“Terkesan” Agak Pesimistis Terhadap Generasi Penggantinya
IMNEWS.ID – BILA mencermati perjalanan sejarah Kraton Mataram Surakarta masih bisa menembus alam republik (NKRI) bahkan sampai memasuki alam milenial sekarang ini, dari kacamata teologis semua yang diyakini warga peradaban secara luas, bisa disebut sebuah “keajaiban” atau “miracle”.
Karena, selain prediksi yang didapat saat Sinuhun PB II mengutus tim “futurolog” untuk “nitik siti” di berbagai lokasi yang akan dijadikan kawasan pengganti Ibu Kota “nagari” Mataram dari Kartasura, waktu itu, kraton sudah “diketahui” usianya hanya sampai 200 tahun yang dimulai dari saat deklarasi “nagari” Mataram Surakarta, pada tanggal 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari tahun 1745.
Bahkan, Sinuhun PB III sebagai raja pengganti Sinuhun PB II yang wafat di tahun 1749 atau empat tahun setelah memindahkan Ibu Kota dari Kartasura ke Surakarta, sudah memberi sinyal tentang usia 200 tahun itu melalui bangunan Sri Manganti Lor dengan pesan simbolik yang berbunyi “Kiblat rinaras tri bawana”.
Kalimat bijak itu kurang-lebih berarti, bahwa nanti kraton akan datang sebuah suasana baru dan kraton tak akan memiliki “kekuatan” atau kedaulatan politik, yaitu di saat lahir NKRI di tahun 1945. Sinuhun PB III (1749-1788) yang oleh Dr Purwadi, peneliti sejarah dari Lokantara pusat di Jogja, disebut sebagai “Bapak Perdamaian”, juga disebut “Sinuhun Swarga” yang wicaksana.
Meski sudah diberi “kemampuan” untuk memprediksi bahwa usia “nagari” atau Kraton Mataram Surakarta hanya akan berusia 200 tahun (1745-1945), namun Tuhan YME telah memberi memberi akal dan kekuatan berfikir, sekaligus kekuatan kebatinan untuk merasakan kepada manusia ciptaanNya. Sehingga, Sinuhun PB X (1893-1939) diberi sinyal untuk mengingat pesan leluhur terhadap tugas untuk berupaya memperpanjang usia.
Tugas yang dalam terminologi Jawa disebut “wiradhat” itu, dilakukan Sinuhun PB X dengan caranya sesuai teknologi pengetahuan yang berkembang saat itu dan cara pemahaman secara natural saat itu, yaitu melakukan doa melalui berbagai simbol yang ditempatkan di sebuah tugu yang berdiri di halaman depan Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa.
Ketika mencermati upaya atau “wiradhat” yang dilakukan untuk memperpanjang usia kraton agar bisa berumur panjang setelah 1945, maka Sinuhun PB XII yang bertahta sejak Juni 1945 bisa dipastikan “tidak menyerah” pada realitas lahirnya NKRI pada 17 Agustus 1945. Sinuhun PB XI (1939-1945), diyakini tentu juga berusaha keras untuk melakukan “wiradhat” dengan caranya.
“Wiradhat” yang dilakukan Sinuhun PB XII (1945-2004), wujudnya bermacam-macam cara, yang dilakukan langsung yaitu menjalankan semua tradisi upacara adat maupun tidak langsung yaitu kemampuan “diplomasinya” dengan NKRI, dari satu rezim ke rezim penguasa berikut hingga tutup usia di tahun 2004.
Sebagai seorang penerus dan pengganti tahta ayahandanya, seharusnya Sinuhun PB XIII diharapkan memimpin keluarga besarnya untuk melakukan kerja-kerja cerdas dalam rangka mencari “wiradhat”, agar kraton semakin berumur panjang. Tetapi, kalau sang adik kandung GKR Galuh Kencana menyebut Sinuhun PB XIII ibarat “Mrucut saka gendhongan, luput saka kekudangan”, sepertinya ada benarnya.
Walau bertahta sejak 2004, hingga tahtanya berusia 19 tahun dan baru saja diperingati dalam ritual tingalan jumenengan (iMNews.id, 16/2/2023), kerja-kerja cerdas mencari “wiradhat” justru banyak dilakukan Gusti Moeng, sang adik kandung, “Putri Mbalela” yang suka “Mikul dhuwur, mendhem jero” tetapi dianggap “musuh” oleh Sinuhun PB XIII yang notabene kakak kandungnya.
