Ironis, Warga Baluwarti Mengaku “Kurang Lancar” Berbahasa Jawa.
IMNEWS.ID – UNGKAPAN KPH Raditya Lintang Sasangka selaku salah seorang warga Baluwarti dan budayawan dari lingkungan keluarga besar Kraton Mataram Surakarta di forum sarasehan “Selapan RW” yang berlangsung di Bangsal Smarakata, Selasa Wage malam (14/3), sangat menarik bagi semua yang hadir di situ. Bahkan menarik bagi khalayak publik secara luas, ketika berbagai hal yang dibahas dalam forum itu dipublikasikan secara luas pula. Karena, hal yang diugkapkan sebagai bentuk autokritik, tetapi juga bisa mengedukasi publik secara luas, agar bisa memahami tentang bagaimana harus bersikap dan berekspresi di wilayah/kawasan adat itu.
Tampil sebagai salah seorang narasumber, sentanadalem dari kantor Pengageng Mandra Budaya yang juga mantan Ketua Dewan Kesenian Surakarta (DKS) antara 2015-2020 itu justru menyoroti secara kritis pelaksanaan parade defile Kirab Prajurit kraton yang digelar tiap Sabtu pagi di halaman Kamandungan. Acara itu diinisiasi seseorang dari pihak yang hingga kini “memilih jalannya sendiri” dari “ajakan berdamai”, lalu bekerjasama dengan pihak Dinas Pariwisata Pemkot untuk menyelenggarakan kegiatan yang dimaksudkan sebagai suguhan para wisatawan yang berkunjung di kraton.

“Saya tidak mempersoalkan suguhan kirab prajurit itu. Saya justru mendorong agar kirab prajurit itu lebih ditingkatkan berbagai hal yang menyangkut tampilannya. Yang saya persoalkan, kok ada sajian tari-tarian dari repertoar tari tradisional khas Jawa di sela-sela kirab dan defile itu. Karena, halaman Kamandungan adalah bagian penting dari kraton, bukan tempat menyuguhkan berbagai jenis tarian apapun, apalagi repertoar tari khas Jawa. Kraton sudah punya tempat khusus untuk menyuguhkan tari koleksi sendiri maupun repertoar khas Jawa”.
“Jadi, tidak pada tempatnya kalau di halaman Kamandungan untuk sajian tari, apapaun. Itu malah bisa menimbulkan kesan merendahkan seni budaya Jawa. Karena bisa dipersepsikan sebagai tarian jalanan (street dance-Red). Saya menduga, cara penyajiannya meniru Kraton Jogja yang sedang promo wisata dengan menyuguhkan tari-tarian di depan kraton. Tetapi perlu dipahami, struktur bangunan Kraton Surakarta dan Jogja berbeda,” tandas Ketua Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta itu, saat dihubungi iMNews.id, kemarin.

Autokritik yang diberikan sentanadalem yang akrab disapa RM Bambang Irawan itu tak dijawab atau ditanggapi semua yang hadir di forum Selapanan RW, malam itu. Bagi Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua LDA, autokritik itu justru dianggap sangat bermanfaat untuk mengingatkan keluarga besar di kraton untuk tidak meniru cara-cara yang malah bisa melahirkan kesan “merendahkan” seni budaya Jawa. Terlebih, senyatanya kegiatan itu adalah bagian dari “proses perdamaian” yang belum selesai, atau memang menghindar dari proses itu, karena sudah terlanjur “menerima dana hibah” bantuan kegiatan dari Dinas Pariwisata atau Dinas Kebudayaan setempat.
Sebagai ilustrasi, dalam “proses perdamaian” yang mulai terjadi sejak peristiwa “Damai 3 Januari” antara Sinuhun PB XIII dengan adik kandungnya pemegang jabatan Pengageng Sasana Wilapa, diharapakan bisa berjalan lancar dan lembut hingga tuntas. Termasuk harapan “berdamainya” atau meleburnya dua kelompok prajurit berkembang di dalam dan di luar kraton akibat terbelah sejak insiden kraton ditutup, mulai April 2017, tetapi hingga kini masih tampak jalan di wilayah masing-masing, karena salah satunya sudah terlanjur “teken kontrak” dana hibah bantuan Pemkot.

Mendengar autokritik yang dilontarkan KPH Raditya Lintang Sasangka itu, pihak forum pengurus RW, berbagai elemen kelurahan dan pamong Kelurahan Baluwarti juga tidak berkomentar atau menanggapi. Karena, sangat mungkin maksud ungkapan yang dilontarkan itu adalah sebagai pengetahuan berharga yang sebelumnya tidak dipahami, bahwa menjadi warga Baluwarti senyatanya harus sadar dan paham terhadap posisi, tugas dan kewajibannya untuk menjadi “pendukung” atau “daya dukung” Kraton Mataram Surakarta dalam berbagai fungsi, utamanya fungsi sumbernya budaya Jawa.
Selain yang menyangkut proporsionalitas untuk menempatkan segala kekayaan seni budaya kraton, sarasehan selapanan malam itu juga sempat menyinggung peran riil warga Baluwarti di masa lalu, yang pernah diberi kesempatan untuk memiliki Bregada Prajurit Baluwarti atau Bregada Baluwarti, yang bisa menambah keragaman berbagai Bregada Prajurit Kraton. Seperti diketahui, prajurit kraton sebelum 1945 memiliki 9 bregada, termasuk Bregada Korp Musik dan Bregada Prajurit Panyutra yang diharapkan KPH Raditya Lintang Sasangka bisa ikut ditampilkan dalam defile atau kirab.

Hal lain yang menonjol dari forum sarasehan Selapanan RW malam itu, adalah penggunaan medium bahasa yang cukup ironis dan memprihatinkan. Karena, ada beberapa di antara peserta sarasehan yang banyak diperlihatkan “para tamu”, termasuk Lurah Baluwarti, meminta izin menggunakan bahasa pengantar Bahasa Indonesia, karena mengaku kurang lancar berbahasa Jawa, “krama inggil”. Melihat realitas seperti itu, di satu sisi memang bisa dimaklumi karena bahasa resmi yang digunakan dalam kedinasan adalah bahasa nasional, Indonesia, tetapi sangat memprihatinkan karena dialog, diskusi atau proses komunikasi itu terjadi dalam forum sarasehan yang berlangsung di Bangsal Smarakata.
Melihat realitas seperti itu bisa dianalisis, bahwa di satu sisi negara selama ini kurang memperhatikan unsur perlindungan kepada “bahasa ibu” di masing-masing daerah yang mencerminkan kekayaan bahasa di bumi Nusantara. Di sisi lain, ada lembaga-lembaga masyarakat adat yang punya kapasitas kemampuan dalam melindungi penguasaan “bahasa ibu” dengan baik, justru tidak diberi kesempatan atau tanggungjawab untuk melindungi. Tatacara penggunaan serta sistem perlindungannyapun, juga tidak tertib dan tidak disiplin, bahkan membiarkan masuknya bahasa asing yang membuat kacau pemakaian segala bahasa itu, tanpa bisa membedakan antara forum resmi dan baku dengan “suasana asal kena”. (Won Poerwono-bersambung/i1)