Kearifan Tatacara Adat Keraton Sudah tak Memiliki Tempat
SOLO, iMNews.id – Kearifan tatacara adat yang biasa muncul dari keraton, sepertinya kini sudah tidak memiliki atau mendapat tempat dalam upaya untuk mengatasi situasi dan kondisi pandemi Corona yang semakin menggila dan berlarut-larut di tanah air. Meski perkembangan peradaban semakin maju dan mengedepankan penalaran untuk menghedahapi berbagai persoalan kehidupan, namun kearifan tatacara adat yang menjadi bagian kekayaan budaya keraton-keraton di Nusantara ini, masih bisa dimanfaatkan untuk menambah kekuatan spiritual dalam menghadapi berbagai persoalan khususnya pandemi Corona.
”Saya kok masih punya keyakinan, keraton-keraton di Nusantara ini masih memiliki kearifan tatacara adat yang bisa dilibatkan utuk ikut mengatasi persoalan pandemi Corona yang kini malah makin menggila dan berlarut-larut. Saya percaya bahwa virus Corona itu masuk ranah persoalan ilmu pengetahuan kesehatan. Tetapi, saya juga yakin, keraton-keraton di Nusantara punya potensi secara tradisional yang bisa memperkuat upaya untuk mengatasinya,” jelas KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito selaku pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual, dalam diskusi ringan dengan iMNews.id, kemarin.
Ungkapan seorang abdidalem Keraton Mataram Surakarta itu ditunjukkan untuk menyikapi situasi pandemi Corona yang dinilainya telah berlarut-larut berkepanjangan, padahal di zaman milenial ini diketahui ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sangat maju, termasuk di bidang kesehatan, obat-obatan, kedokteran dan penelitian di bidang virologi dan epedemiologi. Namun menurutnya, ada sebuah potensi yang terlupakan bahkan seakan tersingkirkan dan tidak mendapat tempat, karena dianggap sudah tidak masuk akal atau irasional.
Menurut KRT Hendri Rosyad, potensi yang kini makin tidak mendapat tempat dalam pola pikir modern sekarang ini adalah tatacara adat kearifan keraton-keraton yang menjadi modal sosial budaya Nusantara sebaga pendiri negeri ini. Karena, jauh sebelum republik ada, keraton-keraton itu mempunyai cara sendiri yang berupa kearifan tatacara adat dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi, termasuk ketika dilanda ”pageblug” pandemi seperti sekarang ini.
”Saya pernah mendapat data informasi dari berbagai sumber, keraton-keraton di Nusantara memiliki kearifan tatacara adat untuk menghadapi bencana pandemi seperti sekarang ini. Setidaknya, sikap spiritual seperti kirab pusaka bisa membantu. Paling tidak menambah kekuatan dari sisi kebatinan yang bisa terpancarkan melalui doa-doa yang dipanjatkan dengan tatacara adat keraton. Keraton Surakarta memang sedang bermasalah. Tetapi, (Sinuhun) tidak boleh tinggal diam saja seperti yang terasa sekarang ini,” ungkap KRT Hendri dengan nada menyayangkan.

Memahami Kegelisahan Publik
Di tempat terpisah, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta bisa memahami kegelisahan KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito yang bisa dianggap mewakili apa yang dirasakan publik secara luas. Meski sejak 2017 dirinya selaku Ketua LDA maupun Pengageng Sasana Wilapa yang akrab disapa Gusti Moeng itu bersama kalangan ”bebadan” dan jajarannya berada di luar keraton, tetapi bisa memaklumi sekaligus merasakan prihatin apabila ada merasakan Keraton Mataram Surakarta terkesan tidak ada fungsi dan manfaatnya serta tidak mendapat tempat dalam menghadapi situasi pandemi Corona seperti sekarang ini.
