Ketib Anom dan Adipati Ngurawan dari Kudus, Selesaikan Konflik Antar Aliran di Zaman Mataram Kartasura
IMNEWS.ID – DALAM kajian sejarah dan analisis yang dilakukan Dr Purwadi, di antaranya disajikan dalam beberapa karya penyusunan narasi sejarah, misalnya dalam tembang Macapat (iMNews.id, 6/12), ketika dianalisis lebih lanjut muncul ekspresi persaingan antar kelompok-kelompok aliran. Bahkan, seiring dengan dinamikanya ada yang meningkat menjadi konflik.
Ketika iMNews.id menggali lebih dalam, Dr Purwadi tidak menampik bahwa ekspresi persaingan dan konflik itu sudah terjadi di negara asal para tokoh syi’ar agama. Tetapi terbawa masuk ke Nusantara khususnya Pulau Jawa, ketika para tokoh itu melakukan perjalanan syi’ar. Maka, syi’ar Wali Sanga tak terasa merepresentasikan persaingan yang sebelumnya ada.
“Peradaban/Budaya Jawa, baik berdiri sendiri maupun sudah diakulturasikan oleh masing-masing tokoh Wali Sanga, bisa disebut mencerminkan ekspresi aliran yang masing-masing punya ciri mendasar berbeda. Meskipun ada banyak kesamaannya. Semua aliran dalam agama itu, tidak terasa terbawa dari negara asalnya masuk ke Nusantara,” ujar Dr Purwadi, tadi pagi.
Peneliti sejarah yang juga Ketua Lokantara pusat di Jogja itu, dimintai konfirmasi iMNews.id berkait dengan beberapa karya penyusunan narasi sejarah tentang Kudus, “Pakasa Pang Kudus”, “Terompet Pusaka Kyai Dlongsor” dan “Daya Pusaka Kyai Glongsor” yang kebanyakan disajikan dalam tembang Macapat, dengan awalan bervariasi di antara 11 tembang Macapat.
Seperti disebut dalam seri artikel sebelumnya, beberapa penyusunan narasi sejarah dengan perspektif positif membangun arah kehidupan yang rasional dan berbudaya Jawa, dimaksudkan agar masyarakat Kudus kini dan ke depan tidak kehilangan orientasi. Terutama, orientasi terhadap fakta bahwa Kudus punya hubungan darah dengan Mataram sejak Kraton Kartasura.
Selain itu, hubungan kekeluargaan Kudus dan Pati terutama yang dimulai sejak Sinuhun Prabu Hanyakrawati dan diteruskan Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, kembali dijalin erat oleh Kraton Mataram Surakarta melalui Pakasa. Ikatan persaudaraan itu rusak dan putus, akibat persaingan antar aliran yang diaktualisasi anasir-anasir dan stigma negatif.
Tembang Macapat berjudul “Terompet Pusaka Kyai Glongsor” dan “Daya Pusaka Kyai Glongsor”, hasil eksplorasi Dr Purwadi dari “Serat Cebolek” yang ditulis Pujangga Kyai Jasadipura pada tahun 1748, ketika zaman Sinuhun PB II sudah jumeneng di Surakarta Hadiningrat, Ibu Kota baru Kraton Mataram (Islam). Serat itu disebut termasuk tertua di antara yang lain.
Selain menunjukkan asal-mula terompet pusaka dan nama Kyai Glongsor di satu sisi, Dr Purwadi ingin menunjukkan peran penting Kraton Mataram Kartasura terhadap masyarakat adat keturunan Sunan Kudus dan sebaliknya. Bahkan, serat itu menunjukkan peran penting para tokoh dari Kudus, dalam menyelesaikan konflik antar aliran di zaman Kraton Kartasura.
“Jadi, Sinuhun PB II yang sedang mempersiapkan pindah kedhaton dan membangun Ibu Kota baru di Surakarta, sempat diganggu oleh konflik antar aliran itu. Tetapi, Ketib Anom dari Kudus, Adipati Ngurawan yang tinggal di Gemolong (Sragen), bisa mengatasi konflik itu. “Hakim agung” itu tidak mau menghukum mati penganut aliran Syeh Siti Jenar,” jelas Dr Purwadi.
Selain peran penting tokoh keturunan Sunan Kudus itu yang disebut dalam “Serat Cebolek”, dalam dua judul karya tembang Macapat di atas juga dibahas soal nama “Glongsor”. Nama itu berasal dari nama “Golongan Anshor” atau golongan “penolong” yang kemudian disederhanakan dalam kata Gemolong dan dijadikan nama wilayah (Kecamatan) di Kabupaten Sragen itu.
