Deretan Nama Tokoh Leluhur Dinasti Mataram, Adalah “Aset” Masyarakat di Kawasan Pegunungan Kendeng
IMNEWS.ID – BEGITU masifnya perusakan alam terutama pembabatan hutan di wilayah pegunungan kapur utara (Kendeng) tahun 1945-1971 (iMNews.id, 28/6), tentu sangat berpengaruh terhadap sumber penghidupan masyarakat di daerah-daerah sepanjang pegunungan itu, termasuk di wilayah Kabupaten Pati. Bahkan, tak hanya penjarahan aset ekonomis, kekuasaan di wilayah juga dilumpuhkan.
Tetapi, perusakan alam terutama penjarahan dan “illegal loging”, tidak hanya terjadi pada periode 1945-1971 saat negara baru dalam situasi kekosongan hukum pada masa peralihan dari pemerintahan masyarakat adat, terutama “nagari” Mataram Surakarta. Karena, penjarahan dan perusakan hutan periode krisis ekonomi 1998, juga luar biasa dterjadi, juga dampaknya.
Menurut peneliti sejarah Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat di Jogja), terjadinya perusakan hutan dan penjarahan sebagai ekses krisis ekonomi atau peristiwa reformasi Mei tahun 1998, seakan “menuntaskan” kerusakan alam yang terjadi 50-an tahun sebelumnya. Kondisi ekonomi masyarakat di sekitar hutan jari di sepajang pegunungan kapur utara, semakin terpuruk.

Dalam kajian Dr Purwadi, tak hanya aset alami yang dijarah, pemerintah daerah di berbagai provinsi yang berhasil “direbut” kelompok kiri (PKI), aset-asetnya juga dijarah dan dihancurkan. Para pejabat Bupati sampai ke bawah, banyak yang diculik dan dibunuh. Untuk menuntaskan proses penghancuran Mataram Surakarta, adalah pembakaran dan penghancuran Kepatihan.
“Kompleks perkantoran Kepatihan, adalah tempat menyimpan data administrasi eksekutif dan aset-aset. Jadi, semua bukti-bukti kepemilikan aset-aset itu dihilangkan lewat penghancuran Kepatihan dari (1946-1949). Ditambah penjarahan pada peristiwa reformasi 1998, masyarakat di daerah pegunungan Kendeng belum sempat sejahtera, sudah dibuat menderita lagi”.
“Itu yang membuat penderitaan panjang masyarakat di sana, termasuk Kabupaten Pati. Dengan cara ini, sangat diyakini masyarakat bisa dibuat lupa dan tidak percaya terhadap kebesaran nama-nama tokoh leluhur Dinasti Mataram yang banyak ‘sumare’ di sana. Setelah itu, muncul penyusunan sejarah yang benar-benar berbeda dari fakta sebenarnya,” ujar Dr Purwadi.

Akibat berbagai cara dalam proses pembelokan fakta sejarah itu, banyak fakta-fakta dan data informasi penting tidak pernah muncul ke permukaan, tetapi berusaha ditutup terus. Seperti misalnya, fakta tentang masa kecil Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, yang banyak belajar di Pati saat diasuh keluarga Syeh Jangkung yang menikahi kakaknya, Dyah Retno Jinoli.
Keberadaan Pakasa cabang termasuk di Kabupaten Pati, sebenarnya diharapkan bisa meyakinkan seluruh masyarakat di daerah terhadap kebesaran para tokoh leluhur Dinasti Mataram yang menjadi kebanggaannya, walau sudah tinggal makamnya. Walau prosesnya pelan-pelan, event ritual haul yang dilakukan bersama diharapkan membangkitkan kembali rasa bangga itu.
Gusti Moeng selaku Pangarsa LDA bersama semua elemennya termasuk Pakasa dan Putri Narpa Wandawa, menjadi daya dukung yang kuat untuk proses penyadaran dan kembali mencintai tokoh-tokoh kebanggaannya. Termasuk membangkitkan kembali daya dukung masyarakat adat setempat, untuk menghidupkan event-event haul yang salah satunya bisa memberi manfaat secara ekonomis.

Hal yang terakhir itu, akan sangat menolong masyarakat Kabupaten Pati khususnya, juga masyarakat di daerah lain di sepanjang pegunungan kapur, yang sudah berkali-kali dibuat menderita dan semakin miskin oleh pembabatan dan penjarahan hutan serta faktor lain. Event-event haul atau destinasi wisata religi, diharapkan melahirkan kreativitas di bidang ekonomi.
Kabupaten Pati, memang memiliki makam Pangeran Benawa I (Kecamatan Pucakwangi), makam Sunan Prawata (Kecamatan Sukolilo), Syeh Jangkung (Kecamatan Kayen), Kyai Ageng Ngerang (Kecamatan Juwana), Ki Ageng Penjawi (Kecamatan Kota), Ki Bagus Kuncung (Kecamatan Kayen), Kyai Ageng Wotsinom (Kecamatan Tambakromo) dan lebih banyak lagi nama tokoh di sejumlah kecamatan.
Kehadiran Gusti Moeng di event haul beberapa tokoh di masing-masing makam di wilayah Pati itu, ternyata juga bisa mengungkap banyak fakta sejarah lainnya. Yaitu peran para perempuan yang menjadi permaisuri Raja atau ibu yang menurunkan para Raja Mataram. Misalnya peran istri Syeh Jangkung yang banyak mendukung adiknya, yaitu Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.

Juga peran adik kandung Sunan Prawata (Raja ke-4 Kraton Demak), yang mengungkap kebesaran nama tokoh Ratu Kalinyamat, karena telah mengasuh putrinya yaitu Ratu Banowati yang menjadi istri Panembahan Senapati, ibunda Sultan Agung. Sedangkan dua adik Ratu Kalinyamat yaitu Nyi Mas Rara Semangkin dan Nyi Mas Rara Prihatin, juga menjadi tokoh kebanggaan di Pati dan Jepara.
Ratu Kalinyamat sebagai pendiri Kabupaten Jepara sekaligus sebagai Bupati pertama Jepara, sangat dibanggakan masyarakat Kabupaten Jepara. Pakasa Cabang Jepara yang dipimpin KRA Bambang S Adiningrat, sudah mencoba memuliakan tokoh kebanggaan itu dengan kirab budaya. Kini, nama besar Bupati Jepara Citrasoma I-VII, juga hendak dimuliakan haulnya dengan cara yang sama.
Kabupaten Demak, besar karena keberadaan makam Sunan Kalijaga bersama masjidnya, begitu juga Kabupaten Kudus yang memiliki Sunan Kudus dan Sunan Muria, sudah memiliki daya dukung Pakasa Cabang yang dipimpin KRA Panembahan Didik. Kabupaten Grobogan punya makam Ki Ageng Sela bersama keluarga dan ajaran-ajarannya, begitu juga Kabupaten Sragen yang punya makam Jaka Tingkir.(Won Poerwono-habis/i1).