Mencengkeram Kuat “Kemudi” Paugeran Adat, Agar tak Berbelok-belok
IMNEWS.ID – PROFIL “Srikandi Mataram” yang sangat “mbangun miturut” kepada pesan dan nasihat orang-tua dan para leluhur Dinasti Mataram, sudah banyak dibuktikan Gusti Moeng dalam perbuatan nyata langsung atau tidak langsung, dalam kurun waktu yang panjang hingga kini sudah melewati usia 60 tahun. Sebutan “Putri Mbalela” adalah jejuluk yang memiliki nilai jual tinggi karena banyak mengandung unsur “sensasi” di ranah publikasi dan komunikasi, yang kadang-kadang melebihi dari konotasi riilnya sebagai figur yang “mbangun miturut” dan semakin memperlihatkan sikap mulianya untuk selalu “Mikul dhuwur, mendhem jero” terhadap semua yang dianggap “pepundhennya”.
Memang benar kalau “Putri Mbalela” itu sebenarnya sosok figur “pinilih” sekaligus “pinunjul”, karena faktanya di antara 35 putra/putri Sinuhun PB XII hanya dialah yang tampil memperlihatkan kepribadian kebersahajaannya, yang secara secara natural menjalankan banyak hal dan sudah terbukti “tidak bisa” dilakukan 34 putra/putri lainnya. Gusti Moeng memang bukan Sinuhun, tetapi popularitas kehormatan dan kemuliaannya di berbagai kesempatan dan media jauh melebihi seorang Sinuhun PB XIII, apalagi putra/putri yang lain.
Meski punya popularitas yang luar biasa dan kesempatan yang terbuka lebar, tetapi tabu bagi Gusti Moeng untuk mengambil porsi “tahta Sinuhun”, karena dirinya justru sedang memperjuangkan sistem tata-nilai paugeran adat yang sudah digariskan para pendiri dinasti, yaitu hanya ada kalimat “seorang imam adalah lelaki”. Itu berarti, seorang Sinuhun atau pemimpin Dinasti Mataram di kraton manapun termasuk “Kadipaten” anggota “Catur Sagatra” adalah seorang lelaki. Dalil-dalil yang merupakan bagian dari konstitusi Dinasti Mataram seperti itulah yang sejatinya, selama ini diupayakan untuk selalu “dicengkeram kuat”, agar jalannya Kraton Mataram Surakarta dan paugeran adat yang menjadi dasar pedomannya, tidak “berbelok-belok”.
Kalimat terakhir itu jelas mengindikasikan bahwa perjalanan Kraton Mataram Surakarta agar bisa berumur panjang sampai akhir zaman, dan syarat utamanya adalah sistem tata-nilai paugeran adat harus benar-benar dijalankan dengan penuh tanggungjawab, kesetiaan, pengorbanan dan semangat selalu berusaha merawat peradaban. Dalam kerangka seperti itulah, langsung atau tidak langsung telah menampilkan Gusti Moeng sebagai pemimpin yang kuat, yang ternyata seperti mengulang kelangkaan wanita pemimpin yang terjadi di masa lalu, yaitu Putri Shima (Kalingga-abad 8), Tri Buwana Tunggadewi (Majapahit-abad 13-14), Ratu Kalinyamat (zaman Demak abad 14-15) dan sepanjang zaman Mataram baru muncul “Srikandi Mataram” dari salah satu putra/putri Sinuhun PB XII (1945-2004).
Dalam kerangka memegang erat “kemudi” paugeran adat itu, menjadi tekad Gusti Moeng untuk berusaha “mbangun miturut” pada ayahanda Sinuhun PB XII yang di akhir hayatnya selalu menyebut berulang-ulang, bahwa “…Sanadyan Kraton (Mataram) Surakarta mung kari sakmegroking payung, kudu dijaga lan diurip-urip, amarga isih eneng manfaate kanggo bebrayan agung…”. Pesan ini dalam satu tafsir makna, menunjukkan upaya Sinuhun PB XII untuk memperpanjang usia Kraton Mataram Surakarta yang pernah “diwiradhati” pendahulunya, yaitu Sinuhun PB X (1893-1939), karena saat hendak didirikan, (waktu itu-tahun 1745) sudah ada pernyataan “panjangka” atau perkiraan yang futuristik yang menyebut bahwa Kraton Mataram Surakarta hanya “akan” berumur 200 tahun.
