Gamelan Sekaten Sudah Ada Sejak Kraton Majapahit? (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:September 26, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Bagian Utama Ritual Menyambut Lahirnya Nabi Muhammad SAW

IMNEWS.ID – AKTIVITAS perekonomian mulai dari tingkat mikro hingga tingkat makro di Tanah Air sejak pandemi Corona semakin melemah mulai awal tahun 2022 ini, memang banyak diasumsikan sebagai adanya kehidupan yang terasa bergerak lagi. Tetapi ada sisi kehidupan yang lebih mudah ditangkap oleh khususnya masyarakat kelas menengah ke bawah sebagai adanya gerak kehidupan, yaitu aktivitas kegiatan berkesenian terutama yang sudah masuk dalam industri kesenian dan ekonomi kreatif.

Salah satu aktivitas berkesenian yang menandai adanya pergerakan kehidupan, adalah event keramaian pasar malam yang berkait dengan berbagai upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta sebagai daya tarik dan pusat kekuatan magnetnya. Dan salah satu pusat magnet yang menjadi daya tarik kedatangan ribuan pedagang UKM, usaha jasa hiburan kelas menengah ke bawah dan aneka jasa serta industri kecil serta ribuan orang pengunjung yang datang untuk “ngalab berkah”, adalah upacara adat atau ritual Sekaten Garebeg Mulud.

Ritual Sekaten yang puncaknya berupa prosesi mengarak  hajad dalem gunungan Garebeg Mulud, adalah sebuah upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW tepat pada tanggal 12 Mulud. Upacara adat ini, mirip dengan beberapa kegiatan spiritual religi yang sudah menjadi agenda kraton rutin tiap tahun, yang sumbernya dari kearifan dan geniusnya Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, raja sekaligus pendiri Kraton Mataram Islam (abad 16) yang melanjutkan dan menyempurnakan yang dilakukan Kraton Demak (abad 15).

Ada Lompatan Jauh

SUARA “JENGGLENG” : Begitu terdengar suara “jenggleng” gamelan jumbo Sekaten ditabuh di halaman Masjid Agung, menjadi simbol paling esensial dimulainya ritual Garebeg Mulud Sekaten, yang biasanya dilakukan tanggal 5 Mulud. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ada lompatan yang cukup jauh jarak antara Kraton Demak hingga Kraton Mataram Islam, untuk melukiskan perjalanan upacara adat Sekaten dengan maskot gamelan sebagai titik sentral daya tarik atau simbolnya ritual religinya. Karena, setelah Kraton Demak yang disebut awal masuknya Islam menjadi fundamental spiritual negara kerajaan sampai berakhirnya kepemimpinan Sultan Bintoro I-III (1478-1546) sebagai rajanya, upacara adat Sekaten tidak ada, walaupun Kraton Demak berlanjut ke Kraton Glagah Wangi yang dipimpin Sunan Prawoto (1546-1549) di saat Kraton pajang sudah berdiri (1550-1587).

Dalam catatan abdidalem Pengulu Kraton Mataram Surakarta, KRTH Handipaningrat, sejak Sultan Bintoro III ritual Sekaten tidak diadakan karena kraton dalam kondisi kosong dari pemimpin kekuasaan, hingga untuk mengisi kekosongan Sunan Giri tampil. Tetapi, saat kekosongan pemimpin dipegang Sunan Giri inilah, disebut gamelan Sekaten yang dibuat Sunan Kalijaga dan diberi nama Kyai Nagawilaga dan kemudian juga diberi nama Kyai Guntursari, diserahkan KR Ayu Mas Nyawa dan dibawa ke Kraton Kanoman, Cirebon (Jabar).

“Jadi, setelah Sultan Bintoro III, Demak sudah tidak ada Sekaten. Gamelan sudah dibawa ke Kraton Kanoman. Saat Demak diteruskan Sunan Prawoto di Glagah Wangi, juga tidak ada Sekaten. Kraton berpindah ke Pajang, juga tidak ada (Sekaten). Karena, gamelan yang menjadi simbolnya tidak ada. Sampai Kraton Mataram berdiri di Kutha Gedhe(1588-1613), juga tidak ada. Garebeg Mulud atau Sekaten baru kembali diadakan, setelah Sinuhun Sultan Agung jumeneng, menciptakan gamelan Kiai Guntursari sekaligus kalender Jawa, yang menyelaraskan kalender Saka dan Hijriyah,” papar GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa Kraton Mataram Surakarta.

