala sedang, menjadi hari bersejarah bagi Pakasa Cabang Kudus yang dipimpin KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Singonagoro beserta warga, anggota dan masyarakat Kudus.
Hari bersejarah yang telah terukir dengan baik, penuh makna dan “strategis” itu, dalam skala pribadi tentu dirasakan KRRA Panembahan Didik Singonagoro dan keluarga kecilnya. Dalam skala yang hampir sama tetapi punya makna sangat luas dengan jangkauan/visi jauh ke depan, hari itu adalah saat bersejarah bagi putra mahkota Kanjeng Gusti Pangeran Harya Hangabehi.
Hari yang menjadi saat berlangsungnya peristiwa seorang KGPH Hangabehi hadir pada ritual “Mapag Wulan Siyam”, adalah peristiwa fenomenal dan luar biasa. Tetapi lebih dari predikat itu, karena putra mahkota itu hadir di hadapan seribuan warga dan anggota Pakasa Cabang Kudus, warga dan anggota 4 Majlis Taklim yang dipimpin KRRA Panembahan Didik Singonagoro.
Tak hanya warga Pakasa cabang dan anggota 4 Majlis Taklim saja, warga masyarakat Kabupaten Kudus terutama di wilayah Kecamatan Dawe, tentu juga memiliki catatan dan pengalaman tersendiri. Baik terhadap peristiwa event ritualnya, sosok tokoh KRRA Panembahan Didik Singonagoro sebagai seorang guru, “Kyai” dan ketua Pakasa, maupun sosok tokoh KGPH Hangabehi.

Sosok tokoh KGPH Hangabehi adalah anak lelaki tertua dari sejumlah anak Sinuhun PB XIII, yang sudah tidak diragukan lagi keabsahannya sebagai “anak biologis” dari tokoh “raja” pengganti Sinuhun PB XII itu. Keabsahan segala persyaratannya sudah lengkap untuk menjadi putra mahkota, tinggal proses “teknologi genetika” yang bernama “tes DNA”, bila diperlukan.
Sekilas ilustrasi ini bisa dipandang penting atau sebaliknya, tergantung bagi siapa yang membutuhkan. Tetapi, upaya dan proses menegaskan seorang KGPH Hangabehi merupakan putra mahkota yang kelak menjadi “sulih keprabon”, menggantikan sebagai pemimpin di Kraton Mataram Surakarta, memang itulah haknya. Kini, proses menuju ke sana sangat perlu “bimbingan”.
“Bimbingan” bagi seorang calon pemimpin adat, pemimpin masyarakat adat dan pemimpin peradaban, memang tidak seperti lembaga sekolah atau kursus yang menularkan segala macam ilmu pengetahuan, teknologi atau ketrampilan di berbagai bidang seperti yang marak “dijual” di zaman modern ini. Bimbingan bagi seorang tokoh itu, bisa ditempuh dengan banyak cara.
Kehadiran sang tokoh di berbagai upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta, adalah salah satu cara mendapatkan “bimbingan” yang diperoleh dengan “aktif mencari” atau hadir sebagai partisipan/pelaku. Mendapatkan bimbingan sebagai pelaku berbagai upacara adat, adalah kursus, transfer knowledge dan pengalaman dari level mengenal sampai penghayatan.

“Bimbingan” dalam arti “kursus privat” juga bisa didapat/dicari dari para figur yang punya kapasitas sebagai “Paranpara Nata” dan “Parankarsa Nata”. Tokoh-tokoh yang punya kapasitas itu bisa datang dari berbagai elemen yang dimiliki Lembaga Dewan Adat (LDA), seperti para “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara, para tokoh dari kalangan Pakasa cabang dan sebagainya.
Elemen unsur Bebadan Kabinet 2004 juga bisa menjadi tempat mencari/mendapatkan “bimbingan”, misalnya dari kantor Pengageng Pasiten, bisa mendapatkan pengetahuan tentang aset-aset terutama tanah yang masih bisa diselamatkan setelah “nagari” Mataram Surakarta kehilangan semua “kedaulatannya”. Begitu pula sejumlah “bebadan” anggota kabinet yang lain.
Bebadan Kantor Pengageng Mandra Budaya, adalah tempat belajar banyak tentang aset-aset seni budaya dan penggunaannya dalam upacara adat. Kantor Pengageng Yogiswara adalah identik pengetahuan soal makam dan macam-macam tenaga pengurusnya. Masih banyak lembaga Bebadan dan masih ada figur-figurnya yang bisa menjadi tempat bertanya, atau transfer knowlegde.
Elemen abdi-dalem ulama yang di dalamnya ada abdi-dalem “Kanca-Kaji”, juga bisa menjadi “bimbingan” untuk mencari dan mendapatkan pengetahuan tentang agama dan ajaran-ajaran kebajikan yang berkait dengan kepemimpinan. Karena menurut KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I, seorang Sinuhun PB adalah pemimpin yang selalu dekat dengan abdi-dalem “Kanca-Kaji”.

Keberadaan abdi-dalem “Kanca-Kaji” di Kraton Mataram Surakarta, menurut abdi-dalem dosen STAIN Ponorogo (Jatim) itu maknanya “kancane kang aji” atau teman “Sang Aji” yang tak lain adalah Raja, sejak Mataram Islam berdiri tak bisa dipisahkan. Karena, Raja juga berarti “pemimpin agama” (Khalifatullah-Red), yang perlu bimbingan sejak sebelum jumeneng.
Oleh sebab itu, tepat sekali langkah Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) mengaktifkan kembali semua organ abdi-dalem ulama, termasuk abdi-dalem “Kanca-Kaji” bahkan abdi-dalem “Kethib”. Apalagi, bersama itu juga diaktifkan lagi kegiatan “Khataman Alqur’an” tiap 35 hari sekali di Bangsal Smarakata sejak 2023, jelas membuka tempat bimbingan dimaksud.

Abdi-dalem “Kethib”, menurut KRT Ahmad Faruq sangat tepat dan strategis kalau kembali ada dan aktif di tiap masjid “kagungan-dalem” peninggalan Kraton Mataram Surakarta yang tersebar luas di berbagai daerah. Karena, aset itu membuktikan peran lembaga kraton dan Raja sebagai pemimpin agama sejak Raja ke-1 Kraton Mataram Panembahan Senapati hingga Surakarta.
Di dalam lingkungan kraton-pun, abdi-dalem “Kanca Kaji” menjadi tempat bimbingan sekaligus “think-thank” di bidang keagamaan, yang selama 200 tahun (1745-1945) menghidupkan suasana Masjid Pudyasana. Masjid khusus untuk kebutuhan ibadah Raja itu, sudah saatnya difungsikan kembali dengan baik, bersama beberapa elemen pendukungnya, misalnya kolam “Bandengan”. (Won Poerwono – bersambung/i1)