Kekacauan di Kraton Sejak 2004, adalah “Gerakan Pengkhianatan” Paugeran Adat
IMNEWS.ID – PERISTIWA suksesi alih kepemimpinan tahun 2004, benar-benar menyadarkan kepada sedikit orang saja khususnya GKR Wandansari Koes Moertiyah dan para tokoh sesepuh yang masih memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga tetap tegaknya konstitusi Dinas Mataram sistem tata-nilai paugeran adat. Sementara, sebagian besar masyarakat adat lainnya bisa diperkirakan masih ada yang sadar dan bersimpati tetapi diam, tetapi ada yang tidak paham atau paham namun sudah tidak peduli dengan adanya sistem tata nilai paugeran adat.
Mereka mengira, di alam zaman republik yang “demokratis” adalah zaman kebebasan setiap individu yang sudah tidak butuh sistem tata-nilai adat atau apapun yang menghalanginya untuk berekspresi. Warga peradaban yang terlalu cepat menyimpulkan atau keliru memaknai kebebasan, akan merasa terhalang atau dihambat apabila hak-haknya berekspresi dihalang-halangi oleh apapun/siapapun. Cara pandang dan sikap demikian, agaknya juga dimiliki sebagian warga peradaban di dalam masyarakat adat, sehingga memberanikan diri “jumeneng nata” sebagai Sinuhun PB XIII di luar kraton, meskipun masih ada faktor lain yang ikut mendorongnya mewujudkan niatnya.
Proses pernyataan sikap dan perilaku seperti itu, ternyata tidak bisa ditoleransi oleh kalangan masyarakat adat Dinasti Mataram yang sudah memiliki garis aturan secara konstitusional yaitu sistem nilai paugeran adat, yang dijaga dan dijalankan sampai beratur-ratus tahun walau tidak ada wujud tulisannya (tidak tertulis) secara lengkap, urut dan sistematis sebagaimana sistem tata nilai produk modern. Pada posisi menjaga tegaknya sistem tata nilai aturan adat, dan berupaya mengontrol serta mengawasi pelaksanaannya dalam perjalanan kehidupan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta itulah, figur sosok tokoh Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat menempatkan diri berdiri.
Seiring waktu berjalan kemudian, banyak pula masyarakat adat yang tadinya paham tetapi diam, kemudian menentukan pilihan mengikuti jejak dan mendukung langkah “Putri Mbalela” yang lebih tepat disebut “Srikandi Mataram”. Tetapi, dalam konteks perjalanan Kraton Mataram Surakarta selepas KGPH Hangabehi jumenang nata sebagai Sinuhun PB XIII (bukan PB XII, iMNews.id-6/4-Red) di tahun 2004, pelanggaran sistem tata-nilai paugeran adat yang dilakukan Sinuhun PB XIII bersama para pendukung “Sinuhun PB XIII Sasana Purnomo” yaitu figur Pengageng Parentah Kraton, Pengageng Kasentanan dan figur Pengageng Keputren, itu berarti selesai atau “dianggap selesai”.
Akhir perjalanan urusan kasusnya tidak sesederhana seperti itu. Persoalan pelanggaran yang lebih disebut “pengkianatan” terhadap sistem tata-nilai paugeran adat itu, bahkan kembali muncul melalui berbagai wujud peristiwa. Mulai dari upaya pendudukan secara fisik dengan maksud untuk merebut tahta pada tahun 2009, hingga terwujudnya forum rekonsiliasi yang digelar Wali Kota Surakarta Jokowi dan Wawali FX Hadi Rudyatmo di tahun 2010, untuk memenuhi perintah dari Presiden SBY. Rekonsiliasi itu berakhir gagal-total, “kacau-balau” dan malah muncul ungkapan tidak sedap dari seorang FX Hadi Rudyatmo, yaitu kalimat yang logikanya jungkir-balik karena bernada “mengusir” Gusti Moeng untuk pindah KTP atau pindah warga, meningggalkan Kota Surakarta “selamanya”.
Gagal pelaksanaan rekonsiliasi, situasi dan kondisi hubungan antara “Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng sebagai Pengageng Sasana Wilapa di satu sisi dan Sinuhun PB XIII dan keluarga kecil plus “para petualang” dari luar kraton sama-sama berjalan di jalurnya secara terpisah. Garis pemisahnya semakin jelas antara para Bebadan “Kabinet 2004” yang terus berusaha menegakkan sistem tata-nilai paugeran adat dengan Siuhun PB XIII yang dianalogikan sebagai “simbol gerakan pengkianatan” terhadap sistem tata-nilai paugeran adat.
Analogi itu memperlihatkan terjadinya peristiwa di gedung DPR RI Jakarta yang dipublikasikan berbagai media, di situ tampak Ketua DPR RI Marzuki Ali bersalaman dengan Sinuhun PB XIII dan KGPH Tedjowulan, bahkan sempat memberi statemen bahwa DPR RI dan pemerintah sangat mendukung telah terjadi rekonsiliasi anatar dua kubu yang pro dan kontra Sinuhun PB XIII atau perseteruan di antara putra/putri Sinuhun PB XII. Dari situ juga terdengar sayup-sayup ada uluran tangan seorang kerabat yang sejak peristiwa suksesi 2004 menjadi “cukong” yang membiayai penobatan “raja” di Sasana Purnomo.
Munculnya peristiwa itu, seakan membuat barisan Bebadan “Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng menciut, dan jalannya aktivitas manajerial di Kraton Mataram Surakartapun terkesan oleng, yang bisa dilihat dari upacara adat “tingalan jumenengan” yang tidak dihadiri Sinuhun PB XIII meski tetap syah secara adat dengan jumenengnya tarian sakral “Bedaya Ketawang”. Ketidakhadiran Sinuhun PB XIII itu memang karena banyak alasan, tetapi salah satunya adalah sebagai pernyataan sikapnya yang ingin meminta seluruh dana hibah dari Pemprov mencadi urusannya, bukan urusan Pengageng Sasana Wilapa.
Ketika menyimak satu masalah itu, memang bukan sekadar persoalan sistem tata-nilai paugeran adat yang menjadi masalah atau dilanggar, melainkan ada akumulasi kekuatan berdasar “kepentingan” yang bergabung antara “mantan” Sinuhun PB XIII Sasana Purnomo beserta tiga pengageng yang mendukungnya, ditambah beberapa tokoh putradalem yang sebelumnya pasif, baik dari barisan Bebadan “Kabinet 2004” maupun pihak di luar kabinet itu seperti GPH Benowo, GPH Madu Kusumonagoro, GPH Puspo Hadikusumo, GPH Neno, GPH Djani, GRAy Koes Sapardiyah dan sejumlah tokoh wanita di luar “Enam Pendekar Penjaga Adat”.
Friksi dalam waktu yang panjang dengan berbagai peristiwa yang muncul silih-berganti sejak 2004 itu, memang sangat berat untuk dihadapi barisan Bebadan “Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng, hingga terkesan banyak pekerjaan di luar kraton agak terkesampingkan, semisal safari “nyadran Tour de Makam” dan pembinaan Pakasa cabang. Namun ternyata, ada banyak peristiwa yang bisa diselesaikan melalui jalur hukum positif yang hasilnya lebih memiliki kepastian hukum, meskipun banyak pula yang tidak diproses lembaga Polri karena alasan “masuk ranah urusan keluarga”. (Won Poerwono-bersambung/i1)