Upacara Adat adalah Doa dan Rasa Syukur Kepada Sang Khalik
IMNEWS.ID – HAMPIR semua upacara adat yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta, nyaris tak ada yang bertujuan menyimpang dari nilai-nilai spiritual ketuhanan, etika dan nilai estetika, karena tatacara upacara adat atau ritual yang selama ini dijalankan kraton semata-mata sebagai ungkapan doa kepada Sang Pencipta dan ungkapan rasa syukur atas kemurahan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Adanya nuansa mitologi yang masuk dalam salah satu tatacara ritual itu, merupakan bentuk konstruksi penalaran para leluhur peradaban yang menyusun, merangkai dan mengkreasi tata cara ritual sesuai tingkat ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini, semisal “wilujengan nagari” Sesaji Raja Wedha yang asal unsurnya dari abad 8 (Kraton Kalingga) dan masih diadaptasi untuk dilakukan di zaman Kraton Demak (abad 15).
Mitologi yang kemudian dianalisis dan dienterpretasikan Pujangga Jawa Mataram Surakarta RNg Ranggawarsita dalam karya “Serat Aji Pamasa” seperti yang dicatat KRT H Handipaningrat dan ditulis peneliti sejarah Dr Purwadi, ketika diadaptasi Sinuhun PB II menjadi “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung, sangat jelas tujuannya yaitu untuk memperkuat ciri dan suasana sakral upacara adat itu. Dan di situpun sangat jelas, bahwa ritual “wilujengan nagari” yang digelar Sinuhun PB II di Alas Krendhawahana, setelah 100 hari berdirinya “nagari” Mataram Surakarta yang berIbu-Kota di Surakarta Hadiningrat, merupakan wujud ekspresi syukur atas kebesaran dan keagungan Sang Khalik atau Tuhan YME, karena telah mengizinkan kraton pindah dari Kartasura dan berdiri di kawasan rawa-rawa Desa Sala, yang kemudian berubah nama menjadi Surakarta Hadiningrat.
Seterusnya setelah kali pertama ritual dilakukan Sinuhun PB II di batas utara kawasan kraton secara spiritual itu, menjadi tradisi yang terus dilakukan rutin tiap tahun setiap datang bulan Bakda Mulud atau Rabiulakhir, pada hari Senin atau Kamis di akhir bulan. Sesaji Raja Wedha yang diadaptasi Sinuhun PB II menjadi Sesaji Mahesa Lawung, berarti sudah berjalan 200 tahun selama eksistensi “nagari” Mataram Surakarta hingga tahun 1945, dan sudah berlanjut sampai 77 tahun pada Kamis 24 November lalu (iMNews.id, 24/11/2022), seperti yang dilakukan Lembaga Dewan Adat Kraton Mataram Surakarta di alam republik ini.
Tentu saja, wujud ungkapan rasa syukur atas izin, kebesaran dan keagugan Sang Maha Pencipta itu yang dilakukan Sinuhun PB II, sekaligus dirangkai dengan doa permohonan agar kraton yang menjadi pusat “penggembalaan” umat, pusat peradaban, sumber budaya, pusat pemerintahan dan pusat pengelolaan “negara monarki” serta tempat pengayoman warga peradaban itu bisa berumur panjang, berjalan aman, damai, sukses, adil, makmur dan sejahtera lahir-batin. “Wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung yang dilakukan setiap Sinuhun Paku Buwana sampai yang dilaksanakan Lembaga Dewan Adat hingga Kamis Wage (24/11) itupun, sama sekali tidak lepas dari kerangka doa permohonan sekaligus ungkapan rasa syukur atas kebesaran dan keagungan Sang Hyang Tunggal alias Allah SWT.
Dalam ritual “wilujengan nagari” Sesaji Mahesa Lawung ini bahkan semakin jelas kelihatan bagaimana peran dan fungsi Kraton Mataram Surakarta sebagai kraton Islam yang terbuka dan mengayomi pluralitas dan minoritas sesuai sifat asli Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”. Karena, doa wilujengan yang berisi permohonan dan ungkapan syukur itu lebih dulu diadakan secara Islam dalam sebuah pisowanan besar (agung) di Pendapa Sitinggil Lor. Baru kemudian doa bernuansa Budha dan Jawa yang dilakukan di punden-berundak, sesaat sebelum “membuang (mengubur-Red) sengkala” atau “kotoran secara spiritual” yang disimbolkan kepala kerbau dan uba-rampe kelengapannya, di tengah Alas Krendhawahana itu (iMNews.id, 24/11/2022).
Salah satu fungsi “Raja” Mataram Islam yang disebut sebagai “pemimpin agama” untuk menjadikan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, kembali diartikulasi Sinuhun PB X melalui simbol-simbol yang secara eksplisit tersirat dalam berbagai karya dan upacara adat yang diselenggarakan semasa jumenengnya (1893-1939). Karena di masa jumenengnya itu, warna-warni pluralitas semakin nampak, bukan hanya dari keragaman spiritual religi, melainkan keragaman lahir dari pelapisan sosial dan politik, hingga Sinuhun pernah memberi isyarat bahwa kraton adalah payung atau menghargai “semua makhluk hidup ciptaan” Tuhan YME yang terakomodasi dalam budaya Jawa.
“Semua makhluk hidup ciptaan” Tuhan YME, yang dimaksud tentu makhluk yang tidak kelihatan oleh indera mata kita atau tidak kasat mata, atau yang berada di alam lain. Inilah yang menempatkan “Raja” Mataram Islam jelas sangat sadar bahwa dirinya punya tugas dan kewajiban mengayomi serta menjaga keseimbangan dalam kehidupan, karena di dalamnya ada semua makhluk ciptaan Tuhan yang hidup berdampingan, antara yang kelihatan dan tidak kelihatan. Sikap menghormati/menghargai segala bentuk kehidupan inilah, yang bisa membangun suasana sakral dalam tatacara ritual doa, yang tentu saja ada batas ukuran yang sudah dipahami setiap insan berbudaya, agar tidak disebut kultus atau berlebihan.
Pemahaman yang kurang tepat terhadap simbol-simbol yang menyatu dengan setiap tatacara upacara adat produk Kraton Mataram Surakarta, dan yang dilakukan masyarakat di berbagai pelosok terkecil di wilayah yang luas hingga kini, sebenarnya merupakan produk intelektual yang sangat tinggi para leluhur peradaban. Tetapi, generasi warga peradaban yang terlahir ratusan tahun kemudian seperti di abad modern dan milenial sekarang ini, mungkin sangat kesulitan untuk memahami makna secara eksplisit simbol-simbol itu, sehingga merasa semua upacara adat itu tak ada gunanya/manfaatnya. Bahkan begitu cepat menyatakan sebagai perbuatan bit’ah, syirik dan musyrik ketika sudah berbekal referensi radikalisme dan intoleransi, apalagi merupakan tangan panjang dari sebuah skenario besar untuk menghapus peradaban Jawa/Mataram. (Won Poerwono-besambung/i1)