Pokdarwis Bisa Wujudkan Daya Dukung Baluwarti yang Simbiosis
IMNEWS.ID – BERBAGAI hal yang terungkap dalam sarasehan “Selapanan RW” yang difasilitasi Kraton Mataram Surakarta sebagai tuan rumah karena posisinya di wilayah RW I, Selasa Wage malam (14/3) lalu, salah satu hal yang bisa dimaknai adalah lahirnya kesadaran bersama bahwa masing-masing saling membutuhkan satu-sama lain. Tetapi memang benar beberapa ungkapan yang saling bertemu di Bangsal Smarakata, malam itu, bahwa terbukanya peluang berkomunikasi secara serasi hingga tercipta suasana dialog dan diskusi yang konstruktif, adalah kebutuhan yang paling mendasar untuk sebuah kehidupan yang ideal. Terlebih apabila ada kebutuhan mencari solusi atas segala permasalahan yang terus menumpuk dalam kurun waktu panjang, tetapi tanpa pernah ditemukan cara penyelesaiannya.
Kalau dibedah, dalam sinergitas antara keluarga besar kraton dengan segala sistem kehidupan yang dimilikinya di satu sisi dengan warga Baluwarti yang menjadi bagian daya dukung satu-kesatuan jelas merupakan modal dasar untuk mencukupi kebutuhan kraton dalam fungsi apapun. Kehadiran pamong wilayah sebagai tangan panjang pemerintah dari tingkat kota hingga pusat, juga menjadi bagian dari sinergitas untuk berbagai kebutuhan, di antaranya menjaga kelangsungan kraton dan masyarakat adatnya, modal dasar kebhinekaan, kebutuhan ketahanan budaya nasional dan kebutuhan yang bisa dipetik aspek ekonomi yaitu di bidang kepariwisataan.
Oleh sebab itu, ketika di forum sarasehan itu muncul tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kelurahan Baluwarti, itu berarti bagian penting dari modal dasar dari sisi warga Baluwarti sudah tersedia. Namun, dari penjelasan yang diberikan di forum, memang sangat kelihatan bahwa gugus Pokdarwis sangat perlu pembekalan yang tidak saja cukup, tetapi harus lebih dari Pokdarwis di kelurahan lain di Kota Surakarta ini. Karena, Kelurahan Baluwarti adalah “kelurahan istimewa” yang memiliki aset Kraton Mataram Surakarta yang membuat sangat berbeda dengan kelurahan lain, yang menuntut kecakapan dan kemampuan Pokdarsinya harus lebih dari yang lain.
Apa yang diungkapkan Purnomo selaku Ketua Pokdarwis yang akrab disapa Ipung itu, memang sangat manusia dan realistis, apabila posisi ketua yang dipegangnya di tahun 2019, lalu harus pasif dan vakum bersama kelembagaannya karena mulai 2020 dunia dilanda pandemi Corona. Meski begitu, kesediaan menjadi “relawan” di bidang promo dan pemasaran pariwisata Baluwarti itu harus dilengkapi dengan kapasitas penuh di bidang pemahaman dan penguasaan tentang materi yang akan “dipromosikan” dan “dipasarkan”, mengingat materi itu adalah Kraton Mataram Surakarta dengan segala latarbelakang sejarahnya, ditambah seni-budaya Jawa yang bersumber dari kraton dan selama ini menjadi pemandu kehidupan warga peradaban secara luas.
“Saya dilantik sebagai Ketua Pokdarwis tahun 2019. Belum sempat menjalankan program yang sudah disusun, sudah datang pandemi Corona. Jadi, selama dua tahun lebih kepengurusan pasif dan vakum, tidak berjalan. Selain itu, kami sangat butuh bekal banyak tentang budaya (Jawa) dan kraton, agar bisa menjawab apabila sewaktu-waktu ditanya soal budaya Jawa. Kami sangat butuh untuk bisa dijembatani, agar mendapatkan solusi mengenai apa yang kami butuhkan (untuk menjalankan tugas sebagai Ketua Pokdarwis-Red),” ujar Ipung saat diberi kesempatan untuk berbicara di forum, malam itu.
