Terbuka Komunikasi yang Konstruktif untuk Menata Lingkungan “Pendukung” Kraton (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 24, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Terbuka Komunikasi yang Konstruktif untuk Menata Lingkungan “Pendukung” Kraton (seri 2 – bersambung)
SARASEHAN WARGA : Suasana sarasehan "Selapanan" forum RW se-Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasarkliwon untuk kali pertama diakomodasi Kraton Mataram Surakarta berlangsung di Bangsal Smarakata, Selasa malam (14/3). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kasus Alih-tangan Hunian, tak Mungkin Diungkap di Sarasehan

IMNEWS.ID – BERBAGAI bentuk pelanggaran yang sudah terjadi terhadap eksistensi Kraton Mataram Surakarta, baik posisinya sebagai pusat dan sumber peradaban maupun posisinya sebagai situs peninggalan sejarah dan kawasan cagar budaya, tentu dimulai sejak kehidupan di dalam Baluwarti berubah fungsi seiring berubahnya “status lembaga kraton” ketika NKRI lahir di tahun 1945 (iMNews.id, 23/3). Kawasan kraton yang luasnya 90-an hektare dari Gapura Gladag sampai Gapura Gading, sejak 17 Agustus 1945 itu sudah bukan menjadi kawasan pusat pemerintahan monarki Ibu Kota “negara” Mataram Surakarta.

Pusat pemerintahan secara monarki yang sudah dilengkapi berbagai sarana dan prasarana di kawasan seluas itu, masih didukung dengan kompleks perkantoran administratif pemerintahan di Kepatihan, yang kemudian kawasannya juga berubah fungsi akibat kompleks di sana hancur-lebur “dibakar” dalam peristiwa kolaboratif berbagai kelompok kepentingan pada peristiwa Clash II Belanda tahun 1949. Mulai saat itu, semuanya “harus berubah” untuk menyesuaikan peraturan perundangan NKRI yang membagi wilayahnya secara administratif di dalam negeri, yaitu menjadi Surakarta sebagai Daerah Istimewa (setingkat provinsi) yang berhubungan langsung dengan pemerintah RI hingga tahun 1946, kemudian menjadi Kota Madya Surakarta (1950) dan Kota Surakarta setelah 1998.

DITATA-ULANG : Jalan lingkar Baluwarti mulai sisi timur tembok Museum Art Gallery Kraton Mataram Surakarta, kini sudah semakin tampak bagus setelah lingkungan pedestriannya ditata-ulang. Ini adalah hal positif yang dilakukan semua yang tinggal di lingkungan dan pihak yang berkepentingan dengan kawasan cagar budaya itu.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Berbagai hal yang menyangkut perubahan di atas, termasuk perubahan lingkungan Baluwarti, memang belum pernah terdengar dibahas secara khusus dan detil dalam forum terbuka yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan yang sesuai dengan semangat di alam demokrasi. Sebab, hingga kini juga tidak pernah ada data-data yang menunjukkan adanya kegiatan itu sebagai dokumentasi yang disimpan pemerintah atau pihak lain, karena kegiatan semacam itu baru dimungkinkan terjadi dalam  suasana demokratis yang baru benar-benar terjadi di republik ini selepas bergantinya rezim Orde Baru setelah 1998.

Oleh sebab itu, sebuah forum sarasehan yang dihadiri Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua LDA, KPH Edy Wirabhumi selaku pimpinan Lembaga Hukum Kraton Surakarta dan sejumlah pejabat “bebadan” “Kabinet 2004”, Selasa Wage malam (14/3) itu, terkesan menjadi pertemuan pertama yang melibatkan berbagai “stakeholder” di lingkungan setempat. Pertemuan yang difasilitasi Kraton Mataram Surakarta, menyediakan tempat di Bangsal Smarakata bagi lebih dari 50 orang tokoh dari kalangan ketua RW, berbagai lembaga dan organisasi serta pamong di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasarkliwon yang sudah punya kegiatan rutin bertema “Selapanan Forum RW” itu.

TERONGGOK BERTAHUN-TAHUN : Dinding tembok bangunan sisi ujung barat pojok Sasana Putra Kraton Mataram Surakarta yang roboh sejak kraton ditutup tahun 2017 tak pernah ada upaya perbaikan sampai ada “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” 17 Desember 2022 hingga kini, juga menjadi pemandangan suasana situs cagar budaya yang kurang sedap.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Forum sarasehan tiap 35 hari (selapan-Red) sekali di tiap RW yang dipandu MNg Suparno selaku penghubung pamong kelurahan dan warga dengan kraton itu, malam itu menjadi malam sarasehan yang istimewa karena bertempat di kraton yang posisi lokasinya di RT 01 RW I Kelurahan Baluwarti. Di kelurahan itu, terbagi menjadi 12 RW yang lokasinya di dalam tembok pagar tebal setinggi lebih dari 3 meter yang mengelilingi Baluwarti, panjangnya kurang lebih 4 KM itu. Malam itu, juga tampak hadir Lurah baluwarti, Danang Agung Wasiyanto yang memberi sambutan, selain petugas dari Dinas Koperasi, UMKM dan Perindustrian yang sedang menyosialisasikan permodalan koperasi.

