Tak Direncanakan, Tetapi “Seperti Dituntun” Ziarahi Sunan Ampel
IMNEWS.ID – KEHADIRAN seorang tokoh dari trah keturunan “Sunan ing Ngampel (Ampel) Dhenta” atau Sunan Ampel (Surabaya) bernama Abu Bakar bin R Ubaidilah di acara khataman yang dirangkai dengan kegiatan ibadah di bulan Pasa atau Ramadhan, Kamis (30/3), punya banyak makna. Salah satunya adalah hasil positif dari kepedulian yang selama lima tahun lebih sejak 2017 terlahir dalam kegiatan dalam rangka “Mikul dhuwur, mendhem jero” yang sangat proaktif, bahkan bisa dikatakan masif dilakukan GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) dengan “full power”.
Karena begitu tinggi kesadaran Pengageng Sasana Wilapa yang yang akrab disapa Gusti Moeng dalam memahami jasa-jasa para leluhur peradaban, maka tidak aneh apabila ungkapan terimakasih dalam bentuk ziarah, “Nyadran”, “nyekar”, “Caos Bhekti Tahlil” dan berbagai ungkapan rasa bersyukur kepada Allh SWT yang telah menggerakkannya untuk melakukan semua itu. Dan dari situ bisa dipahami ada hal-hal yang bisa disebut dalam terminologi “dikabulkan doanya” sedikit demi sedikit tampak, antara lain kedatangan salah seorang dari trah keturunan Sunan Ampel, satu di antara sembilan tokoh Wali Sanga.
“Dalam catatan sejarah, perjalanan Mataram Islam memang tidak bisa lepas dari peran para Wali Sanga. Tetapi sebelumnya kami tidak menemukan bagaimana rantai urutannya peran para Wali Sanga terhadap Mataram. Tetapi apa yang tidak pernah kami duga, sepertinya ada yang menuntun untuk membuka semua yang tadinya tertutup. Awalnya Gusti Timoer saya tugasi nyadran ke Pamekasan, Madura itu. Saya berpesan, pulangnya mampir ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Karena sebelumnya saya pernah lewat di depan Masjid dan makam Sunan Ampel (di Kelurahan Ampel, Kecamatan Semampir), kebetulan lalu-lintasnya macet di situ”.
“Tadinya hanya melihat, tetapi seperti diingatkan agar melihat ke sana (menziarahi-Red). Mungkin karena sudah dekat bulan Ruwah. Di luar dugaan, ternyata takmir masjid setempat sudah dipesan oleh ustadz Habib Luthfi dari Pekalongan, bahwa sebentar lagi akan datang rombongan dari Kraton Surakarta ziarah ke sini. Jadi benar, saat Gusti Timoer dari Madura langsung menuju makam Sunan Ampel, begitu menjelaskan rombongan yang akan nyadran dari Kraton Surakarta, pengurus makam dan masjid itu langsung mengantar ke makam. Pengurus makam mengaku sudah diberitahu ustadz Habib Luthfi. Gimana coba…? Aneh kan…?,” ketus Gusti Moeng saat dihubungi iMNews.id, kemarin.
Saat berbincang-bincang santai dengan peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi di teras Nguntarasana, Jumat siang, Gusti Moeng menyinggung lagi keanehan itu, mengingat sebelum datang bulan Ruwah, dirinya tidak pernah bertemu ustadz Habib Luthfi atau berkomunikasi lewat telepon membahas soal rencana “nyadran” ke makam Sunan Ampel karena agenda sudah disusun selama sebulan dan tidak ada rencana ke makam Sunan Ampel. Sementara itu, Gusti Timoer (GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani) yang dihubungi terpisah menceritakan, rombongan “nyadran” yang dipimpinnya semula ditolak masuk ke makam Sunan Ampel, Minggu siang (19/3) itu.
“Tetapi, ketika saya mengatakan rombongan dari kraton dan mendapat tugas dari Gusti Moeng, ada pengurus masjid dan makam yang mendengar penjelasan saya, langsung mempersilakan membukakan pintu makam dan mempersilakan kami semua masuk. Di antara para pengurus makam itu menyatakan, bahwa dirinya sudah diberitau ustadz habib Luthfi bahwa akan ada rombongan dari Kraton Surakarta ziarah ke sini. Kami malah langsung diantar masuk ke pusara makam. Ada yang memimpin doa saat kami semua berdoa di pusara Sunan Ampel. Kami sangat berterima kasih bisa ‘nyadran’ langsung di pusara Sunan Ampel. Padahal, para peziarah lain hanya boleh berdoa dari luar pagar,” jelas Gusti Timoer.