Setelah semua yang ditawari MNg Suparno (MC) menggunakan kesempatan untuk usul, bertanya dan menyampaikan saran, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa atau representasi otoritas Kraton Mataram Surakarta memberikan jawaban dan penjelasan, bahkan menambah uraian tentang sejarah kraton, struktur bangunan kraton dan budaya Jawa yang diungkapkan secara singkat sebelum sesi tanya-jawab dibuka. Menurut Gusti Moeng, Sanggar Pasinaon Pambiwara adalah jawaban atas kebutuhan atas segala materi yang perlu dipahami dan dikuasai oleh Pokdarwis, agar bisa menunjang kebutuhan tugas-tugasnya.
Menyimak beberapa hal khususnya masalah posisi kraton dan warga Kelurahan Baluwarti yang seharusnya menjadi satu-kesatuan destinasi wisata, tampak sekali situasi dan kondisinya yang rata-rata berada di bawah garis standar kebutuhan normal. Mengapa bisa demikian?. Kalau dibedah, masalah besarnya antara lain karena fakta perjalanan sejarah kehidupan bangsa NKRI ini, sejak 1945 Kraton Mataram Surakarta sedikit demi sedikit mulai dipinggirkan dengan berbagai “cara dan alasan”, oleh berbagai peristiwa dan oleh berbagai “skenario untuk melenyapkan” label Mataram.
Fakta sejarah yang selama ini tidak pernah diungkap secara terang-terangan dan jujur, jelas menunjukkan situasi dan kondisi kraton, Baluwarti dan suasana kehidupan warga peradaban di lingkup sempit dan luas seperti yang bisa disaksikan dan dirasakan sekarang ini. Suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang dihiasi campur-aduk berbagai kepentingan pribadi/kelompok apalagi ketika diberi sentuhan aroma politik, adalah menjadi ciri-ciri warga peradaban yang dibangun sejak 17 Agustus 1945, yang antara lain tidak memberi kesempatan masyarakat adat leluasa bernafas, tetapi justru terkesan “ingin melenyapkan”, terutama yang “berlabel Mataram”.
Menyimak arah perkembangan atau kondisi riil perjalanan Kraton Mataram Surakarta dan juga Pura Mangkunegaran yang notabene ada di dalam Kota Surakarta memang “mengesankan”, dari satu rezim ke rezim pemerintahan penggantinya langsung atau tidak telah memberi arah dan proses perkembangan yang sangat berbeda. Logika tidak bisa ditutupi atau dikamuflase dengan pemandangan visual atau wujud fisik apapun, ketika berbicara tentang Kraton Mataram Surakarta dalam konteks potensi destinasi wisata. Padahal kota ini dikenal “sanggar kursus ketatanegaraan” Presiden Soekarno (Presiden RI ke-1) sejak pra hingga pasca NKRI lahir, menjadi “rumah kedua” keluarga Presiden Soeharto (Pesiden RI ke-2) dan menjadi kampung halaman dan “rumah utama” Presiden Jokowi (Presiden RI ke-7) dan Wali Kota Gibran.
“Kesan ingin melenyapkan label Mataram” memang tidak gampang dilihat publik, apalagi oleh generasi bangsa yang telah “dicuci otaknya” melalui sistem pendidikan di berbagai jenjang, untuk menghilangkan jejak tentang kejayaan dan jasa-jasa para pelaku sejarah masa lalu bangsa di Nusantara ini. Oleh sebab itu, kalau Ipung atau Purnomo seakan mengeluh karena hanya berbekal sedikit kapasitas pribadi dalam pemahaman dan penguasaaan budaya Jawa dan sejarah kraton, itu jelas sangat beralasan dan jelas ada sumber yang menjadi alasannya secara mendasar. (Won Poerwono-bersambung/i1)