Meski secara umum kesan-kesan itu bisa dimaklumi, tetapi diakui situasi dan kondisi secara umum sekarang ini memang sudah jauh berbeda dibanding dengan kondisi luar biasa atau di tengah bencana seperti di awal-awal kemerdekaan, tahun-tahun sekitar G30S/PKI dan lainnya. Apalagi dibanding ketika Mataram Surakarta masih sebagai ”nagari” (negara) dari 1745 hingga 1945, disebutkan ada beberapa peristiwa termasuk pageblug yang bisa disikapi dengan cara-cara adat dan kearifan keraton.
”Karena dulunya Mataram Surakarta itu negara, dalam menyikapi pageblug ya tentu punya kebijakan dan protokol sendiri untuk menghadapinya. Salah satunya, protokol secara adat ata tatacara kearifan adat. Misalnya, dengan kirab pusaka, mengeluarkan pusaka yang khusus untuk menghadapi pageblug. Setelah merdeka, saya mendapat referensi keraton masih dilibatkan (pemerintah) ketika ada peristiwa G30S/PKI, lalu Sinuhun PB XII menggelar kirab pusaka. Kalau sekarang, saya tidak tahu. Karena saya berada di luar sejak 2017,” papar Gusti Moeng mengungkapkan beberapa referensi yang didapatnya, serta sedikit pengalamannya tentang sikap keraton dalam menghadapi pageblug dari masa ke masa, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Meski berada di luar keraton, Gusti Moeng masih bisa mencermati setiap perkembangan yang ada di dalam keraton, khususnya dalam menyikapi situasi akibat pageblug. Menurutnya, situasi zaman sekarang ini memang sudah jauh berbeda yang kemudian bisa menentukan sikap yang berbeda pula bagi siapa saja khususnya penguasa, dalam menghadapi bencana pandemi seperti sekarang ini.

Simbol-simbolnya Tak Dirawat
Dalam pandangannya, negara yang diwakili pemerintah saat ini sudah berjuang sekuat tenaga, namun hanya mengandalkan kekuatannya sebagai negara yang mengikuti standar penanganan modern yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam posisi seperti itu, tatacara adat kearifan keraton-keraton yang punya potensi secara tradisional utuk menghadapi urusan-urusan seperti itu, dianggap sudah ketinggalan zaman atau sudah tidak diperlukan lagi.
”Karena standar penanganan yang namanya protokol itu harus menggunakan prinsip 3 atau 5, jadi tidak sesuai kalau disikapi dengan tatacara adat yang biasanya melibatkan banyak orang. Ini tentu dianggap berbenturan dengan protokol kesehatan. Dari sisi ini saja sudah dianggap tidak sesuai. Belum komponen-komponen lain yang mungkin sulit diterima dengan akal, karena aturan protokolnya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari ukuran-ukuran seperti ini yang bisa membuat keraton atau tata cara adat kearifannya terkesan sudah tidak ada fungsi dan manfaatnya,” sebut mantan anggota DPR RI dua periode terpisah itu.
Hal yang membuat keraton terkesan diam saja dan tidak ada fungsinya untuk menghadapi pageblug pandemi sekarang ini, disebutkan karena simbol-simbol kearifan untuk tatacara adat yang dimiliki sudah tidak dirawat sejak 2017. Karena simbol-simbol yang berupa pusaka koleksi keraton tidak pernah dirawat, pasti tidak akan memberi manfaat apa-apa atau hanya tinggal senilai wujud barangnya saja.
Padahal, tambah Pangarsa Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Mataram Surakarta itu, benda-benda pusaka yang jumlahnya cukup banyak dan tersimpan di kamar pusaka di bangunan inti kawasan sakral kedhaton, sebelumnya sangat terawat. Selain ruang penyimpanan terjaga sirkulasi udaranya karena dibuka sedikitnya seminggu sekali, setahun sekali tiap menyambut Tahun Baru Jawa 1 Sura pasti dibersihkan dan diangin-anginkan melalui kirab pusaka.
”Selain situasi dan kondisi internal keraton sendiri yang sudah tidak mau merawat simbol-simbolnya, situasi dan kondisi di luar secara umum juga sudah tidak bersahabat. Diamika sosial politik makin menyisihkan eksistensi keraton. Termasuk segala kearifan tatacara adatnya,” sebut Gusti Moeng. (won)