Kerumunan Masa

GUNUNGAN SEKATEN : Sepasang gunungan Sekaten hajad dalem Garebeg Mulud, menjadi simbol brmakna filosofi pemerataan rezeki yang halal, yang boleh dinikmati setelah didoakan di kagungandalem Masjid Agung. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sampai Sultan Agung Berganti kepemimpinan ke tangan putranya, Sinuhun Amangkurat I (Amangkurat Agung) di masa transisi dari Plered ke Kartasura, ritual Sekaten disebut masih berlanjut karena peringatan hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW tetap diadakan tiap tanggal 12 bulan Mulud. Selama Kraton Mataram Islam berpindah Ibu Kota di Kartasura, sampai Sinuhun Amangkurat IV dan berganti ke Sinuhun Paku Buwana (PB) I dan PB II (1703-1745), perayaan Sekaten terus berlanjut dengan gamelan Kiai Guntursari ketika, dengan memanfaatkan alun-alun yang kini sudah tak kelihatan jejak-jejaknya, karena menjadi kawasan pemukiman padat warga Kecamatan Kartasura (Sukoharjo).

Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) yang akrab disapa Gusti Moeng mengutip data informasi yang ditulis KRTH Handipaningrat dan beberapa sumber lain, sejak zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma itu, perayaan Sekaten sudah dilengkap hajad dalem gunungan untuk mengartikulasi Garebeg Mulud yang penuh makna filosofis tentang ajaran dan tuntunan tata nilai untuk kehidupan secara luas. Bahkan, istilah “garebeg” sudah ada sejak Sekaten diadakan Kraton Demak, sebagai perwujudan makna adanya orang dalam jumlah sangat banyak, beramai-ramai dalam sebuah keperluan, pada suatu waktu kesempatan, dan berlangsung di satu tempat yaitu “ngalab berkah” hajad dalem gunungan Garebeg Mulud atau Sekaten di masjid agung/kraton.

“Dari kamus Jawa/Kawi dan karya-karya RNg Ranggawarsita, istilah garebeg bersal dari kata garabag. Artinya, arak-arakan dan kerumunan orang banyak yang sudah terjadi di zaman akhir Kraton Majapahit (akhir abad 14). Garabag atau garebeg itu dilakukan, misalnya saat memeriahkan pergantian tahun (Saka), ada kunjungan tamu kenegaraan dan sebagainya. Kraton Demak dan Sunan Kalijaga memanfaatkan kerumunan massa itu untuk syi’ar agama. Mulai saat itu, perayaan Sekaten disertai Garebeg Mulud, menjadi upacara adat kraton sebagai sarana syi’ar agama,” jelas KP Budayaningrat, seorang dwija sekaligus praktisi budaya Jawa dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Surakarta, yang dihubungi iMNews.id, tadi siang.  

Meratakan Rezeki

MAINAN KHAS : Mainan khas hasil industri kerajinan rakyat berupa pecut, menjadi salah satu ciri koleksi Maleman Sekaten yang digelar di halaman Masjid Agung. Barang itu punya makna filosofi, dorongan/pengingat bagi siapapun dalam menjalani kehidupannya.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena garebeg atau garabag esensinya adalah kerumunan orang dalam jumlah yang besar yang terjadi saat peristiwa gamelan Sekaten ditabuh dan ada sesuatu yang didapat dari apa yang disebut “gunungan”, maka di situ muncul istilah “ngalab berkah” atau menerima/menikmati rezeki dari bagian-bagian yang terwujud dalam “gunungan. KP Budayaningrat tidak menampik pada pelaksanaan peristiwa spiritual keagamaan seperti itu, kraton menerima “bulu bekti” atau “asok glondhong” dari para bupati yang kemudian dijadikan pengisi atau “isen-isen gunungan”, ketika kemudian dibagi-bagikan atau “nuli kabagi-bagi kang warata”, ada nilai positif di sana, yaitu semangat meratakan rezeki kepada rakyatnya.

Memasuki zaman Mataram yang ber-Ibu Kota di Surakarta Hadiningrat setelah Sinuhun PB II memindahkan pusat pemerintahan dari Kartasura pada 20 Februari 1745 atau 17 Sura Tahun Je 1670, perayaan Sekaten tetap berlangsung rutin, karena bangunan Masjid Agung sebagai pusat ritual sudah ada. Data-data sejarah manuskrip yang didapat Gusti Moeng, KP Budayaningrat, KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-A dan buku “Sejarah Berdirinya Kraton Surakarta” yang disusun Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat Jogja), menyebutkan fakta-fakta tentang kebijaksanaan Sinuhun PB II yang mendahulukan membangun sarana ibadah publik sebagai prioritas pertama, karena juga untuk keperluan Sekaten.

Ritual Sekaten Garebeg Mulud terus berlanjut di zaman Sinuhun PB III, bahkan sempat berbagi gamelan Kiai Guntursari kepada pamannya, yaitu Pangeran Mangkubumi yang kemudian bertahta sebagai Sultan HB I di Kraton Jogja yang didirikan di tahun 1755. Untuk keperluan syi’ar Islam itu pula, tradisi perayaan Sekaten terus dilanjutkan Sinuhun PB IV dengan melengkapi gamelan Kiai Guntursari, bahkan memberi pasangan dengan menciptakan seperangkat gamelan Sekaten yang diberi nama Kiai Gunturmadu. (Won Poerwono-bersambung/i1)