Pengalaman Pertama Bagi Cepuri dan Gusti Moeng
IMNEWS.ID – UPACARA adat “labuhan” yang secara khusus dilakukan Kraton Mataram Surakarta tanggal 14 Sura Tahun Ehe 1956 bertepatan tanggal 12 Agustus lalu, menjadi catatan tersendiri dalam sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta mengenai tatacara pelaksanaan upacara adat itu, dan secara spesifik juga menjadi catatan sejarah secara khusus di bidang seni budaya khas kraton. Tetapi, hal-hal yang menjadi catatan itu tak begitu kelihatan atau tak banyak diperhatikan orang yang kebetulan berada sekitar Pesanggrahan Parangkusuma, bahkan mungkin saja rata-rata tidak memperhatikan ada hal yang tidak biasanya tampak menjadi bagian dari rangkaian ritual “labuhan” atau upacara menyingkirkan simbol-simbol “sukerta” siang hingga petang, Jumat (12/8) itu.
Bila Kraton Mataram Surakarta datang ke pantai Parangkusuma yang terletak di Kecamatan Sewon, Bantul, DIY setidaknya sekali dalam setahun, keperluannya sudah bisa dipastikan untuk melaksanakan ritual “labuhan” untuk “melabuh” atau menyingkirkan sesuatu yang dianggap “sukerta” atau yang dianggap kotoran/sisa-sia/bekas secara spiritual. Walau sudah diagendakan untuk dilaksanakan rutin tiap tahun di bulan “keramat” yaitu Sura, namun belum tentu ritual “labuhan” itu bisa dilaksanakan karena sesuatu hal, misalnya adanya pandemi Corona sejak tahun 2020 yang hingga kini belum sepenuhnya sirna dari muka bumi Nusantara.
Namun, kedatangan GKR Wandansari Koes Moertiyah, Jumat (12/8) lalu, di dalam kerangka upacara adat “labuhan” juga membawa “bonus” persembahan berupa tari Bedaya “Suka Mulya” yang disajikan sembilan penari abdidalem bedaya dari Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta. Keberadaan 9 penari bedaya bukan sekadar ikut melakukan upacara adat seperti yang sering dilakukan secara terpisah dalam abdidalem bedaya maupun bagian dari rangkaian upacara adat “Labuhan”, tetapi kali ini untuk tampil menyajikan tari Bedaya “Suka Mulya” di lantai Pendapa Cepuri Pesanggrahan Parangkusuma yang dijadikan panggungnya.
Bila ritual “Labuhan” yang biasa dilakukan dimulai dengan doa wilujengan, tahlil dan dzikir di Pencapa Cepuri lalu disusun barisan berarak menuju tepi air laut pantai Parangkusuma, yang terjadi Jumat siang (12/8) itu tidak demikian. Ada hal yang istimewa tersaji setelah rombongan dari Kraton Surakarta datang dan meletakkan semua sesaji ubarampe di deretan meja yang ditata di dekat Pendapa Cepuri, yaitu disajikan tari sebuah repertoar yang pernah disusun GKR Wandansari Koes Moertiyah di awal tahun 2000-an, yaitu tari Bedaya Suka Mulya.
Sebuh konser karawitan yang diinisiasi Ketua Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi sudah terdengar seakan menyambut kedatangan rombongan dari Kraton Surakarta sekitar pukul 13.00 WIB, Jumat siang itu, seakan mengkondisikan suasana sebelum dimulainya upacara “Labuhan”, selain mengundang perhatian warga sekitar untuk datang menyaksikan peristiwa adat budaya itu. Sajian “uyon-uyon gending klenengan nyamleng” berakhir, segera diteruskan dengan doa wilujengan, tahlil dan dzikir yang dipimpin abdidalem jurusuranata MNg Irawan Wijaya Pujodiprojo, untuk mendoakan segala macam ubarampe yang sudah ditata di deretan meja.
Yang mulai agak aneh, semua rombongan dari kraton duduk di kursi yang disediakan di sekitar Pendapa Cepuri, tidak duduk lesehan di atas lantai pendapa seperti yang terjadi pada ritual-ritual “Labuhan” bertahun-tahun sebelumnya. Lantai pendapa dibiarkan kosong, karena para pengrawit konser karawitan yang diinisiasi Dr Purwadi hanya duduk lesehan di sisi utara pendapa, dan ratusan kursi yang ditata di sisi barat dan selatan pendapa, menjadi tempat duduk rombongan dari kraton, termasuk GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng, GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, KGPH Mangkubumi (calon pengganti Sinuhun PB XIII), KPH Edy Wirabhumi, KRMH Boby Manikmoyo, KRMH Kusuma Wibowo beserta para sentanadalem dan abdidalem.
