MEMULIAKAN CEPURI : Pentas tari Bedaya Suka Mulya di Pendapa Cepuri Pesanggrahan Parangkusuma sebagai rangkaian upacara adat “Labuhan” Kraton Mataram Surakarta yang dilaksanakan Lembaga Dewan Adat bersama Walubi, beberapa waktu lalu, bisa dipandang untuk memuliakan Cepuri Pesanggrahan, karya peninggalan leluhur. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)
Suka Mengedepankan Kemuliaan Sesama Ciptaan Tuhan
IMNEWS.ID – MELALUI karya tari Bedaya “Suka Mulya”, Sinuhun Paku Buwana (PB) XII (1945-2004) hendak memberi teladan kepada warga peradaban dan publik secara luas, bahwa menghormati sesama makhluk hidup atau sesama ciptaan Tuhan YME khususnya makhluk manusia sudah menjadi keharusan untuk dilakukan dalam kehidupan di dunia. Sebagai seorang raja penerus Dinasti Mataram Surakarta, nilai-nilai seperti sangat dipahami dan berusaha diwariskan kepada generasi anak-cucu serta warga peradaban secara luas, pasti ada yang dipedomani dan diteladani, mengingat para leluhur Mataram banyak sekali melahirkan tokoh yang “ber budi bawa laksana”, humanis, wicaksana lan minulya, penuh sifat pujangga, begawan, brahmana sekaligus sinatrya.
Tetapi memang, suasana zaman di penghujung berakhirnya kedaulatan politik “nagari” Mataram Surakarta bersamaan dengan awal lahirnya NKRI yang disepakati bersama oleh 250-an kraton/kesultanan/kedatuan/pemangku adat se-Nusantara, waktu itu, sangat diyakini melahirkan suasana batin dan kekhawatiran luar biasa, sehingga membuat Sinuhun PB XII tak banyak bisa berkata-kata. Namun, sebuah singkatan yang sering diucapkan “Sinuhun Amardika” semasa hidupnya dengan kata “Sikontol….”, tentu bisa dipahami suasana kehidupan yang dihadapinya ketika kemudian dijelaskan lagi dalam bentuk karya tari bernama Bedaya “Suka Mulya”.
“Sikontol…” adalah singkatan “situasi” (si), “kondisi” (kon) dan “toleransi” (tol) yang bisa dipahami sebagai cara Sinuhun PB XII merekam suasana di awal lahirnya republik, bahkan ada kesan memberi sinyal bahwa suasana itu tetap saja memprihatinkan menjelang akhir hayatnya di tahun 2004. Namun hal yang paling menonjol dari singkatan itu, adalah kata “toleransi” sebagai penyederhanaan dari ajaran-ajaran para leluhur yang terbingkai dalam kalimat “suka nengenaken kamulyan”. Dan siapa yang mendapat “penghormatan” untuk dikedepankan (nengenaken-Red) diberi “kamulyan” atau “dimuliakan”?, tak lain adalah sesama makhluk ciptaan Tuhan YME khususnya makhluk manusia.

Ungkapan berisi harapan atau keinginan seperti tulah yang sangat dipahami GKR Wandansari Koes Moertiyah untuk kemudian diekspresikan dalam sebuah karya tari yang disusun beberapa waktu sebelum Sinuhun PB XII merayakan genap 80 tahun usianya, sebelum 2004, yang diberi nama tari Bedaya Suka Mulya. Dari judulnya “Suka” adalah sari dari harapan dan keinginan “suka mengedepankan/memberi”, dan “Mulya” adalah “kamulyan” atau kemuliaan yang bisa dalam posisi memuliakan. Narasi seperti itulah yang disinggung secara singkat oleh penyusun tari yang akrab disapa Gusti Moeng, ketika hendak memntaskan “beksan” itu di Pendapa Cepuri Pesanggrahan Parangkusuma, Sewon, Bantul (DIY) beberapa waktu lalu (iMNews.id, 1/9/2022).
Narasi serupa juga dibacakan KP Puspistodiningrat ketika tari Bedaya Suka Mulya hendak dipergelarkan di acara ultah seorang kerabat bernama KRAy Herniatie Sriana Munasari di ndalem Jayakusuman (bukan Wijaya Kusuman-Red), Gajahan, Pasarkliwon, Surakarta, belum lama ini (iMNews.id, 1/9/2022). Dan makna karya tari Suka Mulya sebagai ekspresi kegelisahan sekaligus harapan/keinginan Sinuhun PB XII itu, menurut pengamat budaya Jawa KP Budayaningrat sungguh sangat tepat mulai dari menangkap sumber nilai-nilai yang menginspirasinya, cara pemahamannya hingga cara dan proses pengekspresiannya yang benar-benar melukiskan cara kerja seorang “maestro tari” atau “maestro beksa” khas “Bedayan” gaya Kraton Mataram Surakarta.
“Saya dan siapapun yang pernah punya pengalaman belajar pengetahuan seni tari atau beksa (ASKI-STSI-ISI Surakarta-Red), pasti akan mengakui kemampuan mengekspresikan apa yang pernah dirasakan Sinuhun PB XII ke dalam tari Bedaya Suka Mulya itu sebagai karya seorang maestro beksa khas Bedaya gaya Mataram Surakarta. Dan harapan yang terlukis makna filosofi Bedaya Suka Mulya, juga sangat tepat. Karena, pada hakikatnya, insan manusia akan menjadi luhur, kalau bisa memuliakan sesamanya, bahkan semua makhluk ciptaan Tuhan YME,” tandas KP Budayaningrat yang punya kesibukan di beberapa lembaga, di antaranya sebagai dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Surakarta itu, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

