Penguatan Potensi Kebhinekaan dan Ketahanan Budaya Bangsa
IMNEWS.ID – SITUASI dan kondisi geososial dan geokultural Kabupaten Ponorogo memang sangat tepat sebagai pijakan untuk mengawali upaya merajut kembali kekuatan kebhinekaan dan kekuatan serta ketahanan budaya berskala nasional, apalagi melalui ajang Grebeg Suro yang menjadi sentuhan inovasi untuk menggelar peringatan Hari Jadi kabupaten di “ujung kulon” Jatim yang bersentuhan dengan Provinsi Jawa Tengah atau wilayah Surakarta itu. Artinya, selain letak geografis dan letak geokultural sebagai bagian dari wilayah “Mataraman”, Ponorogo memiliki ciri-ciri sosio-psikologis yang sangat mendukung terwujudnya berbagai aktivitas inovatif yang berbasis peringatan hari jadi, seperti yang disebut KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I, seorang anggota abdidalem “Kanca Kaji” yang juga dosen pengajar di IAIN Ponorogo.
“Ciri-ciri masyarakat Ponorogo yang saya amati, banyak meluangkan waktu untuk jagongan bersosialisasi, sambil minum kopi. Di wilayah kabupaten ini, sejak dulu banyak warung kopi. Karena latarbelakangnya punya beberapa jenis seni pertunjukan, membentuk masyarakatnya suka menciptakan hiburan, mengadakan dan menikmatinya bersama-sama dengan sahabat dan kerabatnya. Masyarakat Ponorogo juga sangat menghargai sikap spiritual religinya dalam setiap momentum kehidupannya, maka ritual doa wilujengan dan tahlil dzikir dengan mengumpulkan sanak-saudaranya yang selalu mewarnai kehidupannya,” papar KRT Ahmad Faruq (45) yang sukses memimpin penerbitan tafsir “Kur’an Jawi” selaku ketua tim editor (iMNews.id, 30/7), belum lama ini.
Dari hasil pengamatan sosialnya, juga diperoleh kelengkapan ciri-ciri lainnya lagi, yaitu profil sikap dan sifat masyarakat Ponorogo yang “low profile” atau “andhap-asor” karena bertujuan suka persaudaraan atau “seduluran” serta bersahaja atau suka berterus-terang atau “blaka-suta”. Dan karakter masyarakat yang hingga kini begitu solid dipertahankan sebagai ciri karakternya, adalah selalu bangga dengan identitas sebagai “putu (cucu) warok” dan tidak malu mengakuai asalnya dari “Bumi Warok” yang notabene “Bumi Reog/Reyog” Kabupaten Ponorogo. Masyarakat setempat juga punya ciri suka berguru atau mencari ilmu atau perjalanan spiritual religi, yang membuat tidak aneh daerah ini punya banyak pesantren yang salah satunya menjadi kebanggaan selama tigaratusan tahun, yaitu Pesantren (Kelurahan) Tegalsari (Kecamatan Jetis) Gebang Tinatar.
Paham Diri Sendiri
“Sifat gemar menjalani proses edukasi diri ini, juga membangun watak masyarakat Ponorogo selalu hormat terhadap guru. La, ciri terakhir hasil pengamatan panjang yang saya lakukan, warga masyarakat Ponorogo juga punya sifat merasa malu kalau ada kekurangan dalam menjamu tamu. Itu semua yang juga saya pahami, baik dari pengalaman selama ini atau dari berbagai sumber yang saya dapat. Saya kira, hampir semuanya atau banyak nilai positifnya dari yang negatif. Tetapi, tergantung dari sisi mana melihatnya,” jelas abdidalem Kanca Kaji yang tinggal di Desa Klorogan, Kecamatan Geger, Kabupaten Ponorogo itu
Ketua Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi dalam penelitiannya yang kemudian disusun dalam buku berjudul “Sejarah Kabupaten Ponorogo”, juga menyinggung ciri-ciri geokultural dan geososial masyarakat Ponorogo yang sudah diwarnai kultur Kraton Majapahit sebelum 526 tahun kelahirannya sebagai wilayah kabupaten di bawah kedaulatan Mataram Islam Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Dalam perjalanannya, hasil kajian KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo juga menunjukkan bahwa di zaman Kraton Demak (abad 15) yang didirikan salah seorang keturunan Raja Kraton Majapahit, Prabu Brawijaya V, pernah dikenal dengan nama “Pranaraga” yang merupakan sebutan singkat dari kara “Pramana” dan “Raga” yang dalam khasanah bahasa Jawa, “pramana” atau “permana” itu berarti melihat dengan cermat atau memahami “Raga” yang identitk dengan badan.
Dalam bahasa Jawa, “permana” atau “pramana” juga identuk dengan “pana” yang artinya “weruh”, “ngerti” atau paham yang secara umum hampir sama. Tetapi, KRT Ahmad Faruq tidak tahu persis kapan perubahan dari “Pranaraga” menjadi “Panaraga” terjadi, begitu pula ketika penyebutan yang dari aslinya menggunakan huruf Jawa “nglegena” dari “Panaraga” menjadi “Ponorogo” yang dalam aksara Jawa menggunakan “taling” dan “tarung”. Sangat jarang bahasa Jawa menggunakan aksara “O” yang berarti ditulis dalam “taling-tarung”, untuk nama dan istilah apa saja. Banyak kata dengan huruf “a” yang berubah menjadi “o”, akibat kena imbas perubahan kebijakan tentang bahasa Indonesia sampai tahap “ejaan yang disempurknakan” (EYD-Red), meskipun untuk “Ponorogo” maknanya tetap “weruh” atau memahami “raga” atau diri sendiri.