Setelah doa wilujengan, Gusti Moeng didampingi Dr Purwadi menyampaikan sambutan mengenai ritual yang akan segera dilaksanakan, yang diselingi dengan peluncuran buku berjudul “Babad Prayoga” yang ditulis Dr Purwadi untuk KP Ricky Suryo Prakoso, seorang tokoh dari Wali Umat Budha Indonesia (Walubi). Selesai penjelasan tentang peluncuran buku dan kata pengantar “Labuhan”, datanglah rombongan lebih dari 50 orang dari Walubi yang dipandu KP Ricky. Sebuah acara kecil berupa penjelasan kedatangan para “Bikhu” itu disampaikan, dan KPH Edy Wirabhumi yang memberi sambutan serta penjelasan tentang upacara “Labuhan” yang berkolaborasi dengan Walubi itu.
Hadirnya upacara kecil bisa menjadi kata pengantar kolaborasi ritual “Labuhan”, yang menjadi catatan penting dalam sejarah perjalanan upacara adat “Labuhan” secara khusus dan sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta secara umum. Tetapi lebih spesifik lagi, ketika Pendapa Cepuri yang dibiarkan kosong sejak awal, ternyata menjadi panggung sajian tari Bedaya “Suka Mulya”, sebuah seni pertunjukan yang sangat asing bagi Pesanggrahan Parangkusuma, asing bagi masyarakat sekitar pesanggrahan serta kali pertama terjadi dan mereka saksikan di situ.
Tak hanya kali pertama bagi Pendapa Cepuri menjadi ajang pentas seni tari, peristiwa itu juga menjadi pengalaman pertama bagi Gusti Moeng selaku respresentasi seni budaya khas kraton dan representasi lembaga Kraton Mataram Surakarta. Bila mengingat, Pendapa Cepuri dan kompleks Pesanggrahan Parangkusuma yang menjadi kawasan cagar budaya, selama ini hanya dikenal sebagai ajang rangkaian ritual “Labuhan”, tempat meditasi atau wisata spiritual kebatinan atau religi dan pentas seni pertunjukan wayang kulit yang formatnya sebagai ritus doa atau secara khusus untuk “ruwatan” (Murwakala-Red), seperti yang dilakukan Ki Manteb Soedharsono di tahun 2005, jauh sebelum meninggal.
Catatan penting berikut dalam ritual “Labuhan” kali ini, adalah hadirnya sajian tari Bedaya “Suka Mulya” yang menghiasi ruang Pendapa Cepuri yang sengaja dikosongkan sejak awal. Tanpa alas lantai, tanpa “bancik” panggung yang membuat permukaan lebih tinggi dan tanpa tata cahaya, tari khas kraton yang masuk kategori “lelangen” itu disajikan dalam durasi selama 30 menit. Tari yang disusun Gusti Moeng itu, seakan menghantar suasana ritual “Labuhan” yang akan dilaksanakan, serta terkesan menyesuaikan dengan suasananya, terutama ketika melihat komposisi warna busana (rompi) tarinya.
Di depan lebih dari 50-an warga Walubi, tari Bedaya “Suka Mulya” disajikan, diiringi rekaman karawitan gending iringannya dan bukan iringan “live” karawitan. Sajian gerak tari “bedayan” yang tetap memperlihatkan sentuhan unsur keprajuritan itu, disajikan selama 30 menit. Walau tampil tanpa beberapa kelengkapan sebagai daya dukungnya, tetapi gerak tari dan alunan karawitan pengiringnya, seakan-akan membawa suasana menuju titik konsentrasi doa, yang terkesan sangat sesuai untuk mengantar sikap spiritual religi ketika tatacara meditasi “Labuhan” dilakukan di bibir pantai Parangkusuma mulai pukul 16.00 itu.
Formasi duduk bersila menghadap air laut, merupakan bagian tatacara utama dalam sikap meditasi untuk melakukan ritual “Labuhan”, baik yang dilakukan Gusti Moeng dan rombongan dari kraton, maupun rombongan dari Walubi yang bergabung dan berkolaborasi. Para penari yang semula ikut dalam barisan membawa ubarampe “Labuhan”, dengan kostum tari yang masih dikenakannya, ikut bergabung di belakang Gusti Moeng duduk lesehan di atas pasir pantai Parangkusuma, untuk menunggu datangnya air laut menjemput semua sesaji dan ubarampe “Labuhan” atau simbol segala hal yang “sukerta”, dikembalikan kepada pemiliknya, Kanjeng Ratu Kencana Sari. (Won Poerwono-bersambung/i1)