Lembaga Paranpara Nata dan Parankarsa Nata Perlu Diperkuat
IMNEWS.ID – UPACARA adat tingalan jumenengandalem ke-19 Sinuhun PB XIII yang akan digelar Kraton Mataram Surakarta pada 16 Februari nanti, akan menjadi momentum bagi banyak hal, tetapi yang paling penting dan utama serta ideal adalah menjadi tonggak perdamaian dan rukunnya kembali keluarga besar putra/putri Sinuhun PB XII yang sudah dimulai dari Sinuhun PB XIII dengan adik kandungnya, GKR Wandansari Koes Moertiyah. Dengan demikian, formasi “kabinet” tentu kembali pada struktur bebadan kabinet bentukan tahun 2004 yang sudah bersepakat dan berjanji di depan Sinuhun dan para saksi, yang dituangkan dalam semacam “perjanjian kesepakatan” untuk mendukung jumenengnya KGPH Hangabehi sebagai Sinuhun PB XIII.
Namun, dengan munculnya friksi di saat-saat menjelang proses suksesi di tahun 2004 yang berlanjut dengan munculnya berbagai peristiwa sebagai puncak-puncak friksi itu hingga 2017, telah membuat jalannya kabinet tidak maksimal, bahkan menjadi tidak representatif mewakili semua potensi yang ada. Dan puncaknya, beberapa pemimpin departemen atau bebadan mendahului “gugur” ketika kabinet masih berfungsi di dalam, dan sama sekali tak berfungsi ketika kraton ditutup sejak 2017 dan semua hampir pemimpin bebadan yang tersisa ikut berjuang di luar tembok kraton sampai saat peristiwa 17 Desember 2022 tiba (iMNews.id, 18/12/2022).
Walau berada di lingkungan masyarakat adat yang terikat sistem tata-nilai paugeran adat, friksi yang lahir karena berbeda haluan dan berbeda pandangan terhadap sesuatu dalam kehidupan adatnya sebenarnya masih bisa dimaklumi. Tetapi bila yang terjadi adalah pelanggaran paugeran adat, bahkan bersifat merusak sendi-sendinya, memang sudah sewajarnya apabila Gusti Moeng dengan anggota faksinya berupaya mencegah bahkan menghadang. Karena, apa arti dan manfaat Kraton Mataram Surakarta yang pernah didirikan para leluhur Dinasti dengan segala kearifan, keluhuran dan kemuliaannya, kemudian kehilangan kewibawaan, harkat dan martabat karena sistem tata nilai paugeran adat tidak dihormati atau tidak digunakan?
Melihat begitu penting dan mendasarnya sistem tata-nilai paugeran adat, maka dengan momentum tingalan jumenengandalem ke-19 Sinuhun PB XIII, keluarga besar masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta hendaknya kembali ke dalam kehidupan yang menghormati, menjunjung tinggi dan selalu menjaga sistem nilai yang sudah menjadi konstitusi Dinasti Mataram, terlebih Mataram Surakarta itu. Dengan mengedepankan supremasi sistem tata-nilai konstitusi Dinasti, kraton akan dilecehkan, disepelekan dan direndahkan karena punya kewibawaan yang kuat, punya harkat dan martabat yang tinggi dan benar-benar dirasakan manfaatnya bagi kehidupan secara luas.
Peristiwa tingalan jumenengandalem yang sudah dekat ini, juga menjadi bagian dari proses atau bahkan titik awal bagi Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, untuk melanjutkan proses perdamaian ke segala arah, samping kanan, kiri dan struktur bebadan di bawahnya. Meskipun juga akan sangat dimaklumi apabila tetap ada yang perlu dibatasi atau dikendalikan dalam rangka “pengampunan adat”, ketika mekanisme sanksi hukuman adat di level super berat sudah tidak mungkin bisa dijatuhkan kepada para pelanggar sistem tata-nilai paugeran adat.