Bebadan “Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, yang terbentuk bersamaan jumengan nata Sinuhun PB XIII pada tahun 2004, telah mampu menangkap makna luas “wiradhat” hingga mampu meredefinisi dan mengadaptasikan di masa kini.
Berbagai karya sudah diwujudkan hingga lahir karya yang strategis dan futuristik yang bernama Lembaga Dewan Adat (LDA) , yang sebelumnya tidak pernah terbayang, bahkan tidak dikehendaki oleh sejumlah figur internal bahkan eksternal yang “sudah takut” terhadap imajinasi negatif sosok LDA yang dipimpin Gusti Moeng, “Srikandi Mataram” sebagai ketuanya.
Lembaga Dewan Adat adalah lembaga yang punya legal standing secara hukum positif yang berlaku di Tanah Air secara sangat jelas. Lembaga ini adalah bentuk inovasi seperti ketika Sinuhun PB X menginisiasi lahirnya organisasi Pakasa dan Putri Narpa Wandawa di tahun 1931, yang di zaman para leluhurnya sama sekali tidak dikenal.
Lembaga yang telah melahirkan dan memayungi berbagai organisasi dan berbagai elemen Kraton Mataram Surakarta itulah, yang akan menjaga kelangsungan kraton dengan segenap masyarakat adatnya, elemen-elemen organisasi yang dimilikinya, termasuk di dalamnya figur Sinuhun pemimpin Mataram Surakarta ke depan, baik secara hukum positif maupun sistem tata-nilai paugeran adat.
Bila dianalisis kemudian, karya-karya cerdas yang kelak akan “diklaim” sebagai karya yang lahir semasa Sinuhun PB XIII itu, adalah tonggak-tonggak dasar yang sudah dibangun untuk mempertahankan kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Maka, ketika “Putri Mbalela” membaca “Maklumat”-nya di topengan Kori Kamandungan yang salah satu klausulnya “akan mengambil-alih” pengelolaan kraton (iMNews.id, 13/2/2022), itu sangat masuk akal.
Langkah-langkah yang mewujudkan misi dan visi LDA untuk menyelamatkan kraton dari jurang kehancuran, adalah sebuah gagasan cerdas yang menjadi ciri “wiradhat”, sebagai kebutuhan mendesak di masa ini dan mendatang. Dan kerja cerdas itu secara tidak langsung menggenapi kapasitas pribadi Gusti Moeng, juga melengkapi kapasitas kepemimpinan seorang “Srikandi Mataram”.
“Jane yen gelem pada sinau mesti isa kok. Bocah saiki kon sinau aksara Jawa, ben isa maca naskah manuskrip sing neng Sasana Pustaka kae, isa ngerti akaeh banget. Muga-muga Rumbai (GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani-Red) gelem ndang sinau. Kuwi penting banget. Kuwi dibutuhke banget mbesuke,” seloroh Gusti Moeng ketika jagongan santai dengan Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat) dan iMNews.id di teras Nguntarasana, belum lama ini.
Pernyataan Gusti Moeng itu, memberi sinyal banyak makna, salah satunya adalah bentuk kesadaran bahwa kini sudah saatnya, bahkan urgen dan mendesak, segera tampil dari figur-figur kalangan generasi muda yang akan meneruskan hasil-hasil “wiradhat” yang selama ini dilakukan.
Dua putri Gusti Moeng, BRA Lung Ayu dan BRA Sedah Mirah, sering mengingatkan ibundanya itu, bahwa jerih-payah sang ibunda sulit dicari penerusnya, padahal kini sudah saatnya diperlukan tampil. Gusti Moeng bisa memahami pesimistis dan kegelisahan dua putrinya itu, karena memang sudah saatnya generasi muda penerus dirinya tampil memulai kerja keras untuk kelangsungan kraton.
Dr Purwadi yang mendengar itu sempat menghibur Gusti Moeng, bahwa kelak pasti akan tampil seseorang yang bisa menggantikan tugas pelestarian dan menjaga kelangsungan kraton. Itu harus diyakini, seperti ketika Gusti Moeng muncul hingga banyak berperan saat ini, sebelumnya tidak banyak yang tahu. Semoga. (Won Poerwono-habis/i1)