Kini Sudah Terwujud 280 Tahun, Potensi “Rongrongan” Terus Muncul Silih-Berganti
IMNEWS.ID – SELASA Wage 22 Bakdamulud Tahun Dal 1959 yang tepat tanggal 14 Oktober 2025 lalu itu, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku pimpinan Bebadan Kabinet 2004 menggelar ritual khol ke-18 wafat SISKS (Sinuhun) PB XII. Upacara spiritual religi yang digelar di “gedhong” Sasana Handrawina itu tampak biasa saja seperti khol-khol sebelumnya, berisi donga wilujengan, dzikir, tahlil dan shalawat Sultanagungan.
Hal lain yang juga terkesan biasa, tampak dari berbagai elemen masyarakat yang hadir mulai dari keluarga inti “raja” yang diwakili KGPH Hangabehi, unsur putra/putri Sinuhun PB XII yang “diwakili” Gusti Moeng, Gusti Puger (KGPH Puger) dan Gusti Ayu (GKR Ayu Koes Indriyah) dan unsur wayah-dalem ada KRMH Suryo Manikmoyo dan KRMH Suryo Kusumo Wibowo. KGPH Hangabehi juga bisa disebut mewakili “wayah-dalem”.

Kemudian, selain para kerabat sentana dan jajaran pejabat Bebadan Kabinet 2004, juga ada beberapa elemen masyarakat adat seperti dari unsur Pasipamarta, representasi Sanggar Pasinaon Pambiwara, Sanggar Paes Tata-Busana Pengantin Jawa gagrag Surakarta, elemen Putri Narpa Wandawa dan perwakilan elemen Pakasa dari beberapa cabang. Di situ, KPH Edy Wirabhumi juga menerima tamu Wali Kota Salatiga beserta istri.
Tahapan tatacara upacaranya juga biasa sekali, karena acara tunggal ritual khol yang dipimpin abdid-alem juru-suranata RT Irawan Pujodipuro seperti lazimnya menyajikan donga wilujengan dan pelengkap bakunya. Tetapi, “sesorah” atau sambutan tunggal yang disampaikan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat), yang membuat ritual itu sangat berbeda dari kebiasaan upacara adat rutin di kraton.
Melalui kesempatan “sesorah” di sambutan tunggal itu, Gusti Moeng mengungkap beberapa hal yang menjadi aset kearifan lokal, Budaya Jawa dan sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta. Walau singkat, riwayat semua hal yang disinggung memiliki arah tujuan yang kuat, sebagai sinyal bagi masyarakat adat dan publik secara luas, ke depan. Secara keseluruhan, sinyal itu adalah semangat perjuangan menjaga eksistensi.
Soal aset kearifan lokal, ditunjukkan Gusti Moeng saat menyebut benda kuno yang menjadi “topping” kubah menara “Panggung Sangga Buwana”. Benda terbuat dari logam yang membentuk manusia menunggangi naga, sambil membentangkan busur panah, ternyata simbol yang bermakna tahun. Dalam istilah “Sengkala Memet”, simbol secara utuh bisa membentuk kalimat yang berbunyi “Naga Muluk Tinitihan Janma”.

“Sengkala Memet” yang secara umum berarti simbol perhitungan waktu secara kiasan dari kalimat “Naga Muluk Tinitihan Janma”, menunjuk pada angka tahun 1708 menurut kalender Jawa. Sedangkan makna kiasan kalimat “sengkalan” yang terdiri dari kata “Naga”, artinya ular atau “ula” angka 8. “Muluk” berarti terbang mengudara angka 0, “Tinitihan” artinya ditunggangi angka 7 dan “Janma” maknanya manusia angka 1.
Gusti Moeng menunjuk “sengkalan” dari angka tahun itu dalam kalimat yang bermakna konotasi futuristik, yaitu 200-an tahun setelah Kraton Mataram Islam berada di Ibu Kota Surakarta akan terjadi sesuatu. Sinuhun PB III (1749-1788) yang membangun Panggung Sangga Buwana dengan “topping” “Naga Muluk Tinitihan Janma” itu, melihat jauh ke depan (200 tahun kemudian) yaitu di tahun 1945 telah terjadi “sesuatu”.