“Suka nengenaken kamulyan” atau suka mengedepankan kemuliaan tak berkurang maknanya ketika diucapkan dalam kalimat suka memuliakan sesamanya, itu menjadi kata kunci yang esensial sebagai isi pesan positif yang bisa ditangkap dari karya tari Bedaya Suka Mulya karya GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng. Mungkin dalam kerangka pemahaman terhadap makna filosofi seperti itu, karya ini dipergelarkan di ruang Pendapa Cepuri Pesanggrahan Parangkusuma, yang menjadi rangkaian upacara adat Labuhan, yang digelar Kraton Mataram Surakarta dan dilaksanakan Lembaga Dewan Adat bersama Wali Umat Budha Indonesia (Walubi), beberapa waktu lalu (iMNews.id, 13/8).
Dengan landasan semangat memuliakan dan mengedepankan kemuliaan, maka tidak menjadi masalah ketika tari Bedaya Suka Mulya dipergelarkan di tempat yang tidak lazim sebagai ajang pementasan seni tari, apalagi khas kraton dan masuk kategori “bedayan” itu. Oleh sebab itu juga tidak menjadi masalah, saat karya digelar tak ada kelengkapan daya dukung yang biasanya mengartikulasi suguhan berestetika tinggi itu, misalnya tak ada alas lantai semacam karpet, tata cahaya yang cukup representatif dan tanpa iringan karawitan “live” atau cukup hanya dengan rekaman yang tersimpan dalam “flash disk”.
Oleh sebab itu, ketika benar-benar menyimak dan memahami makna filosofi “Suka Mulya”, pesan-pesan positif yang di situ ada sebuah pengorbanan yang luar biasa untuk mempersembahkan sesuatu demi kemuliaan siapapun dan apapun yang ada di sekitar Pendapa Cepuri Pesanggrahan Parangkusuma, termasuk sesama khluk hidup, khususnya makhluk manusia, lebih khusus lagi keluarga besar Walubi, sebagai wujud kebesaran Mataram Islam yang “rahmatan lil ‘alamin” seperti diajarkan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Kebesaran Mataram Islam seperti inilah yang dicatat abdidalem “Kanca Kaji” KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo (dosen IAIN Ponorogo), karena selalu ditandaskan KPH Edy Wirabhumi dalam berbagai kesempatan termasuk di sesi sambutan di Cepuri Parangkusuma itu, bahkan dipahami sebagai upaya menjaga hubungan antar manusia atau “hablum minnanas”.

Memuliakan, mengedepankan kemuliaan atau menjaga hubungan sesama manusia, menjadi esensi isi pesan positif tari Bedaya Suka Mulya, karena di situ ada ekspresi “dhawuh” yang diterima Gusti Moeng sebelum menyusun karya tari rumpun “bedayan” itu. Dan dengan esensi makna filosofi seperti itu, maka tidak menjadi masalah ketika status karya tari ini sebenarnya masuk katagori tari yang punya derajat tinggi di lingkungan kraton. Walau begitu, Gusti Moeng dan juga KP Budayaningrat menempatkan tari Bedaya Suka Mulya masuk kategori tari “lelangen” atau ada unsur hiburan, tidak termasuk karya tari baku untuk upacara adat, semacam Bedaya Ketawang yang hanya boleh disajikan dalam pisowanan tingalan jumenengan “raja” dan hanya di ruang Pendapa Sasana Sewaka.
Memang benar, meski dalam rumpun “bedayan”, tari Bedaya Suka Mulya punya sifat kegunaan yang berbeda dibanding tari Bedaya Duradasih, apalagi Bedaya Ketawang yang derajatnya paling tinggi di Kraton Mataram Surakarta karena hanya khusus untuk keperluan upacara adat ulang tahun tahta “raja”. Karena masuk kategori tari “lelangen”, maka tari Bedaya Suka Mulya boleh dipergelarkan di luar keraton dan untuk keperluan yang berunsur hiburan, meski pentas di Pendapa Cepuri Parangkusuma, 12 Agustus 2022 itu tetap kuat unsur spiritual religinya dari unsur hiburannya.
Dalam format keperluan berbeda yaitu persembahan dalam resepsi perayaan ultah seorang kerabat bernama KRAy Herniatie Sriana Munasari, tari Bedaya Suka Mulya lebih banyak sentuhan unsur hiburannya ketika digelar di pendapa ndalem Jayakusuman di Kelurahan gajahan, Kecamatan Pasarkliwon yang hanya berjarak 300-an meter dari tembok Baluwarti, bentek yang mengeliling kawasan inti kedhaton Kraton Mataram Surakarta. “Ini juga yang menjadi ciri seorang maestro tari khas kraton. Beliau (Gusti Moeng-Red) bisa membedakan, kapan dan di mana bisa mempergelarkan karya-karyanya secara tepat. Tetapi, pentas di ndalem Jayakusuman itu jelas memperkuat kemuliaan karya itu sendiri. Karena disajikan di tempat yang mulia,” tunjuk KP Budayaningrat menyontohkan. (Won Poerwono-habis/i1)