Semangat Pemerataan Rezeki “Ngalab Berkah” Gunungan
IMNEWS.ID – SEPENGGAL kalimat yang berbunyi :”… Sauwise kadonganan, nuli kabage-bage kang warata….”, selalu menjadi penutup dalam setiap “ujub” atau pesan berisi inti upacara yang diucapkan oleh “utusan dalem” (petugas) yang membawa “dhawuh dalem” berupa “ujub” itu ketika meminta abdidalem jurusuranata memimpin doa wilujengan ritualnya. Setidaknya ada tiga ritual atau upacara adat di Kraton Mataram Surakarta yang dengan jelas menyiratkan semangat berbagi atau memiliki dimensi pemerataan rezeki (sosial) untuk warga peradaban secara luas khususnya para pengunjung ritual itu, yaitu ritual hajad dalem gunungan Sekaten Garebeg Mulud (Maulud Nabi Muhammad SAW), hajad dalem gunungan Garebeg Pasa (Idhul Fitri) dan hajad dalem gunungan Garebeg Besar (Idhul Adha).
Arti pesan bijak dari “utusan dalem” yang merupakan representasi “negara” atau Kraton Mataram Surakarta itu, adalah setelah (dunungan) didoakan, harap dibag-bagikan secara merata kepada semua yang datang “ngalab berkah” Sekaten. Dimensi sosial dalam pelaksanaan upacara adat di kraton, setidaknya pada tiga macam ritual hajad dalem gunungan untuk peringatan tiga hari besar Islam itu, bisa diasumsikan memperlihatkan tanggungjawab dan kewajiban “negara” terhadap rakyatnya di bidang sosial.
Nilai-nilai keagamaan pada unsur “bersedekah”, jelas sekali terlihat dalam tiga ritual yang diatur oleh “negara” (Mataram Surakarta) ketika mewujudkan dimensi sosialnya sebagai “negarawan” yang “ber budi bawa leksana” melalui kegiatan upacara adat tersebut. Ini jelas merupakan bentuk konsistensi sebuah “nagari” meneladani para leluhur pendahulunya, yang kemudian melukiskan simbol “kapas dan padi” pada lambang (Mataram Surakarta) yang bernama “Sri Radya Laksana”. Dalam makna yang sama, padi dan kapas itu diadposi dalam sila-sila dari isi lambang dan dasar NKRI, yaitu Pancasila.
Tata Nilai Bergeser
Dosen pengajar pada Akademi Seni Mangkunegaran (Asga) Dr Widodo Aribowo memandang masih ada unsur kurang melegakan dan perlu penjelasan dari adanya tradisi “asok bulu bhekti, glondhong pengareng-areng” pada setiap berlangsungnya upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta di masa lalu. Unsur-unsur berkonotasi “pungutan” itu memang dibenarkan praktisi budaya Jawa dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, KP Budayaningrat, tetapi itu merupakan bagian dari semangat pemerataan rezeki dari “sedekah” orang-orang berpunya kepada rakyatnya atau masyarakat luas seperti yang terlukis dalam Garebeg atau “Garabag” dalam hajad dalem gunungan Mulud, Pasa maupun Besar.
Tetapi memang, pergeseran tata nilai dan makna upacara serta pemahaman terhadap budaya Jawa di kalangan warga peradaban atau masyarakat etnik Jawa sendiri, sungguh luar biasa. Sehingga, pesan bijak “nuli kabage-bage kang warata” itu tidak sepenuhnya atau secara riil bisa terwujud. Yang terjadi pada setiap gelar ritual “garebeg” atau “garabag” itu, justru suasana yang sebaliknya yaitu aksi perilaku menjarah, yang terkesan beringas untuk berebut dulu dan untuk mendapatkan lebih banyak.
Fakta riilnya menjadi berkebalikan dari yang dimaksud dengan pesan/permintaan penuh harapan yang berbunyi “nuli kabage-bage kang warata”, yang sejatinya melukiskan pemandangan antrean orang yang sabar menunggu dibagi-bagikannya isi dari sepasang gunungan dengan merata, sesuai prinsip rasa adil. Karena pergeseran tata nilai dan situasi dan kondisi ekonomi yang semakin kurang baik di kalangan rakyat kelas menengah ke bawah dan juga lembaga Kraton Mataram Surakarta di awal tahun 1980-an, telah menggeser dan merubah makna membagi-bagikan rezeki agar merata, menjadi menjarah dan berebut agar kebagian, atau mendapatkan lebih banyak.