“Sesuatu” itu adalah berubahnya “negara” Mataram Islam Surakarta bersama kraton-kraton di Nusantara, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1945. Waktu 200 tahun yang dibaca Sinuhun PB III, adalah saat “nagari” Mataram Islam Surakarta berdiri 17 Sura tahun Je 1760 atau 20 Februari 1745. Dan ayahandanya, Sinuhun PB II (1727-1749) yang memindahkan Ibu Kota dari Kartasura ke Surakarta.
Waktu 200 tahun yang kali pertama muncul, adalah angka waktu yang disebut tim peneliti yang di antaranya ada unsur Pujangga-dalem yang diutus Sinuhun PB II, untuk mencari lokasi calon Ibu Kota “nagari” Mataram Islam pengganti Kartasura. Di antara tiga lokasi yaitu kawasan Kelurahan Panularan (kini), Mojolaban dan Desa Sala, dan pilihan jatuh pada Desa Sala karena “usianya” diprediksi paling panjang, yaitu 200 tahun.
Apa yang diungkapkan Gusti Moeng mengenai waktu 200 tahun dan “wiradat” yang dilakukan Sinuhun PB X serta upaya (wiradat) yang dilakukan setelah 1945 termasuk Bebadan kabinet 2004, mirip penjelasan RT Warno Setiadi (pemandu wisata/pamong sanggar) dan dibenarkan KP Budayaningrat (“dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara). RT Warno Setiadi selalu menjelaskan soal itu saat memandu para wisatawan di kraton.
“Panggung Sangga Buwana itu juga simbol dari gender lelaki yang di ajaran agama Hindu disebut ‘Lingga’. Karena hampir semua struktur bangunan inti di Kraton Mataram Surakarta ini adalah melukiskan ‘tuntunan ing agesang’, maka juga ada simbol gender perempuan yang di agama Hindu disebut ‘Yoni’. Di kraton, simbol gender wanita adalah Kori Srimanganti,” ujar RT Warno Setiadi menjawab pertanyaan iMNews.id.

Pengetahuan mengenai makna filosofi Panggung Sangga Buwana dan beberapa bangunan lain yang didapat RT Warno Setiadi dari Sanggar Pasinaon Pambiwara juga menyebutkan, bahwa menara setinggi 30 meter itu punya makna yang disebut “tuntunan ing agesang”. Karena angka 30 meter adalah simbol isi 30 juz isi Alqur’an, 5 lantai menara itu melukiskan rukun Islam dan lantai ke-6 di bawah tutup saji artinya “rukun iman”.
“Benda yang di atas ‘tutup saji’ (topping) itu, sekilas merupakan alat penangkal petir karena terbuat logam, seperti yang disebut Gusti Moeng kemarin (iMNews.id, 15/10). Tetapi sebenarnya sekaligus sebagai simbol Sengkala Memet. Masih banyak lagi makna filosofi yang bisa dijelaskan dari Pa-Agung Sinangga Buwana (Panggung Sangga Buwana),” ujar RT Warno Setiadi, abdi-dalem setia di Sanggar Pasinaon Pambiwara.

Karena demikian penting posisi menara Panggung Sangga Buwana baik secara mandiri maupun sebagai bagian dari semua struktur bangunan di kraton, maka wajar kalau Gusti Moeng sebagai pimpinan Bebadan Kabinet 2004 berjuang mencari cara untuk menyelamatkan simbol khas ikonik Kraton Mataram Surakarta itu. Kini, bangunan direnovasi atas kepedulian pihak dari luar kraton, akhir November ini diharapkan bisa selesai.
Renovasi itu adalah kali kedua dirasakan Panggung Sangga Buwana, sejak Sinuhun PB XII menyatakan bahwa Kraton Mataram Surakarta mendukung Kemerdekaan RI, bahkan sudah 80 tahun menjadi bagian republik ini. Gusti Moeng berharap, pekerjaan renovasi yang diperkirakan selesai akhir November bisa terwujud. Karena, sudah menunggu bangunan Museum Art Gallery kraton yang kurang layak dan perlu direnovasi. (Won Poerwono-bersambung/i1)