Karena ternyata Sinuhun PB XI (1939-1945) mampu membawa Kraton Mataram Surakarta sampai ambang NKRI lahir, kemudian disambung Sinuhun PB XII mampu mengantar kraton memasuki era republik hingga tahun 2004, maka Gusti Moeng dan orang-orang yang peduli terhadap nasib kraton yang selama ini pendukungnya, merasa sadar punya tugas dan tanggungjawab mencari “wiradhat” atau cara untuk memperpanjang usia kraton. Di sinilah, “Srikandi Mataram” itu benar-benar mencermati kemudi paugeran adat dan jalannya pelaksanaan konstitusi itu di kraton, apalagi kini semakin banyak masyarakat adat dari jalur Pakasa yang juga semakin total melegitimasi kepemimpinnya dalam menegakkan paugeran adat, menjaga kelangsungan kraton dan melestarikan budaya Jawa yang bersumber dari kraton.
Karena, “wiradhat” yang dibutuhkan untuk memperpanjang usia kraton banyak cara dan sudah terbukti bisa dilakukan Sinuhun PB X, XI dan XII, maka persoalan mencengekeram kuat kemudi paugeran adat adalah titik utama kosentrasi “Srikandi Mataram” untuk semakin memperpanjang usia kraton. Berbagai macam cara sudah banyak dilakukan dan banyak pula mendatangkan hasil yang meyakinkan, sebagai jaminan kelangsungan Kraton Mataram Surakarta dalam waktu yang panjang. Meskipun, ada juga kegagalan dialami karena jalur politik yang ditempuh ternyata “menyesatkan” dan sepanjang bersentuhan dengan urusan politik, jalan upaya memperpanjang usia itu pasti tidak akan lancar atau malah bisa bikin “celaka” kraton.
Perihal pegang kemudi paugeran adat kuat-kuat, memang sangat diperlukan di saat-saat ini setelah satu tahap bisa kembali masuk kraton terwujud melalui “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton”, 12 Desember 2022. Kemudi paugeran adat juga tetap diperhatikan, karena setelah peristiwa 12 Desember 2022, disusul peristiwa “perdamaian” tanggal 3 Januari 2023 antara Sinuhun PB XII dengan Gusti Moeng. Jalan yang harus dilalui dalam proses perdamaian berikutnya, mengandung konsekuensi akan ada pihak-pihak yang tersingkir karena ada unsur “punishment” dalam proses “rekonsiliasi total” yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda organ “bebadan Kabinet 2004” setelah direstrukturisasi.
Setelah kemudi paugeran adat bisa dikuasai dengan baik, memang butuh kecermatan untuk melihat jalur “track” yang akan dilalui dalam rangka menjaga kelangsungan kraton dan melestarikan budaya Jawa, dan yang lebih berat lagi adalah mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat kraton (iMNews.id, 7/4). Dan satu hal lagi yang merupakan amanat Sinuhun PB XII agar diwujudkan Gusti Moeng, adalah upaya menagih kepada pemerintah RI agar mengembalikan status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta yang pernah “dititipkan” melalui Penetapan Pemerintah (PP) No 16/SD Tahun 1946.
Amanat itu sudah dicoba dengan judicial review atau uji materi UU No 10 Tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Jateng di Mahklamah Konstitusi (MK) RI yang dilakukan Gusti Moeng selaku Pengageng sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat dan Lembaga Hukum Kraton Surakarta (LHKS) di tahun 2012. Sayang, upaya hukum untuk memisahkan Surakarta dari Provinsi Jateng itu gagal di tengah jalan, karena permohonannya ditolak majlis hakim MK RI, waktu itu, dengan alasan para pemohonnya antara lain GKR Retno Dumilah (almh) dan GKR Ayu Koes Indriyah dianggap tidak punya legal standing yang tepat. (Won Poerwono-bersambung/i1)