Dilanjutkan Gladen Tari Bedaya Ketawang “Gabungan” dengan “Penari Bayaran”
SURAKARTA, iMNews.id – Setelah libur tanpa aktivitas selama bulan Sura di Tahun Baru Jimawal 1957 karena berkabung atas wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husein, weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon (22/8) siang tadi Kraton mataram Surakarta menggelar ritual “ngisis wayang” untuk kali pertama. “Ringgit wacucal” atau wayang kulit yang dikeluarkan dalam upacara adat “ngisis wayang” di gedhong Sasana Handrawina kali ini, giliran sekotak wayang Kiai Menjangan Emas (Menjanganmas-Red) yang dibuat pada tahun 1919 semasa Sinuhun PB X jumeneng nata, tahun 1893-1939.
Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat sudah menunggui jalannya ritual “ngisis wayang” yang dimulai pukul 10.00 WIB itu, bahkan sudah mengawal sewaktu kotak wayang Kiai Menjangan Mas dikeluarkan dari ruang penyimpanannya, gedhong Lembisana di kompleks Pendapa Magangan. Selain Gusti Moeng sama sekali tidak nampak satupun generasi muda atau generasi ketiga Sinuhun PB XII, selain beberapa pejabat kantor Pengageng Mandra Budaya seperti KPP Taruwinoto dan para abdi-dalem yang bertugas “ngisis wayang” dan mereparasi anak wayang yang rusak.

“Tetapi, alhamdulillah, dari 462 anak wayang yang kami teliti sambil ngisis tadi, hampir semuanya utuh. Tidak ada yang njamur dan geripis dimakan hama. Kalau kena debu sedikit-sedikit itu pasti, karena berada di ruang penyimpanan, minimal 35 hari atau satu weton. Apalagi kalau belum mendapat giliran diisis sama sekali, pasti sejak lima tahun lalu. Tetapi, kelihatannya semua sudah mendapat giliran miyos sejak Desember 2022 hingga sekarang. Karena, wayang level Kanjeng Kiai dan hanya bisa keluar tiap Anggara Kasih, hanya tiga kotak. Sisanya bisa miyos (keluar-Red) Anggara Kasih atau ngisis tiap Kamis,” ujar Ki RT Suluh Juniarsih, menjawab pertanyaan iMNews.id, siang tadi.
Dalang yang sekaligus dosen, Ki RT Suluh Juniarsah, siang itu hadir sebagai “tindhih” abdi-dalem yang bertugas menggelar ritual “ngisis wayang” yang ditemani sejumlah abdi-dalem dalang seperti RT Purnomo Adi Carito, RM Restu dan sejumlah lainnya dan tidak ketinggalan abi-dalem Rawang, seorang lulusan jurusan pedalangan ISI yang secara total mengabdikan diri dan menjadi penunggu bangunan kosong kompleks Bangsal Keputren. Hampir setiap kotak anak wayang pusaka di Kraton Mataram Surakarta, selain karena usianya yang rata-rata sudah di atas 100 tahun, selalu ada yang istimewa dari setiap kotaknya.

Menurut Ki RT Suluh, wayang seisi kotak Kiai Menjanganmas yang diangin-anginkan atau “diisis” dalam upacara adat, siang tadi, rata-rata masih bagus baik cat atau sunggingan”, kondisi kulit dan bukirannya atau tatahan serta sambungan-sambungan dan gapitnya. Meski sudah berumur 104 tahun karena dibuat pada tahun 1919 saat Sinuhun Paku Buwana (PB) X jumeneng nata, tetapi masih termasuk muda dibanding belasan kotak wayang pusaka koleksi kraton yang dibuat pada masa Sinuhun PB IV dan V atau lebih 200 tahun lalu, bahkan wayang Kanjeng Kiai Jayeng Katong sebagian sudah dibuat pada zaman Kraton Mataram Kartasura (1645-1745).
“Tetapi, wayang Kiai Menjanganmas ini, ukurannya termasuk di bawah standar ukuran wayang pada umumnya seperti Kiai Pramukanya, misalnya. Jadi, bisa disebut wayang kecil. Tetapi, bila dibanding dengan wayang dari kotak Kiai Kidang Kencana, rata-rata ukurannya sedikit lebih besar. Jadi, dari sisi ukuran itu yang menjadi salah satu keistimewaannya. Kesitimewaan lainnya banyak sekali, dibanding wayang yang ada di luar kraton. Karena pasti lebih rumit tatahannya tapi jelas dan tegas, lebih halus dan jumlahnya sangat banyak, sampai 460-an buah. Artinya, lengkap sekali. Wanda apa saja ada,” jelas Ki RT Suluh.

Begitu terdengar adzan Luhur, semua abdi-dalem yang bertugas langsung berkemas-kemas untuk kembali menurunkan anak wayang yang diangini dengan cara digantung dan ditancapkan pada gawang ukuran kecil, lalu ditata sesuai rumpunnya di masing-masing “eblek” atau sekat. Di situlah, Ki RT Suluh sambil menurunkan anak wayang dari gawang, mengumpulkan tokoh Patih Hudawa atau tokoh patih negara Dwarawati yang menjadi “pejabat pemerintahan administratif” Prabu Kresna selaku Raja Kraton Dwarawati. Ada enam atau 7 anak wayang dari tokoh yang sama, Raden Hudawa, tetapi memiliki karakter yang saling berbeda.
Begitu semua sudah menata di atas “eblek”, satu persatu “ebelek” diangkat empat orang dan dimasukkan ke kotak, begitu seterusnya, tiap “belek” ditumpuk dalam kotak, tetapi ketika ditutup pintu kotak tak bisa rapat karena jumlah anak wayang Kiai Menjangan Mas tergolong sangat banyak, hingga nyaris tidak muat atau mengisyaratkan kemungkinan perlu diganti kotak yang lebih besar. Namun, dalam soal ganti-mengganti apa saja yang ada di dalam kraton, tak bisa asal mengganti, karena ada aturan dan prosedur tatacara adat yang membatasi, apalagi benda-benda budaya itu adalah barang bersejarah yang dilindungi UU BCB No 11/2010.

Pukul 12.15 WIB, sekotak wayang Kiai Menjangan Mas diangkut 8 abdi-dalem Keparak dan Kebon Darat untuk mengembalikan ke ruang penyimpanannya, gedhong Lembisana. Gusti Moeng juga langsung bergeser ke ruang sebelah, yaitu Pendapa Sasana Sewaka, karena weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon adalah jadwal gladen tari Bedaya Ketawang yang harus dilakukan dalam bingkai ritual. Karena, tak satupun aktivitas di kraton yang tema dan formatnya ritual, bisa dijalankan begitu saja tanpa simbol-simbol sesaji “Keblat Papat, Lima Pancer”, karena weton Anggara Kasih adalah hari yang sakral bagi masyarakat adat Mataram dan peradaban Jawa.
Tepat pukul 13.00 WIB, gladen tari Bedaya Ketawang dimulai, yang didahului dengan suara vokal bersama-sama atau panembrama di saat para penari sudah bersila di lantai Pendapa Sasana Sewaka. Begitu memasuki iringan gamelan, para penari melakukan sembah dan bangkit berdiri serta memulai urutan struktur tari khasnya, yang tetap dipantau Gusti Moeng selaku instrukturnya. “Ini kembali gladen ‘gabungan’. Dengan penari yang SPJ (bayaran-Red) itu,” jawab singkat Gusti Moeng saat ditanya iMNews.id menjelang latihan, siang tadi. (won-i1).