Upacara Adat Tingalan Jumenengan, dari Berbagai Aspek dan Beberapa Sinyal Simbolik (seri 4 – habis)

  • Post author:
  • Post published:February 24, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
Abdidalem Bedaya
ABDIDALEM BEDAYA : Mencermati proses masuknya abdidalem bedaya ke ruang tengah Pendapa Sasana Sewaka saat tarian sakral Bedaya Ketawang hendak disajikan pada ritual tingalan jumenengan, jelas sekali melukiskan bahwa Kraton Mataram Surakarta punya sistem tata-nilai paugeran adat yang harus dipatuhi semua warga dinasti itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Proses “Perdamaian” dan Penegakan Disiplin Terasa Berat

IMNEWS.ID – ASPEK “perdamaian” yang berkelanjutan atau proses yang berjalan di tingkat bawah serta penegakan disiplin menjaga sistem tata-nilai paugeran adat, merupakan dua hal menonjol yang bisa dicermati pada peristiwa berlangsungnya upacara adat tingalan jumenengan ke-19 Sinuhun PB XIII, Kamis 17 Februari lalu (iMNews.id, 17/s/2023). Momentum pertemuan semua kerabat keluarga besar masyarakat adat Mataram Surakarta pada ritual ulang tahun tahta “raja” itu, kelihatannya sangat berat bisa mewujudkan hasil yang baik untuk kedua hal itu.

Beberapa aspek lain seperti berlangsungnya pisowanan agung yang dilegitimasi oleh seribuan orang yang sebagian besar warga masyarakat adat terutama Pakasa cabang dari berbagai daerah, sudah bisa dicapai, karena kalangan pengurus Pakasa cabang serta warganya justru sangat antusias untuk bisa sowan, tetapi dihadang oleh banyak keterbatasan dan berbagai sebab. Aspek kelancaran jalannya upacara adat itu, juga bisa menjadi bukti sebagai hasil “perdamaian” yang sudah dicapai antara Sinuhun PB XIII dengan adik kandungnya, GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng (iMNews.id, 3/1/2023).

TAK BOLEH BERHENTI : Saat tarian sakral bedaya Ketawang disajikan dalam ritual tingalan jumenengan, apapun yang mengganggu tak boleh menghentikan persembahannya. Termasuk jika ada insiden kancing “kemben” lepas, abdidalem bedaya sudah sigap mereparasi mirip layanan “drive thru”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Aspek berikutnya yang bisa disebut berjalan lancar, adalah aspek mengembalikan marwah tari Bedaya Ketawang pada supremasinya sebagai tarian sakral yang menjadi simbol eksistensi Mataram Surakarta dan simbol eksistensi lembaga Sinuhun Paku Buwana yang jumeneng nata. Dalam aspek ini, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus pimpinan Sanggar Pawiyatan Beksa bisa mewujudkan proses perjalanan mekanisme prosedur menampilkan tarian sakral itu dengan tepat dan benar sesuai sistem tata-nilai paugeran adat, serta sukses.

Aspek lain yang bisa dicapai melalui momentum “tingalan jumenengan perdamaian” itu, adalah simbol-simbol isyarat pengakuan dari pihak pemerintah terhadap “perdamaian” yang dicapai, misalnya melalui kehadiran Wakil Wali Kota Teguh Prakosa, sejumlah pejabat sipil, lingkungan TNI dan Polri. Wali Kota Gibran bisa menjadi representasi pemerintah telah mengakui “perdamaian” atau rukunnya kembali “dua pihak”, tetapi memilih mengikuti “kirab gagal agung” yang sebagian besar hanya didukung orang-orang di pihak Sinuhun PB XIII.

SIMBOL SUKSES : Tersajinya tarian sakral Bedaya Ketawang yang disaksikan para abdidalem Pakasa cabang dari berbagai daerah yang sowan, seakan menjadi satu-kesatuan legitimasi yang menjadi simbol sukses “tingalan jumenengan perdamaian” yang digelar Kraton Mataram Surakarta, 16 februari. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Masih banyak aspek keberhasilan “tingalan jumenengan perdamaian” itum ketika Bebadan yang terbentuk dalam “Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng bekerja dan didukung oleh segenap elemen Kraton Mataram Surakarta yang diinisiasi Lembaga Dewan Adat (LDA). Namun, dari sejumlah keberhasilan itu, dua aspek di atas masih terasa menonjol karena awal proses “perdamaian” di tingkat menengah ke bawah dan upaya penegakan disiplin untuk mematuhi sistem tata-nilai paugeran adat itu memang berjalan cukup berat.

