Pakasa Cabang Menciptakan Ikon Seni Bernilai Sejarah
IMNEWS.ID – ORGANISASI Paguyuban Kawula Karaton Surakarta (Pakasa) Cabang Kabupaten Trenggalek, memang tidak bisa dipandang kecil hanya karena hingga kini baru tiga kecamatan yang disiapkan menjadi wilayah Pakasa yang memiliki pengurus di tingkat abak cabang. Walau warga Pakasa dan simpatisannya masih tergolong kecil, tetapi memiliki prestasi yang membanggakan di ajang peringatan Hari Jadi 91 Tahun Pakasa yang digelar Kraton Mataram Surakarta dan diselenggarakan Lembaga Dewan Adat selaku penanggungjawab, serta Pengurus Pakasa Pusat selaku pelaksananya selama lebih seminggu dari 16 hingga 25 Desember itu.
Prestasi Pakasa Cabang Trenggalek yang untuk sementara dipimpin KRAT Seviola Ananda Reksobudoyo (Sekretaris Cabang), karena KRAT Hasta Surantara mengundurkan diri dari jabatan ketua akibat sakit yang dideritanya, beberapa saat sepulang memimpin kontingen pada Hari Jadi 90 Tahun Pakasa, tahun 2021, sungguh pantas diteladani. Melalui momentum peringatan Hari Jadi 91 Tahun Pakasa tahun 2022 ini, beberapa tokoh pengurus cabang terutama KRAT Seviola selaku pemimpinnya, berhasil mempersembahkan sebuah prestasi berupa karya tari klasik yang diberi nama “Bedaya Trenggalih”.
“Betul. Jadi, sejak diciptakan tari ‘Turangga Yaksa’ di tahun 1985, kelihatannya baru sekarang ada karya yang bisa dijadikan ikon seni khas Kabupaten Trenggalek. Kami berharap karya Bedaya Trenggalih ini bisa menjadi salah satu ikon seni milik seluruh masyarakat Trenggalek. Kabupaten kami juga punya ikon seni tari Jaran Pegon, yang berbeda dari tarian rakyat sejenis dari daerah lain. Kami berharap karya Bedaya Trenggalih ini bisa menjadi kebanggaan masyarakat Trenggalek. Karena ada peristiwa sejarah kelahiran kabupaten yang menghiasi dan mengilhami karya ini,” ungkap pimpinan tim penyusun tari Bedaya Trenggalih itu, sat dihubungi iMNews.id, tadi siang.
Tari Bedaya Trenggalih disusun mulai beberapa waktu sebelumnya, yang untuk kali pertama dipentaskan sebagai penutup ajang Pekan Seni Budaya dan Ekraf Hari Jadi 91 Tahun Pakasa yang digelar di kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, tanggal 17 hingga 25 Desember, kemarin. Meneladani format baku rumpun tari “bedayan” terutama karya-karya dari Kraton Mataram Surakarta, Bedaya Trenggalih juga diperagakan sembilan penari mengenakan busana khas “bedayan”, yang pada Minggu malam (25/12) itu disajikan dalam durasi sekitar 50 menit.
Dengan iringan karawitan yang jelas berbeda dari tarian sakral “Bedaya Ketawang” sebagai “pusaka” Kraton Mataram Surakarta yang selama ini menjadi acuan, tari “Bedaya Trenggalih” memasukkan beberapa unsur garap iringan yang bernuansa luruh tetapi penuh semangat, ada nuansa melo yang silih berganti dengan suasana mistis yang sering dilukiskan oleh suara dua instrumen kemanak yang ditabuh bergantian. Di situ juga ada nuansa sigrak simbol keberanian dari “sifat kesiagaan prajurit perang” yang sulit dilepaskan dari setiap repertoar tari “bedayan” khas Mataram Surakarta.
Sifat dan nuansa itu memang tak mengada-ada, karena tari Bedaya Trenggalih adalah judul dari sebuah suasana yang dilukiskan para penyusunnya sebagai suasana hati yang gembira atau hari yang sedang bersuka-cita sesuai singkatan dari “terang ing penggalih” (Trenggalih-Red). Suasana itu merupakan ekspresi masyarakat “Kadipaten Trenggalek” yang semula menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Ponorogo di era Sinuhun PB I ke belakang (sejak Raja Mataram ke-4), di era Sinuhun PB II jumeneng nata saat hendak memindahkan Ibu Kota dari Kartasura ke Surakarta, Trenggalek dilepaskan dan ditetapkan menjadi wilayah kabupaten yang mandiri.
Dilihat dari proses kekaryaan seni, tari Bedaya Trenggalih menjadi karya paling bergengsi dan paling serius, yang butuh waktu lama untuk menyusunnya antara gerak tari dan iringan karawitan, kemudian memadukannya sebagai satu-kesatuan persembahan seni pertunjukan tari klasik yang bercitarasa tinggi. Bahkan, bisa memakan biaya cukup banyak karena penggarapannya melibatkan banyak orang serta harus berlatih secara terpisah dan akhirnya berlatih bersama antara unsur gerak dan iringan musik karawitannya, lebih dari 10 kali, bahkan lebih dari 20 kali.
Dengan tinggi keseriusan tinggi mungkin di semua bagian prosesnya, maka tidak aneh ketika disajikan di panggung penutupan Pekan Seni Budaya dan Ekraf Hari Jadi 91 Tahun Pakasa Minggu malam kemarin, terasa benar suasana yang dibangun oleh auranya, yang setara dengan sajian beberapa repertoar tari dari Kraton Mataram Surakarta yang dikeluarkan di panggung itu. Seandainya malam penutupan itu ratusan kursi yang disediakan bisa penuh oleh penonton, tentu akan menjadi kebanggaan yang berlipat-lipat bagi seluruh kontingen Pakasa Trenggalek, dan tentu saja bagi semua yang terlibat dalam event peringatan Hari Jadi 91 Tahun Pakasa, karena karya itu juga akan tercatat dalam sejarah untuk warga peradaban di masa depan. (Won Poerwono-i1)