Waktu sarasehan lebih dari 2 jam itu, tampak dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan peserta dari unsur warga, lembaga, organisasi dan pamong kelurahan, karena bertemu dengan otoritas kraton yang punya kapasitas penuh dan lengkap seperti yang Gusti Moeng, KP Edy Wirabhumi dan juga KPH Raditya Lintang Sasangka selaku warga Baluwarti sekaligus Ketua Sanggar Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, sangatlah langka. Oleh sebab itu, pertemuan ini juga menjadi salah satu indikator bentuk pencarian solusi dan terbukanya pintu komunikasi yang konstruktif untuk membuka peluang penyelesaian berbagai persoalan Baluwarti, yang sejak republik lahir hingga kini menumpuk dan tidak pernah ada jalan terbaik untuk menyelesaikannya.  

PEDESTRIAN DAN SHELTER : Di lingkungan dalam dekat pintu masuk Kori Brajanala Kidul, suasana pedestrian dan shelter UMKUM sudah tampak ditata oleh beberapa pihak di Kelurahan Baluwarti. Perubahan yang positif itu sangat mendukung eksistensi Kraton Mataram Surakarta sebagai destinasi wisata di kawasan situs cagar budaya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Namun, banyaknya persoalan Baluwarti memang tidak mungkin selesai tuntas diungkapkan dalam sekali pertemuan malam itu. Karena, masih banyak yang belum bisa atau tidak mungkin diungkap di forum itu, misalnya tentang dugaan kepindahan tangan “kepemilikan” kompleks “ndalem Ngabean” dari para ahli waris keluarga Pangeran putra Sinuhun PB X, juga “kepemilikan” dari keluarga ahli waris Pangeran Surya Hamijaya ke tangan pihak lain yang melibatkan “keluarga Cendana”. Kasus alih tangan “kepemilikan” kompleks “ndalem pangeran” yang status penggunaannya hanya “hanggaduh” (meminjam-Red) itu, dari awalnya terkesan “dibuat samar-samar”, begitu pula saat beralih tangan menjelang tahun 2000-an.

Karena posisinya yang samar-samar atau kurang jelas duduk-persoalan kasusnya, maka sangatlah wajar apabila forum sarasehan sekelas “Selapan Forum RW” terkesan tidak memiliki kepentingan untuk membahasnya. Meski begitu, dalam penjelasan singkat soal sejarah kraton dan lingkungan kawasannya, selaku Pengageng Sasana Wilapa dan Ketua Lembaga Dewan Adat sebagai otoritas kraton, Gusti Moeng tetap menyinggung secara umum masalah status hunian semua warga Baluwarti yang disebutkan dalam pengertian secara garis besar bahwa semua yang menguni tanah dan bangunan di dalam tembok Baluwarti statusnya hanyalah “hanggaduh” atau meminjam.

KURANG MENDUKUNG : Suasana wajah lingkungan di kanan-kiri sepanjang gang masuk dari Kori Butulan Wetan atau pintu masuk Baluwarti dari arah timur, tampak kurang mendukung dengan eksistensi Kraton Mataram Surakarta sebagai sumbernya budaya Jawa maupun destinasi wisata di kawasan cagar budaya itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Status tanah yang dihuni warga Baluwarti yang disebut GKR Wandansari Koes Moertiyah itu, jelas berkait dengan sistem tata-nilai aturan paugeran adat atau hukum adat di wilayah terkecil di kawasan Kraton Mataram Surakarta, yaitu kawasan dalam tembok Baluwarti. Posisi hukum adat itulah yang harus dihormati dan sudah diakui secara konstutusional dalam pasal 18 UUD 45, meskipun manusia di dalam wadah Kelurahan Baluwarti yang masuk Kecamatan Pasarkliwon itu, juga harus tunduk pada sistem hukum nasional yaitu tata aturan administratif kewilayahan di dalam negeri yang sudah ditetapkan pemerintah RI.

Akibat berlakunya dua sistem aturan pada objek wilayah yang sama sejak NKRI lahir 17/8/45 itu, berbagai persoalan muncul dan hingga kini belum bisa terselesaikan, karena lahirnya UU BCB No 11/2010 memang bukan cara yang paling tepat untuk menyelesaikan persoalan itu. Tetapi apabila negara serius akan menyelesaiakn persoalan ini dengan prinsip-prinsip saling menghormati sesuai kedudukan dan tanggungjawabnya, pasti akan ada kesepakatan-kesepakatan yang bisa terwujud dalam beberapa sistem aturan yang harus dijaga dan dipelihara bersama. Dan untuk menuju ke posisi ideal seperti itu, kelihatannya harus melalui pintu dialog dan komunikasi yang konstruktif dan bermartabat. (Won Poerwono-bersambung/i1)