Tugas yang lebih penting dan ada di depan mata setelah “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” dan “perdamaian” dicapai, adalah segera menggerakkan kembali fungsi-fungsi bebadan anggota kabinet 2004 yang sudah “mandeg” 5 tahun lebih, bahkan perlu segera mengisi kekosongan jabatan akibat para Pengageng dan Wakilnya di beberapa bebadan banyak yang kosong akibat mendahului “gugur”. Misalnya kantor Pengageng Keputren yang kosong karena GKR Galuh Kencana selaku Pengagengnya sudah meninggal, kemudian kantor Pengageng Pasiten yang ditinggal GKR Retno Dumilah sebagai pengagengnya.
Kantor Pengageng Mandra Budaya juga kosong karena GKR Sekar Kencana sebagai pengagengnya meninggal, walaupun masih ada KPP Wojoyo Adiningrat sebagai wakilnya. Kantor Pengageng Yogiswara juga kosong, karena GPH Nur Cahyaningrat sebagai pengagengnya meninggal. Kantor Pengageng Kusuma Wandawa, Pengageng Sasana Pustaka dan Pengageng Museum-Pariwisata yang sebelumnya dirangkap oleh KGPH Puger, juga perlu segera dicarikan solusi agar masing-masing bisa berfungsi maksimal, karena KGPH Puger dinyatakan Gusti Moeng “ketelisut”, sementara KPH Broto Adininggrat selaku Wakil Pengageng Kusuma Wandawa dan KPA Winarno Kusumo selaku Wakil Pengageng Sasana Wilapa juga sudah mendahului “Gugur”.
Fungsi Pengageng Museum/Pariwisata di masa kini sangat penting dan mendesak untuk segera diisi dan difungsikan maksimal sejak ditinggal KPH Satryo Hadinagoro, karena “departemen” itu menjadi vital menyangkut keberadaan lembaga kraton, apalagi di sana ada aspek ekonomis yang bisa menyumbang lumpuhnya kedaulatan kraton secara ekonomis. Fungsi yang dulu diemban KPA Winarno Kusumo selain Wakil Pengageng Sasana Wilapa, adalah strategis karena lembaga sumber dan pusat budaya Jawa sebesar Mataram Surakarta, butuh tokoh handal di bidang “public speaking”, publikasi secara umum, di bidang promosi dan sejenisnya.
Kekosongan jabatan di kantor Pengageng Sasana Pustaka juga mendesak diisi dan difungsikan, mengingat dokumen tentang perjalanan sejarah Mataram Surakarta bahkan sebelumnya, banyak tersimpan di sana dan sudah dikenal kalangan kampus secara luas sebagai sumber penelitian sejarah kehidupan lebih luas dari sekadar tentang kraton. Kerugian di berbagai pihak tak ternilai besarnya ketika perpustakaan yang menyimpan data-data sejarah masa lampau peradaban Jawa itu, ditutup secara sepihak 5 tahun lebih. Para calon sarjana, magister dan kandidat doktor yang sedang melakukan penelitian untuk program pendidikannya harus berhenti mendadak dan tentu mengalami kesulitan mencari pengganti objek dan tema tugasnya.
“Saya ‘kan sudah mengalami meneliti di Sasana Pustaka untuk tugas program doktoral. Jadi, saya bisa merasakan bagaimana sedihnya, ketika mendadak kraton tiba-tiba ditutup. Banyak peneliti dari berbagai kampus tentu mengalami masalah, karena kraton ditutup mendadak. Untuk berganti tema apalagi objek penelitian yang sedang berjalan, tentu sulit. Bisa-bisa mereka malah jadi stres, karena kerja penelitian juga perlu waktu dan biaya, tetapi gagal. Sedangkan harapan lulus studi, sudah di depan mata. Kasihan ‘kan?,” tandas Dr Joko Daryanto, abdidalem karawitan Kantor Mandra Budaya yang juga pengajar di FKIP UNS, saat bertemu iMNews.id untuk mengiringi gladen tari Bedaya Ketawang, beberapa waktu lalu. (Won Poerwono-bersambung/i1)