Dan singkatan “Golongan Anshor” diadaptasi menjadi “Glongsor”. Dan, kalau KRT Pranakusumadjati mendapat nama “jejuluk” Kyai Glongsor, itu berarti tokoh prajurit “hebat” di zaman prameswari Ratu Kentjana (istri Sinuhun Amangkurat Jawi) itu adalah tokoh hebat pula dalam menengahi/mengatasi konflik apa saja yang terjadi di Kraton Kartasura.
Bila dikaitkan dengan cerita turun-temurun yang diterima KRA Panembahan Didik Gilingwesi dari eyang-eyangnya, berarti prajurit “dhug-dheng” bernama Kyai Glongsor yang punya pusaka terompet itu, adalah tokoh “paswal” atau “paspam” andalan Kanjeng Ratu Kentjana. Tak hanya di zaman Sinuhun Amangkurat Jawi, tetapi sampai zaman Sinuhun PB III (1749-1788).
“Saya menduga, nama Kyai Glongsor dengan pusaka andalannya terompet itu sempat hilang dari peredaran dan hampir tidak dikenal masyarakat Kudus, karena ada yang berusaha memutus mata-rantai hubungan Kudus dengan Mataram Kartasura. Kyai Glongsor itu simbol penengah/penolong. Dan Ratu Kentjana, berumur panjang sampai 90-an tahun dan punya berpengaruh”.
“Tidak hanya saat prameswari Kanjeng Ratu Kentjana mendampingi Sinuhun Amangkurat (1719-1727), Kyai Glongsor juga digunakan terus sampai zaman Sinuhun PB III. Jadi, baik Ratu Kentjana maupun Kyai Glongsor, terus mengawal raja-raja keturunannya. Dari suami (Sinuhun Amangkurat Jawi), anaknya (Sinuhun PB II) sampai cucunya (Sinuhun PB III),” tunjuknya.
Di sisi lain, KRA Panembahan Didik Gilingwesi memiliki data dokumen sejarah yang diterima dari hasil penuturan turun-temurun dari eyang-eyangnya. Baik sekilas tentang profil Sunan Kudus, maupun tentang trah keturunan dari dua istri Wali bernama asli (adaptasi) Djakfar Sodik itu, yang secara terpisah menurunkan Kyai Glongsor dan KRA Panembahan Didik.
“Tetapi, mulai kakek saya (dua generasi di atasnya-Red), baik ayah maupun ibu saya berasal dari Kyai Glongsor dan Sunan Kudus melalui Panembahan Makhaos. Maka, eyang saya pernah menasihati saya, bahwa saya punya hak memakai nama ‘Alap-alap Gilingwesi’ selain nama Panembahan. Tetapi, nama lahir saya ada sendiri dan berbeda dari sekarang”.
“Nama lahir saya Didik Juli Tjahjadi alias Panembahan Alap-alap Gilingwesi. Jadi, dalam surat kelahiran sudah ada aliasnya. Maka, KTP saya yang lama namnya DJTj Panembahan Didik K. DJTj itu singkatan Didik Juli Tjahjadi. Dan K singkatan dari Kudus. Nama yang sekarang, adalah keputusan sidang di pengadilan,” ujar Ketua Pakasa Cabang Kudus itu.
Mengenai nama “Mbah” Glongsor, Ketua Pamong Makam (Mbah) Kyai Glongsor itu menyatakan bahwa dirinya hanya menerima hasil penuturan dari eyang-eyangnya. Kisah “heroik” dan kehebatan Kyai Glongsor juga diceritakan, termasuk terompet pusaka yang di masa kecilnya hanya berfungsi sebagai alat pemberitahu kalau ada warga sekitar Desa Rendeng yang meninggal.
Kehebatan Kyai Glongsor dan terompet pusakanya itu, dikenal warga keturunan Sunan Kudus dari dua istri yang menyebar jauh ke berbagai daerah, di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Jawa hingga Madura. Tak hanya kisah heroik Kyai Prana Kusumadjati yang ternyata menjadi tokoh “golongan Anshor” atau penengah/penolong, tetapi juga penumpas brandal “Kramaleya”.
Komplotan penjahat brandal Kramaleya sangat dikenal luas di sekitar wilayah Gunung Muria bahkan sampai di Palembang, Sumatera, karena menjadi perusuh yang menyengsarakan rakyat dan ikut menodai nama baik Kraton Mataram Kartasura. Komplotan penjahat Kramaleya juga sering disisipkan dalang terkenal Ki Anom Suroto dalam pentas wayang kulit sajiannya.
Penelusuran Dr Purwadi yang menemukan asal istilah Glongsor itu, makin menegaskan bahwa agama yang disebarkan Sunan Kudus adalah agama yang penuh kearifan, mengedepankan sifat welas-asih kepada sesama agar menjadi “golongan Anshor”, sebagai penengah/penolong dan penyeimbang. Ke depan, masyarakat Kudus bisa memahami teladan baik itu melalui Pakasa. (Won Poerwono – bersambung/i1)