Kraton Jangan Sampai Jatuh ke Tangan Para Pragmatis dan “Mana Hadap”
IMNEWS.ID – SIKAP tegas yang disuarakan Gusti Moeng dalam kesempatan konferensi pers beberapa saat setelah berhasil keluar dari “sekapan” selama hampir tiga hari dua malam di “tenggan” Bangsal Keputren, 13 Februari 2022, jelas langsung atau tidak langsung mengindikasikan, bahwa banyak aset-aset Kraton Mataram Surakarta yang jatuh ke tangan orang lain. Proses alih tangan yang sebenarnya “tidak dikehendaki” itu rata-rata baru diketahui setelah waktu lewat jauh atau bahkan zaman sudah berganti, sehingga untuk menelusuri proses terjadinya sudah sangat sulit.
Sulitnya menelusuri proses terjadinya alih tangan menjadi milik pribadi orang lain atau lembaga itu, selain karena dilatarbelakangi perubahan politik yang melahirkan pergolakan, juga karena rata-rata terjadi di bawah tangan atau dinyatakan sebagai “peninggalan kolonial” sehingga dianggap layak “dirampas” negara. Dua-duanya sangat masuk akal terjadi karena masa transisi panjang yang dialami “nagari” Mataram Surakarta ke dalam NKRI, mulai momentum 17 Agustus 1945 hingga berganti-ganti dekade dan rezim pemerintahan dan terjadinya berbagai pergolakan politik setelah Proklamasi Kemerdekaan RI yang membuat banyak hal tentang Kraton Mataram Surakarta menjadi “abu-abu” karena banyak kehilangan dokumen tanda kepemilikian.
Menyadari fakta perjalanan sejarah yang pahit bagi Kraton Mataram Surakarta seperti itulah, Gusti Moeng selaku Pengegng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat bersama Lembaga Hukum Kraton Surakarta (LHKS), bergegas menindaklanjuti kesadaran dan kepedulian yang dimilikinya tentang nasib masa depan kraton. Kesadaran yang lahir bahwa eksistensi Kraton Mataram Surakarta adalah penerus Dinasti Mataram, bahkan peradaban zaman sebelumnya yang terus mengalirkan warisan peradabannya dalam rentang waktu yang sangat panjang, sampai lahir budaya Jawa.
Tindaklanjut dari kedasaran dan kepedulian itu, dalam tema besarnya adalah menyelamatkan karya peradaban yang telah terbukti mampu menjadi pedoman warga peradaban berabad-abad, serta memberi arah kehidupan serta manfaat yang akan tetap dibutuhkan sepanjang zaman. Oleh sebab itu, dalam beberapa klausul “Maklumat” #Gerakan Penyelematan Kraton yang dibacakan Gusti Moeng di depan para awak media dalam konferensi pers di topengan Kori Kamandungan, 13 Februari 2022 itu, ditandaskan bahwa Kraton Mataram Surakarta sebagai jejak dan tapak sejarah peradaban Mataram harus diselamatkan dari potensi kehancurannya.
“Pertama, Dinasti Mataram Keraton Surakarta Hadiningrat beserta seluruh khasanah budaya dan warisannya baik berupa barang dan atau tidak bergerak, di dalam maupun di luar negeri yang masih dalam penguasaan Keraton Surakarta Hadiningrat maupun penguasaan dan atau pengelolaan pihak-pihak lain, harus diselamatkan sebagai warisan kekayaan Dinasti Mataram Keraton Surakarta Hadiningrat dan bukti tapak sejarah perjalanan peradaban bangsa,” begitu bunyi klausul pertama “Maklumat” yang dibacakan Gusti Moeng di “topengan” Kosi Kamandungan, tepat di hari “Perjanjian Giyanti”, 13 Februari 2022.
Satu dari enam klausul yang dibacakan secara tandas oleh Gusti Moeng itu, bisa dipahami sebagai sinyal pemberitahuan bahwa sebenarnya Kraton Mataram Surakarta telah begitu banyak berkorban, kalau tidak boleh disebut “menderita rugi” akibat berkomitmen mendirikan NKRI, bahkan yang pertama menyatakan menggabungkan diri ke dalam wilayah NKRI. Namun, tak hanya sekadar aset-asetnya sengaja dilenyapkan dari muka bumi (kompleks Kepatihan-Red), tetapi simbol-simbol peradabannya yang telah bermanfaat bagi kehidupan warga peradaban secara luas beratus-ratus tahun itu, juga dikehendaki untuk “dibersihkan dari muka bumi”.
Atas fakta-fakta yang muncul sepanjang sejarah republik ini dan atas kesadaran dan kepedulian yang lahir kemudian, maka ketika dianalisis Gusti Moeng secara eksternal berusaha kuat untuk mengajak warga peradaban secara luas ikut menyelamatkan, karena aset warisan peradaban baik yang “tangable” maupun yang “intangable” masih berada di lingkungan kehidupan warga peradaban. Dan secara internal, Gusti Moeng berusaha memegang kendali otoritas di kraton, yang di satu sisi benar-benar manjaga jalannya paugeran adat tegak lurus, dan di sisi lain tak akan memberi kesempatan kepada figur-figur yang sudah terbukti punya perilaku dan cara berfikir yang pragmatis dan “mana hadap” untuk ikut memegang kendali.
Peristiwa kraton ditutup lebih 5 tahun setelah ada insiden “mirip operasi militer” di tahun 2017, telah memisahkan secara jelas di seberang mana orang-orang yang punya keasadaran dan kepedulian yang baik terhadap penegakan paugeran adat dan upaya menjaga kelangsungan kraton serta melestarikan budaya Jawa, bergabung di bawah kepemimpinan Gusti Moeng. Kemudian, di seberang yang lain tempat berkumpulnya orang-orang yang selalu berfikir dan bersikap “pragmatis” dan mudah bertindak “mana hadap”, walaupun selalu dikesankan “didukung” atau “sejalan dengan kebijakan penguasa”.
Orang-orang yang selama ini selalu berfikir dan bersikap “pragmatis” terhadap keberadaan Kraton Mataram Surakarta, telah banyak terbukti dengan lepasnya kompleks ndalem Suryahamijayan dan ndalem Ngabehan serta rusaknya tata-ruang Baluwarti sebagai daya dukung kraton yang notabene sumber budaya Jawa dan tapak sejarah peradaban bangsa Indonesia. Karena cara berfikir dan sikap perilaku pragmatis, hingga kini wajah kraton tak berangusr-angsur tampak semakin berwibawa, punya harkat dan martabat, tetapi sebaliknya, semakin berangsur-angsur “compang-camping” karena dikelola dengan cara-cara menyimpang, “melacurkan diri”.
Berbagai kerusakan yang terjadi dan semakin berkurangnya aset kelengkapan jejak sejarah peradaban Kraton Mataram Surakarta, juga akibat perilaku dan perbuatan “orang-orang seberang” terkesan “asal dapat” dengan “menendang mana hadap” (ke segala arah-Red), tak peduli sebenarnya milik dinasti, tak peduli itu barang peninggalan sejarah, tak peduli sebenarnya untuk kemaslahatan semua masyarakat adat dan lebih luas lagi. Yang memprihatinkan, penguasa justru terkesan memberi dukungan dan kesempatan bersinergi dengan label propaganda “pelestarian budaya”, seperti rancangan ritual “Malem Selikuran” yang akan digelar di Taman Sriwedari, padahal jejak sejarah Mataram itu sudah “dirusak” melalui kasus sengketa panjang sejak 1970-an. (Won Poerwono-bersambung/l1)