Apa yang dituturkan Gusti Moeng dan juga Gusti Timoer, tentu merupakan bagian dari jawaban Allah SWT karena masih ada generasi keturunan “tokoh-tokoh terpilih” yang masih sadar, peduli dan sangat memahami jasa-jasa para leluhur Dinasti Mataram, hingga selalu berupaya melakukan sesuatu dalam berbagai ekspresi untuk “mengingat”, “membalas” dan “memelihara” jasa-jasa para leluhurnya. Salah satu daya dukung untuk melakukan proses “berbhakti” itu, adalah perlunya banyak menyimak berbagai sinyal yang ditinggalkan para leluhur, di antaranya yang berupa dokumen manuskrip yang selama ini “dikesampingkan” para peneliti dan penulis sejarah dari luar negeri dan salah dipahami para peneliti dan penulis sejarah di dalam negeri.
Karena, ketokohan Sunan Ampel ternyata bisa dilacak abdidalem “Kanca Kaji” dari IAIN Ponorogo (Jatim) KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I yang juga peneliti sejarah Islam di Jawa, khususnya sejarah Kraton Mataram Islam. Kaitan sejarah ketokohan Sunan Ampel dengan Kraton Mataram Surakarta, didapat dari karya penulisan seorang Pujangga Surakarta, yaitu Ki Padmasusastra yang berjudul “Sejarah Dalem Pangiwa lan Panengen, 1902”. Catatan yang melukiskan susunan jalur keturunan atau silsilah itu, disebutkan dari “jalur Kudus” yang bisa disebut satu sisi “Pangiwa” (ke arah kiri-Red) yang dimulai dari nama Sunan Ampel dalam kapasitas Sunan Katib ing Ngampel Dhenta.
Sunan Ampel disebutkan punya anak perempuan bernama Ratu Patimah yang juga bergelar Nyai Ageng Manyura yang diperistri Sunan Kudus dan melahirkan anak bernama Panembahan Kali atau Panembahan Pancawati/Kudus yang menurunkan Panembahan Demang Sumare Kediri. Kemudian menurunkan Panembahan Rajungan, dan tokoh ini menurunkan Pangeran Sarengat atau Pangeran Kudus dan menurunkan Mas Jawi atau Raden Adipati Sumadipura di Pati. Dia menurunkan Raden Bagus Yata atau raden Adipati Tirtakusuma di Kudus, lalu menurunkan Kanjeng Ratu Kencana atau Kanjeng Ratu Ageng yang diperistri Sinuhun Amangkurat IV (Jawi). Dari sini menurunkan Sinuhun Paku Buwana (PB II) yang memperistri Kanjeng Ratu Mas anak RAy Pandansari istri Panembahan Purbaya.
Dari “jalur Demak”, Sunan Ampel yang juga disebut Raden Ali Rahmatullah bin Syeikh Ibrahim Asmara menurunkan anak perempuan bernama Dewi Murtasimah yang diperistri Raden Patah, Sultan Kraton Demak. Pasangan itu menurunkan RM Alit atau Pangeran Pamekas yang menurunkan Penambahan Jagaraga. Tokoh ini melahirkan Kyai Ageng Ampuhan yang menurunkan Kyai Ageng Karanglo Taji, yang kemudian lahir Kyai Cucuk Telon dan seterusnya menurunkan Kyai Ageng Cucuk Dhepok. Tokoh ini beranak Kyai Ageng Singawangsa yang seterusnya menurunkan Kyai Kertimancur atau Kyai Sutajaya yang melahirkan Kyai Jagaswara. Tokoh yang juga bernama Kyai Tumenggung Wirareja ini menurunkan Kanjeng Ratu Kencana atau Kanjeng Ratu Beruk sebagai prameswari Sinuhun PB III yang menurunkan Sunan Bagus yang jumeneng Sinuhun PB IV. (Won Poerwono-bersambung/i1)