Kesadaran Mengingat, Membalas dan Merawat, Sekaligus “Melihat”
IMNEWS.ID – SEMANGAT membangun rasa hormat kepada para leluhur peradaban khususnya leluhur Dinasti Mataram, di agenda hari berikutnya adalah “Caos Bhekti Tahlil” ke Astana Pajimatan Setono, kompleks makam Bupati Bathara Katong dan tiga titik lokasi makam lainnya di Kabupaten Ponorogo (Jatim).
Kehadiran rombongan safari keliling “Tour de Makam” dari Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA), sudah ditunggu-tunggu warga dan pengurus Pakasa Cabang “Gebang Tinatar” itu, walau kunjungan dalam rangka apapun sebelumnya sudah sangat sering dilakukan Gusti Moeng.
Suasana penyambutan dan upacara adat yang digelar dalam kunjungan “Nyadran” di bulan Ruwah yang terjadi di Kabupaten Ponorogo, memang terasa sangat berbeda ketika berkunjung dalam tema yang sama di kompleks-kompleks makam leluhur Dinasti Mataram yang ada di wilayah kabupaten lain dan provinsi lain.
Tak hanya “Nyadran”, penyambutan dan suasana upacara pada acara lain yang sering digelar warga dan pengurus Pakasa Cabang Ponorogo maupun ketika berkolaborasi dengan berbagai unsur otoritas wilayah kabupaten setempat, terasa memiliki intensitas hubungan di atas rata-rata ketika kedatangan rombongan tamu dari Kraton Mataram Surakarta yang dipimpin Gusti Moeng atau GKR Wandansari Koes Moertiyah itu.
Mengapa begitu? Salah satu jawabannya, semua berawal dari latarbelakang sejarah posisi dan hubungan antara Kabupaten Ponorogo di masa Mataram lahir di tahun 1588 hingga masa Sinuhun Paku Buwana II jumeneng nata, saat masih berIbu-Kota di Kartasura (1727-1745).
Dari situlah hubungan kekerabatan antara berbagai elemen masyarakat Kabupaten Ponorogo dengan Mataram sudah terjadi, menjadi erat ikatan kekeluargaannya saat bersama-sama merebut kembali Ibu Kota Kartasura dari tangan kerabatnya sendiri, Mas Garendi “dan rekan-rekan”, sampai mendukung pemindahan Ibu Kota dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Sura tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745.
Dalam berbagai peristiwa pada rentang waktu panjang, apalagi selama Sinuhun PB II menyusun strategi untuk merebut Ibu Kota Kartasura maupun menyusun perencanaan pembangunan infrastruktur Ibu Kota baru di Surakarta Hadininingrat, antara tahun 1737-1745, adalah benar-benar tampak sekali apa yang disebut sebagai “gawa-gawene” serta “labuh-labet” seluruh elemen masyarakat Kabupaten Ponorogo.
Elemen yang terlibat di sana, terutama dari kalangan “ulama” yaitu para santri Pondok Tegalsari Gebang Tinatar yang dipimpin Kyai Mohammad Khasan besari dan kalangan “umaroh” yang dipimpin Bupati Surobroto serta elemen masyarakat yang dipimpin eyang Jayengrono.
“Karena tiga unsur itu sudah seperti sebuah keluarga, tentu wajar kalau memiliki ikatan persaudaraan yang tinggi. Dalam upaya merebut kembali Kartasura, tiga unsur itu menyatu dan bisa membuktikan hasilnya. Saat boyong kedhaton ke Surakarta, juga terlibat langsung, khususnya Eyang Jayengrono. Begitu Ibu Kota Surakarta berdiri, nama Ponorogo diabadikan sebagai nama kampung di dalam Baluwarti, yaitu kampung Panaragan”.
“Sekarang masih apa tidak, saya kurang tahu. Tali silaturahmi antara Ponorogo dengan Mataram masih erat terpelihara dengan baik. Bahkan, sampai Mataram Surakarta. Apalagi, dengan adanya Pakasa Cabang Ponorogo, tali persaudaraan sebagai sebuah keluarga menjadi terjaga tetap hangat,” tandas KRRA MN Gendut Wreksodiningrat.
Apa yang dibeberkan KRRA MN Gendut Wreksodiningrat selaku Ketua Pakasa Cabang “Gebang Tinatar” itu, sangatlah jelas melukiskan bagaimana hubungan antara masyarakat Kabupaten Ponorogo dengan “nagari” Mataram, apalagi Mataram Surakarta.
Kehangatan hubungan kekeluargaan itu seakan meneruskan yang sudah dijalin sebelumnya antara Kabupaten Ponorogo yang waktu itu memiliki wilayah sebagian Trenggalek dan Pacitan, dengan otoritas penguasa wilayah “negara” sebelumnya, terutama pada zaman Kraton Majapahit (abad 14).
Oleh sebab itu, dalam rangka pelaksanaan ritual “Nyadran” di bulan “Ruwah” tahun Ehe 1956 ini, di semua titik lokasi makam leluhur Dinasti Mataram yang dikirim “Caos Bhekti Tahlil”, Minggu (26/2) itu langsung disambut warga dan pengurus Pakasa Cabang Ponorogo yang kini memiliki anggota berKTA sebanyak 3 ribu orang.
Mereka berbaur dengan para peziarah yang datang berombongan dari berbagai daerah di Jatim, silih berganti mengirim doa, dzikir dan tahlil baik di makam (Bupati I Ponorogo) Bathara Katong di Desa Setono, Kecamatan Jenangan, makam Eyang Jayengrono (Djajengrana-Red) di Desa Pulung Merdika, Kecamatan Pulung dan makam Kyai M Khasan Besari di Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis.
Jarak antara ketiga makam masing-masing lumayan jauh, sampai 15 KM antara makam Bethara Katong dengan makam Jayengrono, maupun ke makam Kyai M Khasan Besari. Karena cuaca tidak mendukung dan hujan deras tiba saat hari sudah mulai gelap seusai “Nyadran” di makam eyang Jayengrono, agenda “nyadran” ke petilasan dan tempat Sinuhun PB II bermeditasi yang bernama “Sinuhun Kombul” di Desa Sawoo, Kecamatan Sawoo, dibatalkan.
Meski begitu, semangat untuk
“mengingat” jasa-jasa para leluhur, “membalas” dengan “Caos Bhekti Tahlil” sebagai tatacara yang bermartabat dan beradab untuk “merawat” jasa-jasa para leluhur tetap tampak. Di situlah, juga sangat tampak ketika “melihat” semangat mewujudkan “Gawa-gawene” dan “Labuh-labet” sebagai abdidalem atau anggota masyarakat adat. (Won Poerwono-bersambung/i1)