Tetap Mengedukasi dan Menjadi Teladan Bagi Kebangkitan Tradisi di Berbagai Daerah
IMNEWS.ID – TEPAT pada event ritual Sekaten Garebeg Mulud 2024 ini, sepertinya akan menjadi upacara adat sangat penting dalam sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta, untuk dikenang generasi ratusan bahkan ribuan tahun mendatang. Karena pada ritual ini, kraton mengalami puncak perubahan status kelembagaan yang final, lengkap dan memadai untuk di saat ini.
Kelembagaan yang lengkap, final dan memadai untuk kebutuhan zaman modern ini, ditandai dengan keberadaan Lembaga Dewan Adat yang dilindungi payung hukum tertinggi yang berlaku di Tanah Air. Bahkan, putusan MA No 87/Pdt.G/2019/PN.Skt (Ska-Red), 29 Agustus 2022 yang menjadi payung hukum itu, juga menegaskan legal standing “Bebadan Kabinet 2004”.
“Bebadan Kabinet 2004” menjadi kelembagaan resmi dan sah yang akan mengorganisasi dan menjalankan segala kerja adat di Kraton Mataram Surakarta, sampai saatnya berganti yaitu di saat kepemimpinan beralih dari Sinuhun Suryo Partono (PB XIII) kepada Sinuhun PB XIV. Karena, tiap berganti pemimpin, perlu Bebadan Kabinet baru yang sesuai dengan kebutuhan.

Ritual Sekaten Garebeg Mulud 2024 untuk memperingati hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW yang diawali Senin (9/9) dan diakhiri dengan prosesi hajad-dalem Gunungan (16/9), secara tidak langsung menjadi saat “pemaklumatan” putusan MA dan eksekusinya. Oleh sebab itu bisa dijadikan momentum penting peristiwa apapun dalam perjalanan sejarah kraton.
Sekaten Garebeg Mulud adalah ritual yang paling besar levelnya di Kraton Mataram Surakarta, karena paling besar level derajat upacaranya. Selain itu, juga besar level banyaknya jumlah manusia yang terlibat dan banyaknya rangkaian tatacara, komponen peralatan, uba-rampenya dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak salah kalau ritual dijadikan raw model.
Unsur benda hasil kreasi berupa rangkaian gunungan dalam ritual Sekaten Garebeg Mulud di Kraton Mataram Surakarta, dan juga di Kraton Jogja itu, sulit dibantah kalau kemudian dijadikan contoh dan diteladani masyarakat luas. Selain kreasi merangkai “gunungan”, juga ditiru peruntukannya, pemberian label ritualnya dan sebagainya.

Maka, keteladan kraton dalam soal mewujudkan ekspresi doa dan harapan dengan gunungan, menjadi contoh dan teladan yang baik untuk ditiru publik secara luas. Oleh sebab itu, tidak aneh kalau di awal tahun 2.000-an lalu muncul tradisi “Grebeg Sudira” berupa prosesi mengarak gunungan yang dilakukan warga Kelurahan Sudiraprajan, Jebres, Surakarta.
Selain di Surakarta, dalam satu dekade terakhir ini juga bermunculan ekspresi ritual tradisi di kalangan masyarkat desa di berbagai wilayah khususnya di Provinsi Jateng, Jatim dan DIY mengadakan ritual tradisi yang diberi label “Grebeg”. Yaitu mengarak sebentuk kreasi gunungan untuk menandai hari atau saat tertentu, lalu diperebutkan di suatu tempat .
Mungkin hanya soal penggunaan kata “garebeg” dan “haja-dalem” yang perlu hari-hari pemakaiannya, agar masyarakat luas bisa teredukasi dengan baik dan benar. Karena, dari literasi yang ada di Kraton Mataram Surakarta, dua istilah itu merujuk pada status dan posisi kelembagaan kraton sebagai “negara” atau pusat pemerintahan Mataram sebagai ukurannya.

Mungkin istilah/kata “Garebeg” atau “Grebeg” masih rasional digunakan sebagai bagian dari kirab atau arak-arakan ratusan atau ribuan manusia, karena maknanya merujuk pada jumlah banyak. Tetapi istilah “hajad-dalem” yang hanya digunakan oleh sekelompok orang di pedesaan, itu jelas tidak sesuai, karena maknanya merujuk pada lembaga negara.
Oleh sebab itu, ketika kata-/istilah itu digunakan Kraton mataram Surakarta, misalnya pada upacara adat hajad-dalem Gunungan Sekaten Garebeg Mulud di bulan Mulud (Rabiulawal), Garebeg Syawal (Syawal) dan Garebeg Besar di bulan Besar (Dzulhijjah), sangat tepat dan sesuai. Karena, digunakan oleh level negara dan pusat Ibu Kota Surakarta Hadiningrat.
Upaya meniru dan meneladani kraton dengan mengkreasi gunungan dari bahan apapun, untuk merayakan tradisi “Bersih Desa”, “Bersih Kubur”, “Rasulan” atau haul wafat tokoh-tokoh penting atau sejenisnya, adalah hal yang positif. Walau Kraton Mataram Surakarta sudah bukan sebagai “lembaga negara”, tetapi format upacaranya masih tetap tak berubah ukurannya.

Trend kebangkitan pelestarian budaya Jawa di kalangan masyarakat desa yang ditandai tradisi mengarak kreasi gunungan dalam berbagai jenis itu, tentu menjadi hal baik yang perlu dikembangkan sesuai kewajaran dan kearifan lokal. Dan patut dicatat, kemunculan bentuk ekspresi ini, hampir sama dengan saat surutnya potensi ngalab berkah semua ritual di kraton.
Di satu sisi bisa dipandang sebagai hal negatif, tetapi di sisi lain dipandang positif, memang belum bisa dimaknai sebagai sebuah hasil “persaingan” atau “kompetisi” berupa “kalah” atau “menang”. Tetapi, ada faktor pembenarnya kalau dua pemandangan yang berkebalikan itu karena beda unsur pendukungnya yang memiliki kekuatan, kekuasaan dan kemampuan.
Hingga kini memang belum ada studi yang meneliti korelasi antara dua kondisi itu, berikut unsur-unsur dan faktor-faktor penyebabnya. Tetapi, sebuah kreasi gunungan yang diperebutkan warga dalam tradisi di suatu daerah di Jatim, agaknya perlu dievaluasi. Karena gunungan yang diperebutkan penuh berisi buah durian, yang bisa mencederai yang sedang berebut. (Won Poerwono-habis/i1)