Supply dan Demand
Efek domino dari suasana faktual tentang “ngalab berkah” dengan cara menerima pembagian tetapi diganti dengan cara-cara berebut menjarah, itu sudah jelas rentetannya, yang sekilas bisa disebut tidak seimbang antara jumlah gunungan yang tersedia dengan jumlah orang yang “ngalab berkah”. Tidak seimbangnya antara “supply” (ketersediaan) dan “demand” (permintaan), sudah barang tentu akan mendorong para pengunjung Sekaten berebut untuk sekadar mendapat “bagian”, tetapi ada juga sifat-sifat yang serakah terlihat di antara pengunjung yang dengan beringas menjarah, untuk mendapatkan lebih banyak.
Jumlah pengunjung Sekaten yang terus meningkat dari tahun ke tahun, itu memang sangat diharapkan ketika fungsi esensial ritual Garebeg Mulud adalah syi’ar agama. Tetapi mungkin ada limpahan pengunjung, karena ada daya tarik yang lain, misalnya keramaian pasar malam yang disebut Maleman Sekaten yang digelar mulai dari halaman Masjid Agung, Alun-alun Lor dan tahun 2022 ini sudah melebar/menjalar ke Alun-alun Kidul atau Alkid. Pertambahan jumlah pengunjung Sekaten dari tahun ke tahun, sangat dimungkinkan akibat dari pertambahan jumlah penduduk di Tanah Air yang kini mencapai 270-an juta orang.
Efek domino dari pertambahan penduduk, jelas berakibat pada keharusan menyediakan (supply) gunungan sesuai kebutuhan/permintaan pengunjung Sekaten (demand). Tetapi, peningkatan ketersediaan gunungan tampaknya tidak mungkin dilakukan Kraton Mataram Surakarta untuk memenuhi “demand” pengunjung Sekaten yang terus menunjukkan peningkatan tiap tahunnya. Meskipun, selama dua tahun pandemi Corona yaitu tahun 2020 dan 2021, “demand” gunungan itu boleh dikatakan nihil, karena pemerintah mengeluarkan prokes Covid ketat PPKM level III dan IV.
Berebut Anggaran
Kraton yang kelihatan tidak mungkin meningkatkan “supply” gunungan sesuai “demand” terutama setelah tahun 2004, itu karena kraton hanya memiliki anggaran terbatas untuk penyelenggaraan setiap upacara adat yang jumlahnya setiap tahun sedikitnya ada 9 jenis upacara adat. Keterbatasan anggaran yang dimiliki, akibat kraton sudah tidak punya kedaulatan ekonomi atau kemandirian bisa mencukup rumah tangga masyarakat adatnya karena sudah tidak punya kegiatan usaha sama sekali yang menghasilkan sumber keuangan memadai.
Salah satu sumber keuangan yang alokasinya untuk penyelenggaraan upacara adat, datang dari bantuan pemerintah melalui APBD Pemkot Surakarta dan APBD Pemprov Jateng, tetapi prosesnya harus didahului dengan pengajuan proposal, mirip yang dilakukan LSM. Dari satu sudut pandang, adanya bantuan pemerintah yang lancar ke kraton, terjadi ketika hubungan antara kraton dengan pemerintah “baik-baik saja”, seperti yang terjadi saat Sinuhun PB XII jumeneng nata yang terkesan masih “dihormati” dan tak mempersoalkan ketika dianggap mendukung partai yang berkuasa dalam pemerintahan Orde Baru.
Di saat hubungan masih “baik-baik saja” itu, sebenarnya sudah mengakibatkan efek domino meski tak begitu terasa, karena fakta riil di lapangan sejak tahun 1980-an sudah terjadi aksi saling berebut gunungan akibat jumlah pengunjung sudah naik berlipat-lipat bila dihitung dari saat 17 Agustus 1945, sementara ketersediaan gunungan maksimal hanya 4 pasang atau 8 buah. Meneruskan kepemimpinan Sinuhun PB XII, ternyata yang terjadi justru ketidakmampuan dan ketidakberdayaan yang banyak terlihat dari profil kepemimpinan PB XIII, hingga yang terjadi malah berebut “bantuan pemerintah” untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi melupakan misi utama mewujudkan dimensi sosial pemerataan rezeki lewat gunungan. (Won Poerwono-i1)