Tidak hadirnya KGPH Puger di pisowanan tingalan jumenengan, dan juga sebagian besar putra/putri Sinuhun PB XII, bisa dipersepsikan proses “perdamaian” ke arah samping dan ke bawah belum bergerak lancar atauh bahkan “mandeg”. KGPH Puger adalah saudara seibu dengan Gusti Moeng dan Sinuhun PB XIII, pernah bergabung dengan Gusti Moeng mulai alih uksesi 2004, tetapi “memilih jalan sendiri” alias pasif dari kraton dan pasif dari pihak Gusti Moeng sejak 2017.

BASIS LEGITIMASI : Sinuhun PB X mendirikan organisasi Pakasa di tahun 1931, ternyata menjadi basis legitimasi “kawula” (rakyat) terhadap Kraton Mataram Surakarta dan budaya Jawa yang bersumber dari kraton di alam merdeka, modern dan sepanjang zaman. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

KGPH Puger, dalam “Kabinet 2004” menduduki Pengageng Kusuma Wandawa, Pengageng Sasana Pustaka dan Pengageng Museum/Pariwisata dan selalu menjadi petugas yang memimpin pisowanan para sentana dan abdidalem ke tempat upacara tingalan jumenengan. Tetapi karena sampai ritual tingalan jumenengan berlangsung tidak kelihgatan hadir, posisinya digantikan GPH Dipokusumo, satu di antara “Tiga Pengageng” yang pernah mendukung jumenengnya KGPH Tedjowulan sebagai Sinuhun PB XIII di “gedung pertemuan” Sasana Purnomo, Badran, Laweyan, sekitar sebulan sebelum KGPH Hangabehi jumeneng SISKS PB XIII di dalam kraton, Agustus 2004.

Selain KGPH Dipokusumo dan KGPH Benowo, banyak figur putra/putri Sinuhun PB XII yang tidak tampak di momentum “tingalan jumenengan perdamaian” itu, di antaranya GPH Madu Kusumonagoro yang seibu dengan KGPH Puger dan Gusti Moeng. Saudara dari lain ibu yang tidak tampak, misalnya KGPH Puspo Hadikusumo, KGPH Hadi Prabowo, KGPH Tedjowulan, GPH Neno, GPH Jani dan sebagainya, sedangkan saudara perempuan dari lain ibu yang tidak tampak seperti GK Ratu Alit dan adik-adiknya, GRAy Koes Sapardiyah yang pernah bergabung di “Kabinet 2004” serta sejumlah saudaran perempuan lainnya.

SUPREMASI KAWULA : Warga Pakasa yang semakin berkembang pesat dan luas seperti yang sowan saat tingalan jumenengan perdamaian, kamis 16/2,  menunjukkan supremasi zaman Mataram Surakarta di alam merdeka, kini dan sepanjang masa ada pada para “kawula” atau masyarakat adat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Aspek penegakan sistem tata-nilai paugeran adat, memang sudah kelihatan hasilnya ketika dicoba dilakukan melalui momentum “tingalan jumenengan perdamaian” itu. Contohnya, selain proses persiapan sajian tari bedaya Ketawang yang dikembalikan ke mekanisme prosedur secara adat yang benar oleh Gusti Moeng, penegakan disiplin di sektor para kerabat terutama dari lingkungan Pakasa dan non-Pakasa, juga sudah dicoba dilakukan. Hasilnya sudah kelihatan, walau Ketua Pakasa Cabang Trenggalek KRAT Seviola Ananda masih melihat banyak yang tidak patuh.

“Intinya, busana kebesaran abdidalem di Kraton Surakarta itu serba hitam. Beskapnya atela yang dikenakan saat pisowanan besar, Garebeg Mulud, Garebeg Syawal dan Garebeg Besar. Mulai dari pangkat Lurah (ML) sampai Bupati Sepuh (KRT). Kerisnya jenis Ladrang, blangkonnya, cekok mondhol, pakai kuncung. Sampai pangkat KRAT-pun, hampir semuanya sama. Bedanya, boleh pakai sikepan alit, yang tengahnya kelihatan putih itu. Jadi, pisowanan di kraton umumnya upacara adat. Maka, yang sowan harus menyesuaikan aturan adat,” tandas dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Surakarta, KP Budayaningrat, yang juga anggota Dewan Pakar sejumlah organisasi “Pambiwara” tingkat regional dan nasional, yang dihubungi iMNews.id, secara terpisah. (Won Poerwono-habis/i1)