Reog Diakui Unesco
Dari kajian wilayah, letak geografis Kabupaten Ponorogo di zaman Kraton Majapahit (abad 14), diperoleh data sebelemumnya bernama “Wengker”, yang masih menjadi satu dengan wilayah Trenggalek, yang baru dimekarkan sebagai kabupaten mandiri terpisah pada zaman Mataram Surakarta (1745-1945). Dengan latarbelakang geokultural dan geososial seperti itu, maka tidak aneh apabila Kabupaten Ponorogo menjadi daerah/wilayah dengan keunikan khusus yang termasuk tua di pulau Jawa, bahkan di Nusantara. Dalam perkembangannya, seperti disebutkan dalam buku karya Dr Purwadi, basis seni budayanyapun juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu ke arah pengembangan yang lebih lengkap dan mengesankan serta eksotik.
Ponorogo terus berkembang sejak Kraton Majapahit runtuh, kemudian diteruskan keturunannya yang mendirikan Kraton Demak, Pajang, Mataram Hindu hingga Mataram Islam. Bahkan semakin berpengaruh terutama potensi spiritual religinya ketika di zaman Mataram Islam berpindah Ibu Kota ke Kartasura dan terakhir di zaman Mataram Surakarta. Di zaman Mataram Islam yang panjang itu (1613-1945) bahkan hingga kini, basis seni budaya Ponorogo mengalami perkembangan akulturatif yang luar biasa simbol-simbol citra visualnya, yang merupakan perpaduan antara ciri Majapahit, Mataram dan Mataram Islam yang mudah dilihat dari atribut-atribut busananya, simbol-simbol adat kedaerahan serta sifat-sifat sosiokultural masyarakatnya.
Sejumlah potensi yang terpapar di atas, ternyata adalah potensi yang kemudian bisa dikapitalisasi sebagai industri pasiwisata yang sangat prospektif sampai kapanpun. Terlebih, seni reog/reyog yang didaftarkan sebagai kekayaan dunia di Unesco, kecintaan masyarakatnya terhadap aktivitas spiritual religi yang wiwujudkan dalam beberapa simbol di antaranya tosan aji, semakin memperkaya dan memperkuat aset budayanya yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta sebagai pemelihara peradaban Mataram/Jawa.
Penguatan Kebhinekaan
Oleh sebab itu, tak salah Pemkab Ponorogo di bawah kepemimpinan Bupati Sugiri Sancoko memiliki arah kebijakan yang strategis untuk membawa masyarakat daerahnya menuju kemakmuran dan kesejahteraan dengan memperhatikan potensi riil yang dimiliki masyarakat dan daerahnya. Dimulai selama kepemimpinan Bupati Ipong Mukhlisoni, peringatan Hari Jadi Ponorogo dijadikan komoditas industri pariwisata, sekaligus untuk memperkuat ketahanan budaya masyarakatnya. Di kepemimpinan Bupati Sugiri Sancoko, awal yang baik itu diteruskan dengan pengembangan dan penguatan di berbagai potensi strategis, seperti yang terwujud dalam event Grebeg Suro dalam rangka Hari Jadi ke-526 Ponorogo, yang digelar sejak 21 Juli hingga 11 Agustus lalu.
Penguatan potensi strategis terutama budayanya, sangat menonjol pada gelaran event Grebeg Suro pada Hari Jadi ke-526 Ponorogo kali ini. Penguatan itu terlihat dari berbagai jenis acara yang digelar secara beragam pada setiap harinya, mulai tanggal 21 Juli hingga 11 Agustus. Selain penguatan dalam pengembangan potensi di sektor ekonomi ini, event akbar dan kolosal yang menghadirkan sentuhan warga Pakasa Cabang Gebang Tinatar yang diketuai KRA MN Gendut Wreksodiningrat, secara tidak langsung juga menjadi modal penguatan potensi kebhinekaan bangsa Indonesia yang digerakkan dari Ponorogo.
“Event ini tentu menjadi tanggungjawab dan kewajiban warga Pakasa untuk ikut mendukung dan menyukseskannya. Karena, ya itulah kekayaan Ponorogo yang harus terus dipelihara, dikembangkan dan dilestarikan. Dalam penataannya, kami banyak mengacu pada Kraton Surakarta yang sudah berpengalaman menggelar berbagai upacara adat. Kini, di Grebeg Suro Hari Jadi ke 526 Ponorogo ini, tata-kelolanya sudah semakin baik dari tahun-tahun sebelumnya. Kami selalu belajar dari kekurangan yang sudah berlalu, untuk terus disempurnakan pada kesempatan mendatang,” tandas KRA MN Gendut Wreksodiningrat yang dihubungi iMNews.id, kemarin. (Won Poerwono-bersambung/i1)